Berita NTT

Kisah Leni Amelia Suek Temui Penerima Dana Kompensasi dari Australia: Mereka Punya Secercah Harapan

Statement mereka kerap kali berubah-ubah. Kadang tak sinkron. Pasalnya, dokumen yang dikantongi anak-anak maupun keluarga seringkali tak valid. 

Penulis: Paul Burin | Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/HO
Leni bersama Pa Mark Barrow setelah proses wawancara di Hotel Harper Kupang 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Interpreter Leni Amelia Suek yang tergabung dalam tim Mark Barrow untuk membagikan dana kompensasi bagi anak-anak di bawah usia yang dipenjarakan di negeri itu periode 2007-2013 menceritakan pengalaman unik dan menarik. 

Leni, dosen FKIP Bahasa Inggris Undana yang  saat itu tengah berlibur di Kupang – kini tengah kuliah S3 di Oklahoma State University, Amerika Serikat – mengatakan,  ketika tim berangkat menuju Tablolong, Kupang Barat, sekitar 30 kilometer dari Kota Kupang, mendapatkan kesulitan saat wawancara berlangsung.

Statement mereka kerap kali berubah-ubah. Kadang tak sinkron. Pasalnya, dokumen yang dikantongi anak-anak maupun keluarga seringkali tak valid. 

Dokumen yang  dibutuhkan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK)  atau Akte Lahir sebagai syarat mutlak menentukan usia dan memastikan penyaluran dana kompensasi itu tepat sasaran.

Interpreter Leni Amelia Suek, dosen FKIP Bahasa Inggris Undana
Interpreter Leni Amelia Suek, dosen FKIP Bahasa Inggris Undana yang tergabung dalam tim Mark Barrow di Oklahoma State University Amerika Serikat

Selain itu, berbagai catatan dalam pendidikan seperti ijazah dan bahkan buku raport sekolah juga seringkali memudahkan tim dalam menghitung  kembali usia para calon penerima kompensasi tersebut. 

Yang menjadi soal, kata dosen FKIP Bahasa Inggris Undana, ini, yakni semua data yang dibutuhkan itu, banyak hilang ataupun rusak saat badai Seroja menerjang Kupang dan sekitarnya pada tahun 2021 lalu.

 Jika data ini tak ada, maka tim melakukan cross check ke keluarga, tetangga maupun pemerintah setempat. Kadangkala juga terjadi sang kakak menyimpan raport adiknya, tanpa sepengetahuan pemiliknya. Itulah kenapa kerapkali anggota keluarga dari calon penerima kompensasi juga turut diwawancarai.

Hal lainnya kata Leni, butuh cara atau pola berkomunikasi yang lebih sederhana supaya konteks pertanyaan dapat dipahami. Jadi bahasa yang digunakan tak boleh resmi.

Harus lebih santai serta menyimak dengan lebih cermat. Leni dan tim memahami kondisi riil lapangan yang  tak boleh tergesa-gesa ketika berhadapan dengan mereka. Harus lebih tenang dan sabar.     

Tentang respon mereka saat tim bertemu, Leni mengatakan,  ntara cemas dan senang. “Ini asumsi saya karena membaca  dari ekspresi wajah dan cara menjawab.  Kalau orang tua, kadang suka lupa-lupa,” katanya.

Menghadapi itu kata Leni, administrator Mark Barrow mengingatkan tim untuk selalu mengecek ulang bahan-bahan itu agar tak tercecer atau tertinggal.

Pada point inilah, para Scout harus jeli untuk memerhatikan kebutuhan administratif terkait dokumen-dokumen dari para calon penerima dana itu.

Leni menangkap ada secercah  harapan dari anak-anak. Ada harapan untuk bisa memiliki hidup yang jauh lebih baik lagi, teristimewa membuka kesempatan bagi anggota keluarganya untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan.

Sebab, rata-rata mereka yang tertangkap di Australia ini cuma punya modal  sekolah dasar, di samping ada juga yang bahkan sama sekali tak mengenyam bangku pendidikan.  

Apakah pernah  ada anak yang hendak divalidasi batal tak menerima dana kompensasi, Leni mengatakan, tidak. Arahannya, yakni mencari sumber-sumber lain untuk menegaskan dan memastikan validasi data.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved