Breaking News

Berita NTT

Per November 2024 NTT Capai Angka 900-an Kasus Perempuan dan Anak 

Meski angka kasus meningkat, Endang mengatakan, hingga saat ini tantangannya adalah baik korban maupun lingkungan masih belum berminat untuk melapor. 

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
Plt. Kadis DP3AP2KB NTT, Endang Susilawati Lerrich, Psikolog Klinis, Maria Imaculata Minamodesta Adolfince Lio Dando, Ketua Lembaga Perlindungan Anak NTT, Veronika Ata dan host Koordinator Liputan Pos Kupang, Novemy Leo dalam Podcast Pos Kupang, Kamis, 14/11/2024. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Per November 2024 angka kasus pada perempuan dan anak mencapai 900-an kasus dan kemungkinan masih akan bertambah di bulan Desember. 

Hal ini diungkapkan Plt. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Timur, Endang Susilawati Lerrich, S.E, M.Si dalam Podcast Pos Kupang, Kamis, 14/11/2024. 

Dinas P3AP2KB NTT sendiri punya jaringan untuk melapor melalui call center Sapa 129 yang berlaku secara nasional sehingga dalam waktu yang singkat, misalnya jika laporan dari NTT, pihak pusat langsung mengontak UPT PPA di NTT. 

"Selanjutnya ada nomor telepon yang sangat mudah dihafal, 08111129129. Ini adalah nomor WhatsApp jadi para pelapor baik korban maupun lingkungan sekitar korban yang mau melapor dilindungi, tidak dipublikasi info pribadi dari yang melapor sehingga sangat aman," kata Endang. 

"Dengan momen ini saya sangat senang karena ini membangkitkan awareness kita. Masyarakat tidak boleh menganggap bahwa ini bukan urusan saya manakala melihat kekerasan itu terjadi. Kadang-kadang kita tidak lihat pun mungkin korban biasanya curhat ke kita, kita ya sudahlah kita doa saja itu nasibmu buruk banget, memang bukan apa tapi ini nasibmu. Kadang-kadang kita itu rohani tapi overrohani. Overrohaninya adalah ketika kita jatuh dalam kesulitan yang seperti ini, kita hanya melihat bahwa oh ya ini mungkin Tuhan kasih izin saya ya sudah. Itu yang saya bilang overrohani tapi sesungguhnya ketika yang kalau kita bilang itu "Salib" tetapi Tuhan juga memberikan hikmat kepada kita jadi keadilan itu bukan kita tunggu tangan Tuhan yang kuat dan hebat saja menghukum tetapi ada pemerintah, ada aparat penegak hukum yang juga Tuhan izinkan sebagai penegak hukum di dunia ini," ujarnya. 

Dari 900-an kasus, 395 diantaranya adalah kasus KDRT yang mana 319 kasus sedang berproses dan 81 kasus dinyatakan selesai. 

Endang mengatakan, kasus yang selesai ada sebagian dibawa ke ranah hukum, ada juga damai tetapi tetap ada proses komitmen sehingga kalaupun korbannya berkenan untuk berdama, pelaku dan korban harus berkomitmen untuk tidak melakukan KDRT lagi. 

Untuk menangani kasus-kasus ini, kata Endang, SDMnya cukup bagus dan sangat terlatih. Hanya saja dengan jumlah kasus yang sedemikian banyak, dia mengakui ada keteteran juga tetapi hal itu tidak membuat pihaknya lantas tidak melakukan sosialisasi. 

"Kami tetap berjuang untuk bagaimana korban bisa speak up, kemudian lingkungan harus aware dan ini terbukti dari jumlah kasus di tahun 2021 total kasus se-NTT berdasarkan data kami itu 800-an kasus. 2022, 1.200 lebih kasus. 2023 juga 1.200 lebih dan 2024 sampai hari ini sekitar 900-an kasus. 
Meskipun angka ini meningkat dari tahun 2021 kalau saya lebih senang dengan bahasa bahwa ini masyarakat mulai aware. Tingkat kesadaran makin tinggi, lingkungan juga mulai mau melapor jadi ada yang mau melapor baik korban maupun bukan korban," jelasnya. 

Di Kota Kupang sendiri, kata Endang, ada 3 Psikolog yang menurut dia cukup untuk menangani kasus-kasus yang ada tetapi belum semua Dinas P3AP2KB di setiap kabupaten di NTT memiliki Psikolog Klinis. 

"Misalnya tahun lalu kita ada kasus di Sumba itu benar-benar tidak ada. Kita minta tolong untuk bagaimana bisa ke sana. Jadi belum setiap kabupaten punya Psikolog Klinis. Kalau Kota Kupang saya kira cukup. Mereka asosiasi Psikolognya masih bisa kita mintai tolong in time of trouble," ujarnya. 

Meski angka kasus meningkat, Endang mengatakan, hingga saat ini tantangannya adalah baik korban maupun lingkungan masih belum berminat untuk melapor. 

"Yang tadi saya bilang terlalu rohani, sampai bilang ini beban hidupku ya udah aku tanggung aja walaupun risikonya bisa mati. 
Jadi sekarang kita melakukan sosialisasi semacam hari ini yang dilakukan oleh Pos Kupang sangat luar biasa saya sangat senang. Ini juga untuk membangkitkan awareness dari masyarakat bukan saja yang mengalami tetapi lingkungan dari yang mengalami supaya mereka juga aware bahwa ini juga adalah bagian dari urusan mereka manakala korban curhat, karena beberapa kasus, misalnya kasus almharumah Maria Mey, itu kan dia curhat cukup kepada banyak orang cuma semua mengambil posisi bahwa, dia sendiri merasa bahwa ini adalah bebannya, orang juga mungkin sudah menyarankan tapi dia menolak. Sebenarnya lingkungan boleh melaporkan," katanya. 

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Nusa Tenggara Timur, Veronika Ata dalam kesempatan yang sama mengatakan, terkait kasus KDRT ada beberapa bentuk kekerasan yakni kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran. Ketika terjadi kekerasan fisik tapi dalam hal ini tindak pidana ringan, maka masih bisa dimediasi karena filosofi dari Undang-Undang PKDRT adalah keharmonisan dalam keluarga. Hal ini tidak berarti bahwa ketika ada kasus lalu semuanya dibawa ke ranah hukum. 

"Boleh didamaikan kecuali kalau misalnya berakibat fatal atau kekerasan yang sedang, berat, itu wajib hukumnya ke ranah hukum. Kemudian kalau kekerasan seksual itu tidak bisa restorasi justice. Restorasi justice itu adalah bagaimana upaya untuk damai, tindakan di luar hukum. Mediasi, kemudian urusan misalnya penyelesaian secara adat, itu boleh kalau tindak pidana ringan dan bukan kekerasan seksual. Kalau kekerasan seksual dengan ancaman hukumannya adalah tujuh tahun keatas, dan juga pembunuhan atau penganiayaan berat, tidak boleh restorasi justice, tidak boleh didamaikan. Itu wajib hukumnya ke ranah hukum, ke pengadilan," kata Veronica. 

"Lingkungan bisa melaporkan karena sebuah tindak pidana itu wajib hukumnya dilaporkan, diproses. Kecuali kalau itu tindak pidana pengaduan misalnya kasus perzinahan dan pencurian dalam keluarga, itu harus ada pengaduan dari korban. Tapi kalau tindak pidana KDRT lainnya, kekerasan fisik, psikis, seksual, itu wajib hukumnya untuk dilaporkan termasuk tetangga, keluarga, karena sebenarnya dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Barangsiapa mengetahui sebuah tindak pidana mereka wajib hukumnya untuk melapor dan identitas, kenyamanan itu dijaga, dirahasiakan," tambahnya. 

Sementara Psikolog Klinis, Maria Imaculata Minamodesta Adolfince Lio Dando, S. Psi, M. Psi, mengatakan, jika terjadi KDRT pada anak, hal itu akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan karakternya. 

"Kalau kita berbicara tentang anak-anak berarti dalam proses tumbuh kembang apalagi di usia 0 sampai 6 tahun kita kenal dengan golden age dimana pembentukan karakter, pola asuh orang tua itu sangat berperan penting. 
Bagaimana dampak KDRT kepada anak-anak? Anak-anak pada saat kecil mereka tidak akan pernah tahu yang salah itu seperti apa yang benar itu seperti apa jadi mereka hanya melihat apa yang terjadi di lingkungan. Kalau memukul itu yang selalu mereka lihat, mereka bisa saja mengulang itu atau mempelajari itu sebagai hal yang biasa saja," katanya. 

Anak-anak dalam masa pertumbuhan membutuhkan pendampingan ayah dan ibu, peran keluarga yang harmonis, yang rukun, yang saling berpegang tangan untuk membentuk karakter anak yang baik di kemudian hari. 

"KDRT pastinya sangat berdampak pada anak baik secara fisik maupun secara psikologis. Secara fisik mungkin ada lebam, luka atau mungkin ada cacat fisik yang terlihat. 
Nah kalau tentang psikologis itu kan sesuatu yang sangat dalam. 
Anak-anak mungkin tidak akan menunjukkan secara spesifik permasalahan yang mereka alami seperti apa tetapi kita perlu mengetahui bahwa setiap jenjang usia itu ketika mereka menghadapi situasi kritis, ada ciri-ciri tertentu yang bisa kita pahami. Misalnya anak usia 0 sampai 1 tahun ketika mereka mengalami lingkungan yang tidak nyaman atau mungkin orang tua tidak bisa memberikan ASI eksklusif atau kasih sayang penuh maka perilaku yang ditunjukkan adalah menangis sepanjang hari, anak tidak bisa diam, tidak bisa makan dengan baik, tidak bisa merespon lingkungan dengan baik begitu pula anak usia 1 sampai 3 tahun. Bisa saja anak kemudian menjadi hiperaktif karena kecemasan, ketakutan mereka itu dialihkan dengan perilaku-perilaku yang tidak terkontrol," ujarnya. 

Baca juga: DP3AP2KB NTT, PERSAGI dan UNICEF Kampanyekan Perlindungan Anak NTT dari Kekerasan dan Masalah Gizi


"6 sampai 8 tahun ketika mereka mulai mencoba hal-hal baru di lingkungan sekitar kemudian menjadi anak remaja, rasa ingin tahunya semakin tinggi, ketika lingkungan keluarga tidak menjadi tempat yang aman untuk mereka, sangat memungkinkan mereka untuk mencari hal yang aman di luar keluarga. Bisa mulai dari pergaulan bebas, penyalahgunaan alkohol dan lain sebagainya," tambahnya. (uzu)

 

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved