Opini

Opini: Pragmatisme dan Peradaban Politik Tanah Air

Politik lokal mesti memiliki kiblat yang jelas, karena jika tidak, pertarungan politik lokal hanya sebagai ajang perebutan kekuasaan belaka.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Yantho Bambang 

Oleh: Yantho Bambang
Tinggal di Biara Rogationist Maumere - NTT

POS-KUPANG.COM  - Hari-hari ini, beranda-beranda media sosial seperti Youtube dan Facebook dibanjiri oleh video-video seputar debat dan diskusi publik dari para calon kepala daerah baik gubernur maupun bupati dan wali kota.

Debat dan diskusi publik semacam itu penting dalam demokrasi karena demokrasi mengandaikan diskursus atau percakapan rasional. 

Namun demikian perdebatan dan diskusi publik semacam itu bukan hanya sebagai ajang pameran retorika belaka. 

Sebaliknya perdebatan dan diskusi publik semacam itu merupakan momen krusial baik bagi para calon maupun bagi publik untuk menentukan kiblat politik lokal ke depan.

Politik lokal mesti memiliki kiblat yang jelas, karena jika tidak, pertarungan politik lokal hanya sebagai ajang perebutan kekuasaan belaka.

Inilah harapan yang selalu digaungkan. Dan saya kira harapan ini penting mengingat dunia politik kita hari-hari ini cenderung diwarnai oleh intrik dan pragmatisme.

Pragmatisme Politik: Sebuah Tantangan

Dalam setiap ajang demokrasi intrik-intrik politik memang selalu eksis. Dan hal ini lumrah karena dunia politik kita telah digerogoti oleh apa yang disebut pragmatisme politik.

Pragmatisme merupakan paham yang menilai segala sesuatu dari segi hasil, manfaat, dan keuntungan praktis. Paham ini pertama kali muncul disekitar abad 19 dan 20 di Amerika Serikat. 

Paham ini dikembangkan oleh sejumlah pemikir seperti, S.C Pierce, William James, dan John Dewey. 

Paham ini merupakan anak kandung dari empirisme yang inti ajaranya ialah kebenaran hanya diperoleh melalui fakta empiris (pengalaman-pengalaman - aposteriori). 

Paham ini berseberangan dengan paham idealisme karena inti ajarannya ialah kebenaran hanya diperoleh melalui kalkulasi akal budi (apriori).

Namun terlepas dari itu semua, inti ajaran pragmatisme yang menjadi kunci pembahasan ini adalah bahwa kriteria apakah sesuatu itu benar hanya dapat dinilai dari aspek kegunaan, hasil, dan manfaat praktis. 

Pragmatisme mengayomi segala sesuatu asalkan membawa hasil atau manfaat praktis dalam kehidupan nyata.

Karena pragmatisme lebih menekankan hasil, manfaat, dan kegunaan dari sesuatu maka ia memiliki hubungan dengan utilitarianisme karena paham ini juga mengutamakan manfaat dari sesuatu.

Namun demikian, kedua paham ini memiki bahaya. Bahaya itu muncul karena tendensi untuk meraih keuntungan atau manfaat selalu mengangkangi asas dan prinsip yang berlaku umum.

Persis inilah yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan negara kita. 

Hukum, norma-norma, prinsip-prinsip, dan asas-asas penting lainnya yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara cenderung diselakangkangi untuk menggapai keuntungan praktis.

Dalam dunia pendidikan misalnya, kualitas pendidikan cenderung dikesampingkan karena yang diutamakan ialah keuntungan finansial. 

Akibatnya, ijazah bukan lagi barang yang sulit didapat karena proses pendidikan dijalankan dengan begitu-begitu saja (monoton).

Dalam dunia ekonomi pun demikian, demi memperoleh keuntungan praktis, hal-hal krusial seperti kualitas produk tidak diperhatikan karena yang lebih penting ialah keuntungan praktis ekonomis.

Begitu pula dalam dunia politik - domain yang menjadi fokus utama tulisan ini. 

Politik yang sejatinya merupakan seni untuk menata kehidupan sosial yang lebih adil dan bermartabat malah dilihat sebagai ladang subur untuk meraup keuntungan praktis. 

Akibatnya, tak terbilang jumlah deviasi yang terjadi dalam dunia politik.

Praktik sogok-menyogok (gratifikasi) di ranah hukum yang marak terjadi hari-hari ini,praktik kongkalingkong (dengan para cukong) yang umum dilakukan menjelang pemilu, praktik jual beli suara, praktik blusukan, praktik politisasi agama, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan sederet bentuk pragmatisme politik. Inilah tantangan yang menghantui bangsa ini.

Melampaui Pragmatisme Politik

Pragmatisme politik sebagaimana yang ditegaskan sebelumnya merupakan sesuatu yang buruk. Pasalnya ia berlawanan dengan nilai-nilai luhur yang mendasari kehidupan demokrasi. 

Ia tidak hanya mengkhianati cita-cita nasional sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 tetapi juga merusak citra peradaban politik bangsa ini.

Karena itu butuh komitmen yang kuat dari segenap anak bangsa untuk membaharui dan mereformasi tatanan kehidupan politik yang lebih adil dan bermartabat.

Upaya sederhana yang mungkin penting untuk dilakukankan saat ini adalah dengan mengawal bersama jalannya proses pertarungan pilkada yang akan datang.

Ini terlihat sederhana namun memiki implikasi dan kontribusi yang besar terhadap proses pendewasan dan peradaban politik kita.

Namun selain itu, untuk mencegah dan melampaui pragmatisme politik yang merasuki dunia politik kita, dua hal yang perlu dipikirkan bersama, yakni; Pertama, memperkuat pendidikan politik.

Pendidikan politik merupakan sarana yang penting dalam upaya melampaui pragmatisme politik. 

Urgensi pendidikan politik bukan hanya untuk mentransfer nilai-nilai politik luhur nasional kepada generasi baru bangsa ini melainkan lebih daripada itu yakni untuk membangun kesadaran kolektif mengenai esensi politik.

Ini harus jelas bagi segenap anak bangsa bahwa politik bukan sebuah ladang basah yang siap digarap untuk meraih kepentingan dan mafaat praktis semata. 

Sebaliknya, politik merupakan sebuah seni untuk menata kehidupan sosial menjadi lebih adil, makmur, sejahtera dan demokratis.

Tujuan berpolitik bukan untuk merealisasikan cita-cita pribadi dan kelompok melainkan untuk merealisasikan cita-cita bersama sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945.

Ini jugalah yang mesti disadari oleh segenap partai politik. Bahwa sebagai pilar demokrasi dan yang memiliki fungsi khusus untuk menjalankan pendidikan politik, mereka harus memberikan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat, khususnya kepada kader-kader baru yang mulai terlibat dan berpartisipasi dalam politik praktis.

Pendidikan politik yang benar niscaya menghasilkan atau memproduksi figur-figur yang jujur, bersih, dan berintegritas.

Kedua, membenah atau memperbaiki kembali sistem yang ada. Sistem yang kita miliki saat ini sudah bobrok karena itu ia mesti direformasi dan dibaharui kembali.

Adalah sia-sia menjalankan pendidikan politik tanpa membenah atau memperbaiki system yang ada. Ini semacam analogi katak yang dimasukkan ke dalam panci berisi air.

Seekor katak dimasukkan kedalam panci yang berisi air dingin. Ketika ia berada di dalam air itu, seperti biasa, ia menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu air itu. Lalu air di dalam panic itu dimasak. 

Airnya pun pelan-pelan menjadi panas, lalu katak itu, sekali lagi menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu air tersebut. 

Namun saat air itu mencapai titik didih, ia pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. 

Ia berusaha melompat keluar namun usahanya itu sia-sia karena semua energinya telah terkuras saat menyesuaikan diri dengan suhu air. 

Katak itupun pada akhirnya mati. Demikian pun yang akan terjadi dalam kehidupan politik. 

Kendati kita memiliki generasi baru atau kader-kader baru yang bersih, jujur, dan berintegritas tinggi, tetapi jika sistemnya masih bobrok seperti sekarang ini, lambat laun mereka pasti akan terpengaruh dan turut terlibat dalam praktik gelap semacam itu.

Namun sebalikya jika sistemnya baik maka bukan tidak mungkin generasi baru atau kader-kader baru yang sudah diberi asupan politik yang baik pasti akan merealisasikan tujuan politik yang sesungguhnya.  (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved