Opini
Opini: Realisme Pilgub NTT, Realisme Demokrasi
Sedangkan bagaimana Gubernur yang terpilih nanti menggunakan kekuasan untuk membangun kesejahtetaan rakyat, itulah baru sebuah demokrasi susbstansial.
Oleh: Dr. Norbertus Jegalus
Alumnus Gewschister-Scholl-Institut fur Politikwissenschat, Munchen Universitat Jerman
POS-KUPANG.COM - Pilgub (Pemilihan Gubernur) adalah perwujudan demokrasi di tingkat provinsi untuk memilih pemimpin.
Meski disebut perwujudan, artinya, proses membuat gagasan kekuasaan rakyat menjadi nyata, namun bukanlah perwujudan dalam pengertian Pilgub itu adalah sebuah konkretisasi tujuan demokrasi, yakni penciptaan kesejahteraan masyarakat.
Menciptakan kesejahtaraan rakyat itu baru terjadi setelah sang Calon Gubernur terpilih jadi Gubernur. Saat itulah dia dapat mewujudkan semua program politik yang telah dikampanyekan dalam Pilgub.
Artinya, demokrasi tidak berhenti dengan pemilihan Gubernur melainkan berlanjut sampai bagaimana Gubernur terpilih itu melaksanakan kekuasaan.
Sederhananya, substansi dari demokrasi adalah kekuasaan rakyat untuk kesejahteraan rakyat. Pada level proses legitimasi kekuasaan Gubernur, seperti yang sekarang rakyat NTT sedang lakukan dalam wujud kampanye Pilgub, itu sebuah demokrasi prosedural saja.
Sedangkan bagaimana Gubernur yang terpilih nanti menggunakan kekuasan untuk membangun kesejahtetaan rakyat, itulah baru sebuah demokrasi susbstansial.
Bila demokrasi Pilgub dipahami sebatas prosedur dan mekanisme legitimasi kekuasan kepada seseorang untuk menjadi Gubernur, demokrasi buntung.
Jadi, di level pemikiran (in abstracto), demokrasi bukan demi demokrasi, melainkan demokrasi demi bonum commune (kesejahteraan umum).
Jika kita memahami Pilgub hanya sebagai prosedur legitimasi kekuasaan, tanpa berpikir untuk apa kita melegitimasi seseorang menjadi Gubernur, maka kita mereduksi makna demokrasi Pilgub hanya sebagai demokrasi prosedural.
Kita baru benar-benar berdemokrasi manakala kita tidak hanya paham tentang prosedur perwujudan kekuasaan rakyat itu, seperti Pilgub sekarang ini, tetapi juga memiliki pemahaman, baik rakyat yang memilih maupun pemimpin yang dipilih, bahwa legitimasi kekuasaan Gubernur oleh rakyat melalui Pilgub bertujuan membangun kesejahteraan rakyat.
Realisme Pilgub
Dengan berdasarkan demokrasi in abstracto seperti itu, kita coba melihat bagaimana pemikiran demokrasi itu dilaksanakan (in concreto) di Provinsi NTT.
Jika kita mengamati proses legitimasi kekuasaan (Pilgub) dan mengamati bagaimana pelaksanaan kekuasaan yang legitim itu, jadi bagaimana Gubernur menjalankan pemerintahan provinsi untuk membangun kesejahteraan rakyat, maka kita menemukan beberapa realitas (fenomen) politik yang tidak dapat disangkal adanya, berikut ini:
(1) Politik partai; (2) cost politik; (3) kekuatan politik di parlemen; dan (4) jaringan kekuasaan politik dengan Pemerintah Pusat.
Keempat hal ini menentukan tidak hanya suksesnya Pilgub, yaitu terpilih seseorang jadi Gubernur, tetapi juga suksesnya Gubernur terpilih itu untuk membangun kesejahteraan rakyat NTT.
Dua realitas politik pertama, yaitu politik partai dan cost politik, berhubungan dengan demokrasi prosedural. Kita mulai dengan politik partai.
Sedikit berkaca ke belakang, yaitu Pilgub NTT beberapa waktu lalu, khususnya pemerintahan Lebu Raya I, penulis pernah memuat opini di koran ini, tentang “Politik Partai dan Partai Politik”, bahwa demokrasi benar-benar hidup bila partai politik menjalankan politik partai.
Konkretnya, kader partai, terutama ketua partai, mencalonkan diri sebagai Cagub. Dengan itu, sang Cagub, sebagai Ketua Partai, dapat memaksimalkan peran mesin partai di seluruh kabupaten/Kota se-NTT.
Alhasil, Lebu Raya sukses jadi Gubernur dua periode. Adapun Pilgub 2025-2029, dari tiga calon hanya satu Cagub yang menjalankan Politik Partai, dalam arti tegas (in sensu stricto), yakni sebagai Ketua Partai Golkar di provinsi sekaligus petinggi partai di pusat, yakni Emanuel Melkiades Laka Lena.
Dari konteks realisme demokrasi di NTT, realitas ini memiliki arti sangat penting dalam suksesi kepemimpinan.
Realitas politik kedua yang juga tidak dapat disangkal adanya, terutama oleh para kandidat, tim pemenangan dan masyarakat adalah cost politik.
Pilgub adalah proses demokrasi yang melelahkan secara finansial. Saya tidak perlu sebutkan di sini apa saja yang termasuk dalam biaya politik Pilgub.
Menurut para ahli, sekitar 100 miliar rupiah untuk pilgub dan 30 miliar untuk Pilbup/Pilkot. Namun, NTT sebagai provinsi kepulauan, mungkin angkanya bisa lebih dari itu, bahkan bisa dua kali lipat, jika si Cagub ingin memastikan kemenangan.
Satu contoh saja: Biaya saksi. Jika saksi 2 orang per TPS, dengan honor Rp 250.000 x 9.877 TPS di NTT, total biaya Rp 4.938.500.000, lima miliar rupiah. Ini baru saksi, masih banyak komponen besar lainnya.
Angka-angka itu adalah realitas. Itu artinya, hanya Cagub yang telah benar-benar siap dan adanya dukungan kerja sama koalisi besar dan kuat dapat menghadapi kesulitan ini.
Realisme pasca Pilgub
Adapun kekuatan politik di parlemen dan jejaring kekuasaan politik dengan pusat adalah dua realitas politik yang menyangkut demokrasi substansial, yaitu bagaimana Gubernur terpilih membangun kesejahteraan rakyat NTT.
Pada bagian ini saya mengajak rakyat NTT untuk juga berpikir sederhana, berpikir realistis.
Kita mulai dengan kekuatan politik di parlemen. Ada politisi dan juga
pengamat yang memandang koalisi parpol yang besar sebagai beban politik bagi Gubernur.
Pandangan ini hanya bisa benar bila motif politik koalisi parpol di level provinsi adalah pembagian kekuasaan. Tetapi Indonesia bukan Negara Federal (federalisme) melainkan Negara Kesatuan (unitarisme).
Jadi, status provinsi bukan Negara Bagian, sehingga tidak ada urusan power sharing, bagi-bagi kekuasan kepada parpol seperti di pusat. Karena itu, dalam sistem unitarisme, koalisi parpol besar justru sebuah keuntungan besar.
Dengan koalisi besar terbentuk pula kekuatan politik besar di parlemen, sehingga semua program pembangunan yang pernah disampaikan dalam kampanye dapat dilaksanakan, karena didukung parlemen.
Sedangkan koalisi kecil, memang dapat mengusung Cagub, tapi lemah kekuatan politik di parlemen, karena jumlah kursi terbatas, kecuali koalisi kecil itu diusung oleh parpol pemenang mutlak pemilu di provinsi, jadi jumlah kursi besar sehingga menguasai mayoritas suara di DPRD Provinsi.
Akan tetapi, jika jumlah kursi terbatas, maka hampir pasti tidak dapat mewujudkan sepenuhnya program politiknya dan itulah yang membuat rakyat kecewa.
Dan, soal dukungan politik DPRD I di pemerintahan provinsi adalah persoalan politik riil dalam demokrasi di era reformasi ini.
Realitas politik terakhir, yang juga tidak bisa disangkal adanya, apalagi di era reformasi ini, adalah jejaring kekuasan politik dengan pusat.
Seperti disebutkan di atas, Indonesia menganut bentuk pemerintahan unitarisme, maka gubernur berperan sebagai kepala daerah di provinsi sekaligus sebagai perwakilan pusat di daerah.
Saya yakin, sebagian besar masyarakat NTT, terutama para abdi negara (PNS) di provinsi, tahu betul kondisi keuangan pemerintah Provinsi NTT saat ini.
Para birokrat dan parlemen NTT tahu betul kondisi ini: APBD NTT sedang tidak sehat, ditambah PAD (Pendapat Asli Daerah) rendah.
Lalu bagaimana membangun NTT? Jawabannya, ada dana DAU dan DAK. Betul. Namun kita semua tahu, matematika perhitungan DAU belum berubah, yakni berdasarkan jumlah penduduk.
DAU NTT kecil, karena penduduk NTT hanya 4 juta lebih. Sedangkan DAK adalah dana yang telah ditentukan oleh pusat, jadi Gubernur tidak dapat semaunya menggunakannya untuk mengeksekusi program pembangunan yang telah dijanjikannya dalam kampanye.
Jika kondisi APBD NTT sedang tidak baik-baik saja dan NTT masih provinsi miskin urutan ke-4 di Indonesia, lalu bagaimana Gubernur terpilih dapat mengeksekusi segala program yang disampaikan saat kampanye.
Jawaban secara politik, dalam kerangka bentuk unitarisme, satu-satunya jalan, adalah jejaring kekuasaan politik dengan pusat.
Konkretnya, karena itu, hanya Gubernur yang segaris atau sekoalisi kekuatan politik dengan presiden sebagai kepala pemerintahan yang dapat membangun komunikasi untuk mendapatkan perhatian khusus di luar saluran normal dana perimbangan keuangan pusat dan daerah (DAU dan DAK).
Tanpa itu pembangunan NTT akan berjalan di tempat, bahkan mundur.
Rupa-rupa janji-janji surga dari para Cagub: akan mengadakan ini dan itu untuk petani, nalayan, buruh, padagang dst, atau, akan menggratiskan ini dan itu. Oke. Silakan, itu dimungkinkan oleh idealisme demokrasi.
Namun, demokrasi, seperti dikatakan di atas, bukan hanya prosedur dan mekanisme legitimasi kekuasan melainkan terutama agar kekuasaan yang legitim itu dipakai untuk membangun kesejahteraan rakyat.
Untuk itu butuh ketersediaan dana yang memadai, dan kebutuhan dana itu riil, karena tidak ada pembangunan tanpa biaya.
Akhirnya, kita juga perlu memandang realitas para Cagub sendiri. Saya yakin rakyat NTT sudah tahu parpol pengusung dan pendukung dari ketiga Cagub NTT.
Saya sendiri membaca, dari ketiga Cagub hanya satu yang memiliki kekuatan jejaring politik dengan pusat dan politik partai, yakni Emanuel Melkiades Laka Lena, dimana Partai Golkar sebagai partai koalisi terbesar untuk mendukung dan mengamankan kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo di pusat dan Melki Laka Lena adalah petinggi Partai Golkar tidak hanya di provinsi tetapi juga di pusat.
Disamping itu, Melki Laka Lena dalam pencalonan di NTT didukung oleh koalisi besar, 11 partai pengusung dan pendukung yang segaris atau sekoalisi dengan koalisi di tingkat pusat, dengan kekuatan: 7 kursi di DPR RI asal NTT (54 persen) dan 36 kursi di DPRD NTT (55 persen) dari koalisi besar ini.
Dalam konteks realisme politik demokrasi Indonesia saat ini, itu punya arti penting manakala Melki Laka Lena terpilih jadi Gubernur.
Itulah realisme demokrasi, realisme politik di era reformasi ini, khususnya realisme Pilgub NTT.
Dan, realisme itu bukanlah sekadar deskripsi realitas, jadi bukan sebuah pernyataan deskriptif sekadar menggambarkan realitas faktual Pilgub di NTT, melainkan juga pernyataan preskriptif, yaitu pernyataan yang mendorong atau mengundang rakyat NTT saat ini untuk bersikap dan berpikir sederhana, realistis dalam Pilgub ini. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.