Opini

Opini: Prabowo-Gibran, Simbiosis atau Ketidakpastian? 

Hemat saya  kita perlu merenungkan apakah Indonesia akan memasuki era baru yang stabil atau terjerumus lebih dalam ke dalam ketidakpastian.

|
Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.COM/FIKA NURUL ULYA
Presiden Prabowo Subianto didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ketika mengumumkan Menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Minggu (20/10/2024) malam. 


Oleh: Tian Rahmat
Alumnus Filsafat IFTK Ledalero, Seminari Tinggi Ritapiret, Flores - NTT

POS-KUPANG.COM - Pada tanggal 20 Oktober 2024, Indonesia mencatat sejarah baru dengan pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. 

Pelantikan ini yang menggabungkan dua sosok dengan latar belakang politik yang sangat berbeda, menjadi salah satu momen yang paling dinantikan dalam perpolitikan nasional. 

Namun, di balik euforia dan sorotan, muncul pertanyaan krusial: apakah pasangan ini mampu membangun simbiosis politik yang kokoh atau justru memperdalam ketidakpastian dalam lanskap politik dan ekonomi negara? 

Tian Rahmat
Tian Rahmat (DOK PRIBADI)

Dalam konteks ini, hemat saya  kita perlu merenungkan apakah Indonesia akan memasuki era baru yang stabil atau terjerumus lebih dalam ke dalam ketidakpastian politik.

Simbiosis Politik: Harapan di Awal Pemerintahan

Pendukung Prabowo dan Gibran memiliki harapan besar terhadap duet ini. Bagi mereka, pengalaman militer dan politik panjang Prabowo, dikombinasikan dengan energi muda dan pendekatan inovatif Gibran, diharapkan mampu memberikan keseimbangan dalam memimpin negara. 

Prabowo dikenal sebagai figur yang tegas dan berani, sementara Gibran, meski baru dalam politik nasional, dianggap mampu membawa perspektif segar yang dibutuhkan untuk membangun ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Koalisi Prabowo-Gibran dilihat sebagai langkah strategis yang dapat memperkuat stabilitas politik. 

Prabowo, sebagai tokoh senior, memiliki jaringan politik yang luas, baik di dalam negeri maupun luar negeri. 

Sementara Gibran, dengan popularitasnya di kalangan generasi muda dan pengusaha, dinilai mampu menjembatani perbedaan antara elite politik lama dan generasi baru yang lebih dinamis. 

Keduanya diharapkan mampu menjalin sinergi yang produktif dalam menjalankan roda pemerintahan.

Namun, di balik optimisme tersebut, muncul berbagai tantangan yang bisa mengganggu keseimbangan tersebut. 

Kombinasi antara dua figur dengan gaya dan pandangan yang sangat berbeda ini bisa saja menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan baik. 

Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Siti Zuhro dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), “Meskipun mereka menawarkan potensi stabilitas politik jangka pendek, tantangan terbesar adalah bagaimana menyelaraskan visi mereka dalam jangka panjang” (Kompas, 2023).

Perbedaan Pandangan: Sumber Ketidakpastian?

Ketidakpastian terbesar dari pemerintahan Prabowo-Gibran muncul dari perbedaan pandangan di antara keduanya, terutama dalam hal kebijakan ekonomi dan politik luar negeri. 

Prabowo, dengan latar belakang populisme dan proteksionismenya, sering kali mengusung retorika nasionalisme ekonomi yang menekankan pada perlindungan industri lokal dan pengurangan ketergantungan pada investasi asing. 

Di sisi lain, Gibran, yang tumbuh dalam era globalisasi dan dikenal dengan kebijakan pro-investasi asing selama menjadi Wali Kota Solo, memiliki pendekatan yang lebih pragmatis dan terbuka terhadap kapital global.

Perbedaan ini bisa menjadi sumber gesekan dalam pemerintahan. Misalnya, dalam hal kebijakan investasi, jika Prabowo lebih memilih untuk membatasi investasi asing demi melindungi industri dalam negeri, Gibran mungkin akan mendorong kebijakan yang lebih terbuka untuk menarik modal asing guna mempercepat pertumbuhan ekonomi. 

Konflik semacam ini, hemat saya jika tidak dikelola dengan baik, bisa memperkuat ketidakpastian dalam pemerintahan dan berpotensi mempengaruhi iklim investasi di Indonesia.

Selain itu, dalam kebijakan luar negeri, Prabowo dikenal dengan pendekatan yang lebih tegas dan cenderung menolak intervensi asing, terutama dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China. 

Sementara Gibran, meskipun belum menunjukkan sikap politik luar negeri yang jelas, bisa saja memiliki pandangan yang lebih moderat dan pragmatis dalam menghadapi kekuatan global. Ini akan menjadi ujian bagi kohesi internal koalisi mereka.

Ari Dwipayana, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa “perbedaan visi dan pendekatan antara Prabowo dan Gibran akan menjadi tantangan besar bagi stabilitas pemerintahan mereka, terutama dalam menghadapi isu-isu ekonomi yang sensitif” (Tempo, 2023). 

Ketidakpastian ini harus segera diredam jika pemerintahan ini ingin mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat dan investor.

Regenerasi atau Dinasti Politik?

Salah satu elemen yang paling kontroversial dari terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden adalah tudingan mengenai politik dinasti. 

Gibran, sebagai putra Presiden Joko Widodo, dianggap oleh sebagian kalangan sebagai representasi dari menguatnya dinasti politik di Indonesia. 

Meskipun Gibran berhasil memenangkan pemilu dengan cara yang sah, banyak yang masih meragukan apakah posisinya lebih merupakan hasil dari prestasinya sendiri atau warisan politik dari ayahnya.

Isu politik dinasti ini tidak bisa dipandang remeh. Dalam demokrasi, prinsip meritokrasi dan regenerasi politik yang sehat sangat penting untuk memastikan adanya kaderisasi yang adil dan kompeten. 

Munculnya Gibran ke panggung nasional, meskipun masih muda dan relatif belum berpengalaman di politik nasional, memunculkan kekhawatiran bahwa politik  Indonesia semakin dikuasai oleh segelintir keluarga yang berkuasa.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Airlangga, Zulkifli Lubis, menyatakan bahwa “keterpilihan Gibran sebagai Wakil Presiden adalah cerminan dari dominasi politik keluarga di Indonesia, yang bisa menjadi ancaman bagi demokrasi yang inklusif dan partisipatif” (Detik, 2023). 

Ini adalah isu yang sensitif dan bisa mempengaruhi legitimasi pemerintahan Prabowo-Gibran di mata masyarakat.

Mampukah Simbiosis Berlanjut?

Masa depan koalisi Prabowo-Gibran penuh dengan tantangan, baik dari dalam maupun luar pemerintahan. 

Di satu sisi, mereka harus bisa menjaga keseimbangan internal untuk memastikan bahwa perbedaan pandangan tidak mengganggu jalannya pemerintahan. 

Di sisi lain, mereka harus menghadapi tantangan eksternal seperti kondisi ekonomi global yang tidak menentu, perubahan iklim, dan ketegangan geopolitik yang bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia.

Pemerintahan ini juga dihadapkan pada tantangan besar dalam hal pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan pengentasan kemiskinan yang masih menjadi isu utama di beberapa daerah, termasuk Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Jika pemerintahan Prabowo-Gibran tidak mampu memberikan solusi konkret atas masalah-masalah ini, hemat saya dukungan publik bisa dengan cepat beralih menjadi kekecewaan.

Namun, jika mereka berhasil mengatasi perbedaan internal dan menjalankan program-program yang pro-rakyat, pemerintahan ini bisa menjadi contoh dari simbiosis politik yang produktif. 

Dalam hal ini, keduanya harus menunjukkan kepemimpinan yang kompak dan visioner, serta mampu mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Kesimpulan

Pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden membawa harapan besar bagi sebagian kalangan, namun juga menimbulkan kekhawatiran yang signifikan. 

Koalisi ini, meskipun di atas kertas terlihat menjanjikan, akan diuji oleh berbagai tantangan di masa depan. 

Apakah mereka mampu menciptakan simbiosis politik yang stabil, atau justru memperdalam ketidakpastian di tengah masyarakat? 

Hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan ini, namun satu hal yang pasti: perjalanan politik mereka baru saja dimulai. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved