Breaking News

Cerpen

Cerpen: Di Ujung Rasa Cukup

Orang-orang seolah telah berlalu bersama waktu, menyisakan hanya ingatan tentang mereka yang dulu berjasa besar dalam hidupku.

Editor: Dion DB Putra
@Pulang
Ilustrasi 

 Oleh Lexi Anggal
Tinggal di Boncukode Cibal, Manggarai

POS-KUPANG.COM - Aku berjalan menyusuri jalanan berbatu menuju rumah yang sudah sekian lama tidak kukunjungi. 

Di desa ini, angin selalu terasa lebih hangat dan suara sapi-sapi merumput di kejauhan menjadi musik yang membawaku ke masa lalu. 

Desa kecil di ujung Nusa Tenggara Timur ini, tempatku lahir dan tumbuh, kini terlihat lebih sunyi dari biasanya. 

Orang-orang seolah telah berlalu bersama waktu, menyisakan hanya ingatan tentang mereka yang dulu berjasa besar dalam hidupku.

Saat melangkah, pikiranku terus digelayuti oleh satu pertanyaan: “Apa yang membuatku kembali ke sini?” 

Dulu, aku pergi dengan niat mencari kehidupan yang lebih baik, menggapai mimpi-mimpi besar di kota besar. Tapi sekarang, aku pulang. 

Entah kenapa, rasa gelisah itu tidak juga pergi, meski hidupku di kota sudah lebih dari cukup. Bahkan berlimpah.

Dari jauh, aku melihat rumah tua itu. Tidak banyak yang berubah. Pohon mangga di depan rumah masih berdiri kokoh, hanya saja kini batangnya lebih besar dan daunnya lebih lebat.

Aku terdiam sejenak di depan pagar bambu. Menghela napas panjang, aku buka pintu pagarnya yang sedikit berkarat.

“Kamu sudah pulang, Nak?” Sebuah suara lembut menyapaku dari dalam rumah.

Aku menoleh. Tante Maria, sepupu ayah yang dulu sering merawatku saat kecil, berdiri di pintu dengan wajahnya yang semakin tua, tapi senyumnya masih sama hangat dan tulus.

“Iya, Tante. Aku pulang.” Aku membalas dengan senyum tipis.

Tanpa banyak bicara, aku masuk ke dalam rumah. Rumah ini tempat aku menghabiskan sebagian besar masa kecilku setelah orangtuaku meninggal dunia karena kecelakaan. 

Tante Maria dan suaminya, Om Anton, yang mengurusku, menyekolahkan aku, dan memberiku kasih sayang yang luar biasa meskipun mereka bukan keluarga inti.

Namun seiring waktu, saat aku mulai meraih kesuksesan di kota, aku perlahan menjauh. Aku sibuk dengan pekerjaanku di perusahaan besar, dengan segala kesibukan kota yang tak ada habisnya. 

Dan sekarang, aku kembali. Tapi bukan karena rindu, melainkan karena ada sesuatu yang tak bisa kuabaikan lagi.

“Kapan kamu terakhir pulang ke sini?”tanya Tante Maria sembari menyuguhkan teh hangat. Wajahnya menatapku penuh harap.

Aku menggaruk tengkuk, sedikit canggung. “Rasanya sudah bertahun-tahun, Tante.” 

Tante Maria tersenyum kecil, tapi senyumnya menyimpan banyak makna. “Ah, tak apa. Yang penting sekarang kamu sudah pulang.”

Aku tahu, di balik kata-katanya yang halus itu, tersirat kesedihan yang mendalam. Aku tahu aku telah lama mengabaikan mereka orang-orang yang pernah berjuang keras demi aku.

Bahkan, ketika aku meraih beasiswa dan pergi kuliah di Jawa, mereka yang mengurus semuanya, dari tiket hingga biaya sehari-hari. 

Setelah lulus, aku bekerja dan memulai hidupku sendiri di Jakarta, meninggalkan desa dan keluarga yang dulu sangat berarti.

Sambil menyeruput teh hangat, pikiranku melayang ke belakang, mengingat percakapan yang pernah terjadi bertahun-tahun lalu.

“Kamu harus jadi orang besar, Nak,” kata Om Beni waktu itu. Aku masih ingat sorot matanya yang penuh keyakinan. 

“Tante dan Om akan melakukan segala cara agar kamu bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik.” Kamu harus lebih baik dari kami.”

Dan benar saja, mereka memenuhi janji itu. Dari mulai meminjam uang ke sana kemari untuk biaya sekolah hingga menjual ternak untuk mengirimku ke universitas. Semua demi masa depanku.

Aku ingat pernah berjanji pada diri sendiri untuk membalas kebaikan mereka suatu hari nanti.

Tapi hari-hari berlalu dengan cepat. Kesuksesan membutakan. Setiap kali mengirimkan uang, aku selalu merasa itu cukup sebagai bentuk balas budi. 

Aku lupa bahwa lebih dari materi, mereka juga butuh kehadiran, perhatian, dan rasa terima kasihku yang sesungguhnya.

“Bagaimana kabar Om Beni, Tante?” tanyaku dengan sedikit rasa bersalah.

Tante Maria terdiam sejenak, menghela napas panjang sebelum menjawab. 

“Om-mu sudah meninggal dua tahun yang lalu, Nak.” 

Aku tercekat. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Om Anton sudah meninggal?

Dan aku tak tahu? Aku tak ada di sana saat dia menghembuskan napas terakhirnya? Dada ini mendadak terasa begitu sesak. Aku menyesap teh dengan tangan yang gemetar, mencoba menenangkan diri.

“Maaf, Tante... aku tidak tahu.” Suaraku hampir berbisik.

Tante Maria tersenyum lembut, seolah memahami segala perasaan yang bergejolak dalam diriku. “Tidak apa-apa, Nak. Kamu kan sibuk di kota.”
Satu kalimat itu menusukku. 

“Sibuk di kota.” Selama ini, apakah itu alasan yang cukup?

Apakah kesibukanku benar-benar lebih penting daripada hubungan keluarga yang pernah memberi begitu banyak pengorbanan?

“Tante...” 

Banyak hal ingin kuungkapkan, tetapi kata-kata terdiam di ujung lidahku. Aku merasa begitu kecil dan tidak berarti di hadapan sosok wanita tua ini yang telah memberikan segalanya untukku.

“Kamu tahu, Nak,” Tante Maria melanjutkan, “ketika kamu sukses, kami sangat bangga. Om-mu selalu bercerita ke tetangga tentang betapa hebatnya kamu sekarang. Tapi Om-mu selalu berharap kamu pulang, bukan hanya kirim uang.”

Aku tertunduk. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kutahan. Semua yang selama ini kupikir cukup, ternyata tak ada apa-apanya. 

Uang, barang-barang, atau hadiah yang kukirimkan, semua itu tak bisa menggantikan kehadiranku di sini. Aku lupa bahwa di balik kesuksesan, ada cinta dan pengorbanan yang tak bisa dibayar dengan apapun.

“Maaf, Tante,” hanya itu yang bisa kukatakan.

Tante Maria hanya menepuk bahuku pelan. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak. Om- mu juga tahu itu.”

Tapi aku tahu itu tidak benar. Tidak ada yang bisa menghapus rasa bersalah ini. Aku ingat, saat Om Anton sakit, aku tidak pernah pulang. 

Ketika mereka membutuhkan dukungan moralku, aku malah sibuk dengan rapat-rapat penting di kantor. 

Aku merasa semua pencapaianku selama ini tak ada artinya jika aku mengabaikan mereka yang pernah menjadi segalanya bagiku.

Malam itu, setelah makan malam yang sederhana tapi penuh makna, aku duduk di teras bersama Tante Maria. Suasana desa begitu sunyi, hanya terdengar angin yang berhembus lembut membawa aroma tanah basah.

“Tante, aku ingin lebih sering pulang setelah ini,” kataku tiba-tiba, melontarkan niat yang sudah lama tersimpan.

Tante Maria menatapku dengan tatapan penuh kasih sayang. “Pulanglah, Nak. Kami tidak butuh apa-apa. Hanya kamu.”

Aku tersenyum getir. Sepanjang hidup, aku selalu mengejar lebih, mencari hal-hal besar yang kupikir bisa membuatku bahagia. Aku pikir, hidup di kota dengan segala kemewahan adalah puncak segalanya. 

Tapi di sini, di desa kecil ini, aku menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga: kehangatan keluarga, pengorbanan tanpa pamrih, dan cinta yang tak terucapkan.

Malam semakin larut, dan aku duduk di sana, merasakan angin malam yang lembut menyapu wajahku. 

Aku tersadar bahwa semua yang kucari rasa cukup, kedamaian, dan kebahagiaan sejati ternyata ada di sini. Di tempat ini. Di ujung rasa cukup yang selama ini tak pernah kusadari.

Dan kini, aku tahu, aku harus belajar untuk menghargai hal-hal kecil, hal-hal yang dulu sering kuabaikan. Karena di sanalah, di balik keheningan dan kesederhanaan, terletak rasa cukup yang sebenarnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved