Opini

Opini: Homo Economicus dalam Pilkada

Dalam kontestasi politik semacam Pilkada ini, tarik-menarik antara pendekatan rasional atau transaksional atau perpaduan keduanya mulai terasa. 

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.COM/ERICSSEN
Ilustrasi 

Oleh Isidorus Lilijawa
Politisi Gerindra Tinggal di Kota Kupang

POS-KUPANG.COM - Tensi politik di NTT menghangat. Itu karena Pilkada serentak yang digelar 27 November 2024 mendatang sudah kian dekat. 

Tinggal menghitung minggu. Publik pun sudah mengetahui para kandidat yang maju bertarung, entah di level provinsi maupun kabupaten/kota. 

Walaupun terkadang pilihan politiknya belum diberitahukan ke mana-mana. Alias masih bersemi di sanubari. 

Di sisi lain, propaganda politik jalan terus. Apalagi sekarang sudah memasuki masa kampanye. Satu model dari kesempatan propaganda politik di tengah massa.

Dalam kontestasi politik semacam Pilkada ini, tarik-menarik antara pendekatan rasional atau transaksional atau perpaduan keduanya mulai terasa. 

Juga ada tarik – menarik antara modus pencitraan dengan yang apa adanya. Politik sering jadi ruang yang segala hal bisa dilakukan di panggung depan. sekalipun di panggung belakang tidak begitu sebenarnya. 

Namun, itulah bagian dari seni berpolitik. Mau tidak mau, suka tidak suka, publik (masyarakat) memang harus melek politik. Jika tidak mau menjadi korban propaganda politik.

Homo Economicus

Dalam konteks politik, konsep tentang rasionalitas menjadi muara besar dalam penentuan pilihan. Apa yang memang masuk di akal sewajarnya menjadi apa yang dilakukan. 

Namun ternyata, kenyataan di lapangan menunjukkan berbeda. Konsepsi tentang rasionalitas sering tak tampak dalam kenyataan praktik pilihan masyarakat.  

Konsep rasional didasarkan atas teori ekonomi atau konsep manusia ekonomi (concept of an economic man). 

Para ahli filosofi utilitarian seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill berasumsi bahwa semua tingkah laku manusia bertujuan untuk “mencari kesenangan dan menghindari kesusahan. 

Bentham telah mengembangkan teori yang disebut hedonistic calculus yang mungkin merupakan embrio analisis biaya - keuntungan (cost – benefit analysis). 

Menurut konsep manusia ekonomi, semua individu tahu tentang pelbagai macam alternatif yang tersedia pada suatu situasi tertentu dan juga tentang konsekuensi-konsekuensi yang ada pada setiap alternatif tersebut. 

Sehubungan dengan itu maka setiap orang akan berperilaku secara rasional dengan membuat pilihan-pilihan sedemikian rupa sehingga mencapai nilai yang paling tinggi. 

Konsep ini mengasumsikan bahwa manusia adalah homo economicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer needs seller, supply needs demand. 

Pertanyaannya, apakah pemilih di NTT ini adalah pemilih yang rasional? Pola marketing macam manakah yang cocok untuk pemilih NTT?

Pemilih rasional adalah orang yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Pemilih rasional akan memilih menurut perhitungan pribadinya yang akan membawa keuntungan baginya di masa depan, apa pun bentuk keuntungan itu. 

Menyebut bahwa pemilih sudah rasional paling tidak mengandung dua asumsi mendasar. Pertama, objek pilihan mempunyai diferensiasi. Kedua, pemilih itu terdidik. Terdidik di sini berarti tahu atau mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi mengenai pilihannya.

Pemilih rasional akan memilih calon yang bukan hanya mereka kenal, tapi juga berkualitas, karena calon yang berkualitas dan calon yang populer yang akan memberikan keuntungan buat pemilih. 

Tanpa kapabilitas dan kapasitas yang tinggi, hampir tidak mungkin calon mampu membawa keuntungan buat pemilihnya. Asumsi rasionalitas merupakan anggapan bahwa manusia akan melakukan sesuatu secara rasional, yang tidak memberikan kerugian pada dirinya sendiri. 

Dengan kata lain, manusia akan bersifat rasional dalam menentukan semua hal yang dapat bermanfaat untuk diri pribadinya. 

Seperti prinsip ekonomi yang memaksimalkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan serendah-rendahnya, rasionalitas dapat juga diartikan sebagai suatu pengambilan keputusan yang paling disukai. 

Dari penjelasan di atas, praktik politik transaksional dapat dilihat sebagai sebentuk rasionalitas. 

Para pemilih yang menerima uang, beras, sembako, dan kemudahan-kemudahan lainnya oleh para kandidat di satu sisi adalah pemilih yang rasional karena mereka menerapkan prinsip ekonomi, cost – benefit analysis. 

Dengan mendapat asupan gizi politik itu, maka secara ekonomis pemilih mendapatkan keuntungan secara langsung. Bahwa akan berkembang proses simbiosis mutualisme politik, itu pun tergantung komitmen dan kesepakatan bersama. 

Tetapi jangan lupa bahwa saat ini pemilih semakin cerdas untuk menerima semua paket gizi politik dan pilihan kepada kandidat yang sesungguhnya baru terjadi di tempat pemungutan suara, suatu tempat yang rahasia.  Hanya Tuhan yang tahu!

Pemilih akan menjadi tidak rasional bila dua hal ini tidak terpenuhi yakni objek pilihan tidak mempunyai diferensiasi dan pemilih itu tidak terdidik. 

Tidak terdidik di sini berarti tidak tahu atau tidak mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi mengenai pilihannya. 

Pemilih tipe ini tidak mempertimbangkan prinsip ekonomi karena asupan informasi yang mereka miliki terbatas. Bagi mereka sangat berdosa jika sudah mendapatkan paket gizi politik dari kandidat tertentu lalu memilih kandidat yang lain.  

Marketing Politik

Rasionalitas pemilih cenderung berkaitan dengan marketing politik.  Marketing dalam pilkada akan membuka peluang terpilihnya seorang calon tergantung dari apa yang bisa dijual oleh para kandidat tersebut. 

Ada empat elemen yang menjadi isu utama dalam pilkada yaitu produk, promosi, tempat dan harga, yang diukur dari indikator platform partai, rekam jejak, personal, dan karakter calon. 

Elemen-elemen di atas bisa menjadi pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihannya secara rasional. 

Platform partai dapat menarik jumlah pemilih yang signifikan. Terkadang pilihan politik masyarakat juga didasarkan pada partai pengusung walaupun dalam beberapa survei pilihan politik yang mendasarkan pada platform partai ini jumlahnya tidak signifikan. 

Dari sisi rekam jejak, ini menjadi hal pokok yang sangat penting bagi pemilih. Pilihan berdasarkan rekam jejak bobotnya lebih besar dibandingkan dengan pilihan politik masyarakat berdasarkan platform partai. 

Oleh sebab itu, menjadi sangat penting ketika parpol menentukan pilihan calon berdasarkan rekam jejak yang baik. Apalagi masyarakat kita mempunyai kecenderungan lebih sensitif terhadap persoalan etika dan moral calon pemimpinnya. 

Dari sisi personal juga menjadi penting, hal ini merupakan indikator penting yang harus menjadi pertimbangan dalam setiap Pilkada. 

Sisi personal calon menjadi referensi utama pemilih melakukan pilihan politik. 

Secara teoritik, elektabilitas kandidat salah satu unsurnya adalah personality (kepribadian) calon yang menjadi alasan pemilih. 

Calon yang arogan, temperamental, elitis, sarkastik dan terindikasi masuk lingkaran korupsi, kolusi, nepotisme tentu ditinggalkan oleh pemilihnya. 

Dari sisi karakter calon. Hal ini terkait erat dengan persoalan  kemampuan mediasi dan komunikasi politik. Calon yang memiliki karakter baik cenderung mempunyai pola komunikasi politik vertikal dan horizontal yang baik. 

Hal ini menjadi poin penting untuk merekrut pemilih yang masih tinggi sentimen primordialnya. Keempat elemen tersebut akan sangat menentukan terpilihnya calon kepala daerah yang bersangkutan.  

Marketing politik yang handal adalah marketing yang mempertimbangkan rasionalitas pemilihnya. Untuk menyentuh aspek itu, maka empat elemen di atas perlu didesain serasional mungkin. 

Hal yang perlu diingat selalu adalah setiap pemilih rasional menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomis. Dari sinilah kita bisa menakar sejauh mana rasionalitas pemilih di NTT saat ini.  (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved