Anker UMKM

Berkelana dan Belajar dari Kalimantan Hingga Surabaya, Daminus Tekuni Profesi Menjahit

Damianus menceritakan perjalanannya yang dimulai dari merantau ke berbagai kota besar, sebelum akhirnya kembali ke Belu untuk membuka usaha.

Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/AGUS TANGGUR
Damianus Bau menceritakan perjalanannya yang dimulai dari merantau ke berbagai kota besar di Indonesia, sebelum akhirnya kembali ke Belu untuk membuka usaha menjahit. 

POS-KUPANG.COM - Seorang pria paruh baya sibuk di balik mesin jahit, tangannya cekatan menjahit lembaran kain untuk menjadi pakaian.
Nama Damianus Bau tidak asing lagi di kalangan warga setempat.Damianus menjalani hidup penuh liku sebagai seorang penjahit di Kota Atambua, Kabupaten Belu.

Ditemui Pos Kupang di tempat usahanya, Selasa (1/10), Damianus menceritakan perjalanannya yang dimulai dari merantau ke berbagai kota besar di Indonesia, sebelum akhirnya kembali ke Belu untuk membuka usaha.

"Saya mulai bekerja sejak tahun 1999," kenang Damianus. Ia pertama kali bekerja di Kupang, ibu kota Provinsi NTT, hingga tahun 2001.

Namun, perjalanan kariernya tidak berhenti di sana. Damianus memutuskan merantau lebih jauh ke Kalimantan pada tahun 2003.

Selama tujuh tahun hingga 2010, ia berusaha mencari peruntungan di sana, mencoba mengadu nasib dengan keterampilan yang ia miliki. Dari Kalimantan, Damianus melanjutkan perjalanan ke Surabaya, Jawa Timur.

Selama dua tahun di Surabaya, Damianus terus mengasah kemampuannya sebagai penjahit.  Setelah itu, ia kembali ke Kupang untuk bekerja selama setahun, sebelum akhirnya pindah ke Kefamenanu.

Setelah setahun di Kefamenanu, Damianus bergeser ke Belu dan menekuni profesi sebagai penjahit.

Ketika pertama kali memulai usaha menjahit, Damianus tidak memiliki banyak modal. Dengan tabungan yang minim, ia meminjam uang Rp 5 juta dari BRI sebagai modal awal untuk membeli peralatan dan bahan-bahan jahit.  

"Awalnya memang sulit," kenangnya.

Pemasukan sangat minim. Kadang sehari hanya dapat 5 potong pakaian untuk dijahit. Kalau lagi ramai bisa sampai 10 potong. “Tapi, kalau sedang sepi, tidak ada sama sekali," kisahnya.

Damianus memasang tarif yang terjangkau bagi masyarakat setempat. Untuk jasa vermak pakaian, ia mematok harga Rp 20 ribu, sementara untuk pakaian baru, sekitar Rp 120 ribu per potong.

Seragam kantor, yang lebih jarang dipesan, dihargai Rp 240 ribu. Dengan harga yang tidak terlalu tinggi, ayah dua orang anak ini tetap berusaha bertahan dan menghidupi keluarganya.

Dalam menjalankan usahanya, Damianus tidak sendirian. Ia dibantu dua orang karyawan, satu di antaranya keponakannya sendiri, Vester. Damianus mengakui bahwa ia belum bisa memberikan upah yang layak sesuai upah minimum.

"Saya hanya bisa memberikan upah sesuai pesanan yang ada. Kalau lagi ramai, mereka bisa mendapat lebih, tapi kalau sepi, ya, seadanya," tuturnya.

Meski demikian, Damianus tetap menekuni pekerjanya. Ia tetap optimis, dengan ketekunan, usaha jahitnya akan terus berkembang dan bisa memberikan penghidupan yang lebih baik bagi keluarganya dan karyawannya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved