Konflik Timur Tengah
Analisis Litbang Kompas: Konflik Timur Tengah Kian Memanas, Waspadai Ancaman Resesi Ekonomi Dunia
Analisis ini merekomendasikan pentingnya mewaspadai ancaman resesi ekonomi dunia sebagai dampak dari konflik tersebut.
POS-KUPANG.COM - Litbang Kompas merilis analisis mengenai dampak kian memanasnya konflik di Timur Tengah pasca tewasnya Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah dalam serangan Israel, Jumat (27/9/2024). Analisis ini merekomendasikan pentingnya mewaspadai ancaman resesi ekonomi dunia sebagai dampak dari konflik tersebut.
Konflik bersenjata kawasan Timur Tengah yang melibatkan Israel dengan sejumlah negara sekitarnya berpotensi besar akan menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian dunia. Bila konflik terus meluas dan menimbulkan kerusakan pada aset-aset vital di bidang energi, ancaman resesi akan sulit terhindarkan.
Posisi Timur Tengah yang berperan sentral sebagai suplai energi minyak bumi dan gas (migas) dunia membuat konflik yang terjadi saat ini menjadi sangat mengkhawatirkan bagi makroekonomi global. Apalagi, setidaknya ada dua negara produsen migas dunia, yakni Iran dan Irak, yang terseret dalam konflik melawan pasukan Israel tersebut.
Dengan situasi geopolitik saat ini, eskalasi serangan militer antarpihak yang berseteru dapat meningkat setiap saat. Dengan gugurnya Hassan Nasrallah yang berperan sebagai Sekretaris Jenderal Hizbullah dalam serangan militer Israel pada Sabtu (28/9/2024) di wilayah selatan Beirut, Lebanon, membuat konflik kian memanas di Timur Tengah.
Tewasnya petinggi gerakan anti-Israel dan kekuatan Barat itu membuat perlawanan terhadap Israel akan kian sengit. Apalagi, Hizbullah sekarang telah menjadi partai politik Muslim Syiah dan kelompok militan yang disegani di Lebanon. Dengan tewasnya petinggi Hizbullah, akan memicu gelora peperangan yang semakin besar bagi sebagian warga Lebanon yang negaranya berbatasan langsung dengan Israel. Pun demikian dengan para militan Hizbullah yang berada di negara tetangganya, Suriah.
Serangan yang menargetkan para petinggi organisasi anti-Israel itu memang sudah menjadi tekad Israel untuk meredam perlawanan terhadap kebijakan negaranya terkait Palestina. Gugurnya Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh pada 31 Juli 2024 lalu saat kunjungannya ke Iran juga merupakan taktik Israel untuk membungkam pergerakan yang menghalangi kebijakan negaranya.
Dengan langkah militer yang represif itu, membuat Israel harus bersiap menghadapi kemungkinan perlawanan yang kian kuat dari sejumlah negara kawasan Timur Tengah. Gugurnya para petinggi gerakan sayap kanan tersebut, maka ada kemungkinan skala konflik akan meluas. Pasalnya, Hizbullah dan Hamas memiliki basis pendukung yang menyebar di berbagai negara.
Hizbullah dan Hamas
Berdasarkan crf.org, Hizbullah merupakan organisasi partai politik Muslim Syiah dan kelompok militan yang memegang kekuasaan signifikan di Lebanon. Hizbullah secara keras menentang Israel dan kekuatan Barat yang beroperasi di Timur Tengah dan memosisikan organisasinya sebagai perwakilan Iran yang menjadi penyokong dana terbesarnya.
Hamas sendiri hampir mirip serupa dengan Hizbullah dalam segi perlawanan anti-Israel. Hanya saja, organisasi Hamas berhaluan Islam Sunni dan merupakan gerakan nasionalisme Palestina yang menentang pendudukan Zionis Israel di wilayahnya.
Dengan beragam mazhab organisasi tersebut, kemungkinan simpati terhadap perlawanan untuk menghadapi Israel itu akan bertambah. Setidaknya sudah ada tindakan lanjutan atas serangan Israel yang menyasar pada petinggi Hamas dan juga Hizbullah itu.
Pertama, serangan kelompok militan Irak yang menyasar Pelabuhan Laut Merah Israel di Eilat pada Rabu (25/9/2024). Meskipun serangan pesawat nirawak itu dapat dicegat Israel, tetap hal ini menunjukkan bahwa pendukung gerakan melawan Israel kian meluas. Tak hanya dari Palestina, Lebanon, Suriah, dan Iran, tetapi juga ada gerakan militan dari negara Irak.
Bahkan, bisa jadi memicu perlawanan kelompok sayap kanan Houthi yang menjadi pendukung minoritas Muslim Syiah di Yaman. Proksi pendukung kekuatan Hizbullah ini menimbulkan gangguan pada pelayaran di Laut Merah. Kelompok ini beberapa kali melancarkan serangan pada kapal-kapal komersial dan perdagangan yang diduga berkaitan dengan Israel, Amerika Serikat, dan Inggris.
Kedua, menyikapi kemungkinan eskalasi yang kian luas, Arab Saudi dan sejumlah negara-negara Eropa meminta agar segera dilakukan genjatan senjata. Pasalnya, saat ini militer Israel sedang berupaya melakukan serangan darat ke Lebanon. Apabila hal ini terjadi, kemungkinan peperangan akan kian sengit.
Baca juga: PM Netanyahu Menyebut Israel Telah Selesaikan Masalah dengan Kematian Hassan Nasrallah
Lebanon sebagai proksi kekuatan Iran pasti akan menarik Iran terlibat dalam konflik persenjataan. Pada Rabu (25/9/2024), Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengatakan bahwa Timur Tengah tengah menghadapi bencana skala penuh. Iran juga menegaskan bahwa Teheran akan mendukung Lebanon dengan segala cara jika Israel meningkatkan serangannya terhadap Hizbullah.
Ultimatum Iran itu tentu saja harus menjadi perhatian serius karena bila serangan Israel jadi dilakukan, akan berpotensi menimbulkan peperangan dan juga konflik geopolitik yang semakin luas di wilayah Timur Tengah. Akan semakin mudah negara-negara di kawasan itu terpicu untuk segera terlibat di dalam konflik lebih besar. Apalagi, Israel tidak menurunkan eskalasi serangannya di sejumlah negara. Israel terlaporkan secara rutin menyerang 6 dari 13 tetangganya di Timur Tengah. Palestina dan Lebanon diserang setiap hari. Irak, Suriah, dan Yaman setiap beberapa hari. Sementara itu, Iran sesekali diserang (Kompas.id, 30/9/2024)
Timur Tengah pemicu resesi dunia
Ada sejumlah catatan sejarah yang menorehkan konflik geopolitik Timur Tengah yang berimbas bagi perekonomian global akibat lonjakan harga energi dunia. Berdasarkan data dari Bp Statistical Review of World Energy 2022, setidaknya terdapat tiga peristiwa geopolitik pasca-tahun 1900 yang berdampak pada tingginya harga minyak dunia.
Pertama adalah perang Yom Kippur pada 1973 yang melibatkan Mesir dan Suriah melawan Israel demi merebut kembali wilayah yang lepas ke tangan Israel dalam Perang Arab-Israel tahun 1967. Dalam peperangan ini, kekuatan geopolitik negara-negara pemilik sumber daya minyak dipergunakan.
Negara-negara pengeskpor minyak bumi yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries/OPEC) memotong produksi minyak dunia dan melakukan embargo terhadap beberapa negara pendukung Israel. Akibat kebijakan geopolitik negara-negara produsen minyak terbesar di dunia itu, harga minyak global meroket dari yang sebelumnya hanya kurang dari 5 dollar AS per barel menjadi lebih dari 10 dollar AS per barel.
Negara-negara importir minyak dunia yang tidak terlibat konflik itu turut merasakan dampak kebijakan geopolitik negara-negara OPEC tersebut. Salah satu efek instannya adalah terjadi lonjakan inflasi yang mengancam pertumbuhan ekonomi semua negara-negara di dunia.
Kedua, peristiwa geopolitik berikutnya yang berdampak bagi situasi perekonomian global adalah revolusi Iran. Gerakan internal dalam negeri Iran yang berupaya mengubah sistem monarki menjadi Republik Islam itu menimbulkan sejumlah pergolakan politik dan konflik horizontal. Konflik geopolitik dalam negeri Iran yang bermula sekitar tahun 1978 itu turut berimbas pada melonjaknya harga minyak dunia.
Sejumlah negara di kawasan Timur Tengah sebagai produsen minyak bumi terbesar di dunia turut terbelah dalam revolusi Iran tersebut. Ada yang mendukung revolusi, tetapi ada juga yang tetap mempertahankan model konservatif kerajaan. Pro-kontra ini akhirnya mendorong menculnya organisasi Gulf Cooperation Council (GCC) yang terdiri dari Oman, Bahrain, Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, dan Kuwait.
Pembentukan GCC pada 1981 itu merupakan upaya untuk membendung meluasnya pengaruh revolusi Iran yang identik dengan Islam Syiah. Dampak dari revolusi Iran dan ketegangan di kawasan Timur Tengah itu turut berdampak pada melonjaknya harga minyak bumi dunia dari sebelumnya sekitar 15 dollar AS per barel menjadi sekitar 38 dollar AS per barel.
Ketiga, konflik geopolitik lainnya yang juga mendorong lonjakan harga minyak bumi secara fantastis adalah peristiwa ”Arab Spring”. Peristiwa yang terjadi pada tahun 2011 itu menjadi semacam transisi di mana masyarakat negara-negara Arab berupaya beralih dari sistem monarki menuju masyarakat yang jauh lebih demokratis.
Muncul sejumlah gerakan di beberapa negara di sekitar kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara di antaranya seperti Tunisia, Mesir, Aljazair, Jordania, Irak, dan Suriah yang berupaya melakukan reformasi pada pemerintahan yang memimpin. Pergerakan people power ini menimbulkan sejumlah pertentangan dan dukungan di kawasan tersebut.
Baca juga: Pembunuhan Sekjen Hizbullah Hassan Nasrallah: Puncak dari 20 Tahun Pelacakan Pakai Beragam Teknologi
Sama seperti sebelumnya, kemelut di kawasan penghasil minyak terbesar itu segera memicu kenaikan harga minyak dunia. Kala itu, harga minyak rata-rata global meroket hingga hampir mencapai 130 dollar AS per barel atau tertinggi sepanjang sejarah dunia. Kenaikan harga ini tentu saja membuat sejumlah negara di dunia berada dalam bayang-bayang resesi ekonomi, terutama bagi negara-negara importir energi skala besar.
Oleh karena itu, konflik yang kian memanas di Timur Tengah saat ini harus segera diredam dengan upaya gencatan senjata. Dengan demikian, potensi ancaman dan kerusakan akibat perang dapat diminimalkan. Dapat dibayangkan, seandainya Iran dan Irak terlibat konflik hingga membuat ladang-ladang minyaknya terdampak, maka akan berimbas besar bagi suplai energi dunia.
Iran dan Irak merupakan neragar produsen minyak bumi terbesar urutan ketiga dan keempat di Timur Tengah setelah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Setiap hari Iran dan Irak menyuplai sekitar 7 juta barel per hari untuk diekspor ke seluruh dunia atau sekitar 33 persen dari semua ekspor migas Timur Tengah yang mencapai kisaran 21 juta barel sehari. Dengan terganggunya suplai ekpsor migas akibat peperangan di Timur Tengah, ancaman resesi ekonomi akibat mahalnya harga energi akan menjadi sebuah keniscayaan. (budiawan sidik arifianto/kompas.id)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
konflik timur tengah
serangan israel
Hizbullah
Hamas
Litbang Kompas
resesi ekonomi global
Pos Kupang Hari Ini
POS-KUPANG.COM
Utusan Trump untuk Timur Tengah Bertemu Netanyahu di Tengah Desakan Gencatan Senjata |
![]() |
---|
Israel Serang Houthi di Yaman sebagai Respons terhadap Eskalasi yang Lambat |
![]() |
---|
Sedang Hadapi Pasukan Houthi di Laut Merah, AS Malah Tembak Pesawat Sendiri Pakai Rudal |
![]() |
---|
Israel Mulai Pembicaraan dengan Warga Suriah untuk Menemukan Lokasi Pemakaman Eli Cohen |
![]() |
---|
Para Diplomat Desak Penghormatan terhadap Kelompok Minoritas di Suriah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.