Berita NTT
Perubahan Status Taman Nasional Mutis Timau, WALHI NTT: Belajar dari TN Komodo
Yuvensius menjelaskan, skema perlindungan dalam kawasan Taman Nasional lebih terbatas apabila dibandingkan dengan Cagar Alam.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT merespons perubahan status Mutis Timau dari sebelumnya Cagar Alam menjadi Taman Nasional (TN). WALHI meminta perubahan status itu berkaca dari TN Komodo.
Kepala Divisi Advokasi WALHI NTT Yuvensius Stefanus Nonga mengatakan, Taman Nasional Mutis Timau mencakup luasan 78.789 hektare. Setidaknya membentang ada tiga daerah yakni Kabupaten yakni Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU).
"Kawasan Mutis Timau dalam lingkaran ancaman besar yang akan menghantam keberlanjutan Mutis Timau. Mutis Timau merupakan jantung pertahanan ekologis orang Timor yang memiliki peran ekologis yang cukup besar hampir di seluruh kawasan Timor," kata Yuvensius, Sabtu 28 September 2024.
Menurut WALHI, wilayah itu saat ini berada dalam satu skema ancaman kebijakan pemerintah pusat yang sama sekali mengabaikan keselamatan lingkungan dan keselamatan rakyat.
WALHI menyebut penetapan ini terkesan dilaksanakan tanpa konsultasi publik dengan masyarakat adat di sekitar kawasan Mutis Timau yang memiliki ikatan cultural dengan wilayah ini.
"Minimnya konsultasi publik bukti bahwa KLHK telah melakukan pengabaian terhadap Hak masyarakat adat sekitar kawasan Mutis Timau. Penetapan ini secara substansi telah menurunkan fungsi perlindungan Kawasan Mutis Timau," ujarnya.
Perubahan status Cagar Alam menjadi Taman Nasional, kata dia, secara bersamaan melemahkan prinsip perlindungan kawasan Mutis Timau.
"Hal ini tentu disadari oleh KLHK sebagai lembaga pemerintah pusat yang memiliki rekam jejak dalam upaya penurunan status dan utak atik zonasi dalam kawasan taman nasional salah satunya di taman nasional komodo," tambah dia.
Yuvensius menjelaskan, skema perlindungan dalam kawasan Taman Nasional lebih terbatas apabila dibandingkan dengan Cagar Alam.
Cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Sementara, lanjut dia, Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Baca juga: Cagar Alam Mutis Timau Resmi Jadi Taman Nasional ke-56 di Indonesia
Belajar dari Taman Nasional Komodo
Perubahan status kawasan Suaka Alam ke kawasan pelestarian alam bukan baru kali ini terjadi. Taman Nasional Komodo atau TN Komodo yang sebelumnya juga merupakan Kawasan Suaka Margasatwa yang merupakan bagian dari kawasan Suaka Alam yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Sejarah penetapan kawasan ini dimulai Pada tahun 1938 Penetapan Suaka Margasatwa Pulau Rinca dan Suaka Margasatwa Pulau Padar. Tahun 1965 Penetapan Suaka Margasatwa Pulau Komodo.
Tahun 1977 Penunjukan sebagai Cagar Biosfer Komodo dalam program Man and Biosphere Reserve oleh The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Kemudian pada tahun 1980 Penunjukan sebagai Taman Nasional Komodo.
Pasca penetapan Taman Nasional Komodo merupakan awal dari catatan sejarah dimana peranan KLHK dalam merombak sistem zonasi dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
"Pulau Padar dan Tatawa menggambarkan perubahan zonasi yang signifikan sebelum dan setelah 2012," katanya.
Di Pulau Padar, sebelum tahun 2012 hanya terdapat zona inti dan zona rimba, namun KLHK mengeluarkan SK No. SK.21/IV-SET/2012 mengkonversi 303,9 hektar menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Zona ini terbagi menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik.
Kemudian pada September 2014, KLHK memberikan izin kepada PT KWE untuk mengelola 274,13 hektar dari ruang usaha yang ada. Serupa, di Pulau Tatawa, zonasi juga diubah oleh KLHK untuk mendukung investasi PT Synergindo Niagatama (PT SN).
Pada tahun 2012, 20,944 hektar lahan di Pulau Tatawa dikonversi menjadi zona pemanfaatan wisata darat, dengan 14,454 hektar untuk ruang publik dan 6,490 hektar untuk ruang usaha.
Pada tahun 2014, PT SN memperoleh konsesi untuk membangun bisnis pariwisata di seluruh ruang usaha yang tersedia.
"Mutis Timau dalam ancaman yang sama
kita patut mempertanyakan apa agenda lanjutan dari pemerintah pusat pasca penetapan taman Nasiona Mutis Timau," kata Yuvensius.
WALHI NTT menduga pola yang sama di TN Komodo akan terulang di TN Mutis Timau. Perubahan status itu membuka akses bagi pengusaha untuk mengembangkan bisnisnya di kawasan tersebut.
"Apakah pola yang terjadi di Taman Nasional Komodo akan kembali terulang di Taman Nasional Mutis Timau?. Yang pasti bahwa pengelolaan taman nasional Mutis Timau akan dilakukan dengan sistem Zonasi yang akan memberikan akses bagi para pengusaha-pengusaha mengembangkan bisnisnya," kata dia.
Dia menegaskan, upaya masyarakat adat dalam perlindungan Mutis Timau dengan pendekatan kultural yang diwariskan secara turun temurun diabaikan oleh KLHK yang semestinya menjadi satu satunya lembaga yang turut serta dalam memastikan keberlanjutan lingkungan hidup.
"KLHK wajib membatalkan kembali keputusan yang keliru di Mutis Timau karena itu satu satunya pilihan waras dalam upaya perlindungan lingkungan dan penyelamatan masyarakat adat," tegas dia. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.