Opini

Opini: Calon bukan Balon

Di sudut-sudut kota, foto dan baliho nyaris memiliki pola yang sama. Semua foto ditampilkan dengan tangan mengepal.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/FB LASARUS JEHAMAT
Lasarus Jehamat. 

Oleh : Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang

POS-KUPANG.COM - Hari-hari ini, riuh politik lokal nyaris melampaui gemuruh politik nasional. Sebab utamanya ialah karena perilaku aneh mereka yang ingin berkuasa. 

Saat ini, mereka datang menemuai rakyat dengan berbagai cara dan model. Mereka yang tadinya berjarak, sekarang merapat. Yang tadi menjauh, sekarang mendekat. Menarik memang.

Di sudut-sudut kota, foto dan baliho nyaris memiliki pola yang sama. Semua foto ditampilkan dengan tangan mengepal. Antara menunjukkan sikap optimistis dengan perilaku menyerang beda-beda tipis. Intinya, semua seperti mau berkelahi. Kepalan tangan para pencari kekuasan kian hari kian membesar.

Mereka lupa bahwa dalam kaca mata semiotika, kepalan tangan seperti itu bisa saja dibaca sebagai kegemaran orang untuk berkonflik dengan yang lain. 

Atau, dalam spektrum yang lain, kepalan tangan yang membesar tersebut seakan memberitahukan bahwa kekuasaannya nanti akan membesar dan jelas terpusat pada satu tangan. Kekuasaan pada satu tangan inilah yang justru dibenci dan tolak rakyat. Sudahlah.

Mari Kembali ke fokus tulisan ini. Calon bukan balon merupakan ungkapan kegundahan isi hati penulis terkait perilaku politik, terutama elite politik lokal akhir-akhir ini. Yang dimaksud ialah ragam janji Surga yang disampaikan ke publik. 

Seperti dijelaskan di awal tulisan ini, para elite itu seakan sangat dekat dengan masyarakat sekarang. Di beberapa tempat, mereka mempertontonkan kekuasaan massa. Mereka lupa bahwa itu hanya massa. 

Massa belum tentu pemilih. Massa bersifat irrasional dan pemilih, biasanya (bisa saja tidak), bersifat rasional.

Itulah alasan, mengapa saat deklarasi, banyak manusia hadir dan bergembira. Sesungguhnya, yang hadir di sana bukan karena kesadaran bahwa politik ini penting. 

Silakan diperiksa. Dalam batas tertentu, massa hadir karena banyak alasan. Entah mencari suasana baru di tengah kesumpekan sosial dan ekonomi, entah karena alasan satu suku, alasan pertemanan, karena dijanjikan nasi bungkus, entah disebut satu agama, dan lain-lain. 

Yang pasti, hanya sedikit saja yang benar-benar ingin mendengar isi deklarasi. Hanya segelintir saja yang menanti diskusi hal-hal penting yang akan dibuat para calon jika nanti terpilih.

Program tidak akan dibahas di acara dengan massa seluas lapangan itu. Yang terjadi hanya unjuk kekuatan yang tidak memiliki kekuatan politik apa-apa. 

Politik kita memang demikian. Politik belum disebut politik kalau tidak ada pengumpulan massa. Padahal, diskusi mengeksplorasi ide bisa dilakukan tidak dengan massa banyak tetapi dengan beberapa elemen organik terkait di banyak tempat dan ragam kegiatan.

Politik Perlawanan

Dalam With Power Comes Responsibility, McKeown (2024) menyebutkan bahwa dalam dirinya, politik harus diisi oleh agen moral. 

Agen moral ini yang bertanggung jawab atas ketidakadilan struktural global, nasional, dan lokal. Sebagai agen moral, politik dan terutama politisi bertanggung jawab untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. 

Jika politik tidak bisa menjadi agen moral, rakyat dengan caranya masing-masing melakukan gerakan perubahan.Gerakan perubahan adalah tindakan perlawanan dalam bentuknya yang lain. 

Dalam studinya, McKeown mendapatkan gambaran bahwa politik sekarang dipenuhi oleh apa yang disebut dengan ketidakadilan sosial. 

Ketidakadilan sosial sesungguhnya dihasilkan dari sistem dan proses politik yang salah. Menurut McKeown, pilihannya ialah meluruskan jalan keadilan yang bengkok itu atau tetap menjaga ritme ketidakadilan dengan implikasi memunculkan ketidakadilan baru. 

Inilah tantangan politik kontemporer.Tugas politik adalah merumuskan model pertanggungjawaban elite pada masyarakat.

Harus diakui bahwa denyut politik saat ini lebih banyak berisi janji utopia ketimbang membangun kesadaran emansipatoris (Abensour, dkk, 2024). 

Padahal, politik membutuhkan kesadaran emansipatif untuk bisa keluar dari berbagai macam tekanan sosial. 

Menurut Abensour, dkk, sementara sebagian besar teori demokrasi modern berkonsentrasi pada cara demokrasi diatur secara institusional, Abensour, dkk mendukung peralihan demokrasi radikal dengan berteori tentang demokrasi sebagai cara tindakan yang terus-menerus menantang tatanan yang dipaksakan secara hirarkis melalui kontestasi yang berkelanjutan. 

Abensour menguraikan teorinya tentang demokrasi pemberontakan dalam demokrasi melawan negara. Dia menunjukkan antagonisme fundamental antara negara sebagai institusi yang dikendalikan oleh sekelompok individu yang memiliki kekuasaan atas demos. 

Pada akhirnya, negara adalah institusi yang heteronom, hierarkis, direifikasi, dan relasi.

Bukan Balon

Perilaku elite politik (lokal) saat ini nyaris seperti balon; mengencang penuh saat ditiup, tetapi rawan pecah. Tampak luarnya sama. Warna warni. 

Yang diisi ialah janji-janji. Warna-warni inilah yang membuat massa datang menghadiri kampanye atau kegiatan sejenisnya. Massa seperti anak kecil yang diumpan dengan balon warna-warni itu. 

Soal isi kampanye, jangan tanya. Soal program ke depan, tidak perlu dielaborasi. Diskusi terkait kebutuhan dan strategi pengentasan ragam masalah fisik dan sosial nyaris tak terlihat. 

Seperti dianjurkan Abensour, dkk, politik mengandaikan adanya gerak laju demokrasi radikal. Di sana, elite perlu mencari ide, gagasan, dan cara menyelesaikan masalah dari rakyat. 

Elite bukanlah elemen yang tahu segala-galanya. Termasuk di dalamnya ialah bertanya ke masyarakat tentang mekanisme kontrol yang tepat jika suatu saat, elite kekuasaan mendapatkan kekuasaan. Itulah yang disebut demokrasi radikal. Rakyat yang menentukan segalanya.

Untuk konteks NTT, sejauh ini para bakal calon pemimpin (calon gubernur dan wakil, bupati dan wakil bupati, serta para calon walikota dan wakil walikota) belum menjelaskan programnya secara komprehensif. 

Betul ini bagian dari taktik politik. Tetapi, dalam beberapa konteks, mestinya para bakal calon pemimpin menjelaskan ke publik program kerjanya nanti. 

Gugatannya ialah apakah para bakal calon tersebut telah serius menggali dan melibatkan masyarakat dalam mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi dan dengan demikian merancang model penyelesaian bersama nanti? 

Untuk kasus pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT misalnya, ketiga paket yang ada saat ini hemat saya hanya bernarasi menurut latar program yang digeluti selama ini. 

Paket Melki-Johni fokus ke bidang kesehatan, Ansy-Jane hanya berkutat dengan pertanian dan perikanan, dan Simon P Kamlasi-Ande Garu ke air bersih. Saya belum mendengar tiga paket ini mengangkat program lain. 

Isu kemiskian, perdagangan manusia, lingkungan, pendidikan, penyediaan lapangan kerja, dan lain-lain jauh dari diskursus. Seperti para paket calon gubernur, paket bupati dan wakil bupati atau walikota juga sama. 

Saya kira ini belum terlambat. McKeown dan Abensour, dkk sudah memberikan kunci. Pertama, elite harus berpikir bahwa mereka merupakan agen moral. Artinya, mereka bukan hanya entitas politik. 

Karena entitas moral, para paket tentu harus berpikir tentang cara mensejahterakan rakyat sebagai puncak tertinggi dari urusan moral politik. 

Kedua, demokrasi radikal mengandaikan rakyat mengontrol cara bernegara yang benar. Jadi, saat kampanye, minta kesediaan rakyat untuk memetakan aset, masalah, dan rencana  yang dapat dilakukan paket jika terpilih nanti (tentu disinkronkan dengan program yang sudah disusun dalam visi dan misi). 

Termasuk di dalamnya ialah mekanisme kontrol dan evaluasi. Jika itu tidak dilakukan, paket sesungguhnya balon dan bukan calon. Ingat itu. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved