Opini
Opini: Standar Sosial Media, Sebuah Cermin yang Pengaruhi Preferensi Perilaku Remaja
Penggunaan sosial media didominasi oleh usia 18-34 tahun dengan persentase 54,1 persen dari total 191 juta pengguna.
Oleh: Aprianus Paskalius Taboen, S.Pd, M.Si
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Nusa Cendana
POS-KUPANG.COM - Era digital telah mengubah lanskap kehidupan remaja, khususnya dalam membentuk preferensi perilaku mereka.
Sosial media, yang dulunya sekadar platform komunikasi, kini menjelma menjadi cermin raksasa yang memantulkan standar-standar baru, membentuk cara pandang, dan memengaruhi pilihan mereka.
Fenomena ini, yang seringkali luput dari perhatian, memiliki dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif, terhadap perkembangan remaja.
Merujuk pada data rilisan 2024 dari databoks.katadata.co.id jumlah pengguna sosial media di Indonesia adalah 191 juta pengguna atau 73,3 persen dari jumlah populasi penduduk Indonesia.
Penggunaan sosial media didominasi oleh usia 18-34 tahun dengan persentase 54,1 persen dari total 191 juta pengguna.
Terdapat 167 juta pengguna aktif yang dipastikan memiliki lebih dari satu akun sosial media. Adapun komposisi penggunaan sosial media sebagai berikut: Youtube sebanyak 139 juta pengguna, Instagram sebanyak 122 juta pengguna, Facebook sebanyak 118 juta pengguna, WhatsApp sebanyak 116 juta pengguna, dan Tiktok sebanyak 89 juta pengguna.
Frekuensi penggunaan sosial media pada rentang usia tersebut rata-rata 3-14 jam per hari dengan 81 persen dari total pengguna dipastikan memiliki lebih dari satu akun sosial media.
Dari data tersebut dapat diartikan bahwa era konsumsi informasi digital secara massal tak dapat dihindari sehingga hal ini disisi yang lain berpotensi membawa konsekuensi terhadap internalisasi nilai, konsep, opini, dan fakta dalam waktu yang relatif singkat teradap individu khusunya remaja.
Melalui gawai yang dimiliki, akses terhadap informasi daring dan interaksi berbasis teknologi memberikan pengalaman baru bagi remaja dalam bersosialisasi dan membentuk ulang nilai-nilai beragam dari berbagai konten kreator yang dikenal sebagai influencer.
Tren yang dibentuk oleh influencer memiliki pengaruh yang relatif kuat dalam membentuk bagaimana remaja berpikir, bertindak, dan berinteraksi.
Dengan kata lain mereka terpapar konten-konten yang sarat dengan kepentingan dan mengarahkan persepsi remaja pada satu titik tertentu. Situasi ini membawa mereka pada satu fenomena bernama standar sosial media.
Berbagai hal dalam kehidupan mulai dari romansa, kecantikan, kesuksesan, pandangan hidup, gaya hidup ideal, dan spiritualitas menjadi tema-tema menarik yang diangkat oleh para konten kreator.
Salah satu social media tiktok misalnya, kebanyakan dikemas dengan narasi yang tidak utuh, sumber rujukan yang kurang jelas, dan pembahasan yang tidak mendalam.
Hanya dengan bermodalkan sentuhan musik latar “kekinian” berdurasi singkat, mampu menarik perhatian dan menjadi semacam legitimasi serta rujukan pedoman dalam kehidupan remaja.
Beberapa konten mungkin terlihat wajar, namun persoalannya terletak pada kesiapan mental, wisdom, daya kritis, dan pemahaman yang benar dalam menerima dan mengolah informasi yang didapat.
Beberapa konten justru tidak tepat sasaran bahkan diperuntukan untuk kalangan tertentu dengan latarbelakang sosial dan pendidikan tertentu.
Interaksi dengan sosial media dalam intensitas yang relatif sering dan tanpa pemahaman yang benar berdampak pada preferensi perilaku remaja dalam hal hubungan nilai interpersonal.
Norma-norma digital, seperti jumlah like dan follower, dapat memengaruhi persepsi remaja tentang popularitas dan nilai sosial.
Mereka mungkin merasa tertekan untuk mendapatkan pengakuan dan validasi di sosial media, yang dapat menyebabkan persaingan dan perbandingan yang tidak sehat. Hal ini dapat berujung pada rasa tidak aman, isolasi sosial, dan bahkan cyberbullying.
Standar sosial media yang tidak sehat juga mendorong remaja untuk melakukan perilaku berisiko. Konten yang dibagikan di sosial media, seperti video atau gambar yang menampilkan perilaku menyimpang, memberikan pengaruh negatif pada remaja, khususnya yang rentan terhadap pengaruh teman sebaya.
Hal-hal berbahaya yang dinormalisasi akan membawa remaja pada penyimpangan yang masif akibat kesadaran dan pemahaman yang tidak sempurna akan sesuatu (sosialisasi tidak sempurna).
Contoh: penggunaan kata kasar dan tidak sopan yang dianggap biasa di kalangan remaja akibat meniru apa yang diucapkan para influencer, promosi judi online dalam bentuk bujukan yang terselubung, normalisasi hubungan seksual yang tidak aman, ajakan merokok dan menikmati alkohol untuk mendapatkan pengakuan atau rasa diterima dalam kelompok sosialnya.
Selanjutnya, standar sosial media juga memengaruhi cara remaja dalam preferensi konsumsi.
Iklan dan promosi produk yang dijalankan di sosial media efektif memengaruhi pilihan mereka.
Standar sosial media yang menitikberatkan pada gaya hidup konsumtif dan materialistik mendorong remaja untuk membeli produk-produk tertentu, mengikuti tren terbaru, dan menunjukkan status sosial mereka melalui konsumsi.
Hal ini dapat menyebabkan perilaku konsumtif yang berlebihan sehingga berdampak negatif pada kondisi keuangan remaja dan mengarah pada sifat pamer (flexing).
Standar sosial media yang tidak realistis berdampak negatif pula pada perilaku dan pembentukan identitas remaja.
Mereka mulai membandingkan diri dengan orang lain, yang dapat memicu perasaan iri dan kecemburuan, serta mendorong perilaku agresif atau kompetitif yang tidak sehat.
Hal demikian terjadi ka rena remaja telah terpapar oleh konten-konten yang diedit dengan filter sehingga menciptakan persepsi sempit akan standar hidup versi dunia maya.
Tekanan untuk tampil sempurna di sosial media dapat menyebabkan mereka menciptakan persona online yang berbeda dari kepribadian mereka yang sebenarnya.
Perlahan situasi demikian tanpa disadari akan menyebabkan kebingungan identitas, kepalsuan, dan ketidakpastian tentang siapa diri mereka sebenarnya.
Bagaimana Konten Sosial Media Memengaruhi Preferensi Perilaku Remaja Merujuk pada teori sosiologi konstruksi sosial Peter L. Berger fenomena “standar sosial media” merupakan sesuatu yang muncul karena realitas tersebut disambut baik oleh banyak remaja sehingga terjadi proses konstruksi realitas secara akumulatif kolektif dengan penyebaran yang relatif cepat.
Teori konstruksi sosial menjelaskan bahwa realitas sosial merupakan bangunan yang diciptakan oleh individu atau kelompok secara bertahap dan diterima sebagai fakta yang relatif kuat.
Konten yang diproduksi oleh influencer merupakan objek netral ketika dilepas di ruang publik --meskipun dibuat dengan sejumlah pertimbangan dan maksud tertentu--, kemudian berubah menjadi bermuatan subyektif karena diinterpretasikan sebagai sesuatu yang related dengan kehidupan remaja sehari-hari.
Individu sebagai penerima adalah penentu utama dalam proses konstruksi. Remaja dalam hal ini mempunyai kehendak bebas dalam menafsirkan segala tayangan yang berseliweran di sosial media mereka.
Konten-konten di sosial media dalam konteks konstruksi sosial hanyalah objek yang dapat mengubah apa pun dan siap pun atas kehendak si penerima.
Fase remaja justru memiliki kecendrungan untuk melihat konten-konten di sosial media sebagai resep ampuh dan referensi wajib yang memberi banyak soslusi.
Kombinasi dari karakterisitik remaja dan propaganda sosial media yang gencar berhasil memengaruhi preferensi perilaku remaja.
Masa remaja merupakan periode transisi penting dalam kehidupan
manusia. Pada masa ini, individu mengalami perubahan fisik, kognitif, dan sosial yang signifikan.
Perubahan-perubahan ini mendorong remaja untuk mencari jati diri, membangun sistem nilai, dan mengembangkan identitas mereka sendiri.
Proses ini melibatkan internalisasi nilai-nilai sosial budaya yang diwariskan oleh lingkungan mereka.
Internalisasi nilai-nilai sosial budaya merupakan proses penting dalam pembentukan perilaku dan identitas individu, termasuk cara remaja menerima dan mengolah asupan konten- konten di sosial media.
Membangun Kesadaran dan Keterampilan Sosial Media pada Remaja
Untuk mengatasi dampak negatif standar sosial media, penting membangun kesadaran dan keterampilan sosial media yang sehat di kalangan remaja.
Orang tua, pendidik, dan platform sosial media sendiri memiliki peran penting dalam proses ini, membantu remaja memahami cara kerja konten sosial media terhadap preferensi remaja.
Kesadaran sosial media pada remaja sendiri bermanfaat untuk menganalisis dan mengevaluasi isi pesan sosial media yang mereka konsumsi. Hal ini mencakup pemahaman tentang bagaimana konten diproduksi, tujuan di balik pesan konten social media, dan pengaruhnya terhadap persepsi diri.
Remaja perlu memahami risiko seperti cyberbullying, penyalahgunaan data pribadi, dan konten yang “setengah matang” --tanpa riset mendalam.
Algoritma sosial media adalah komponen yang memainkan peran dalam mengarahkan minat dan ketertarikan remaja dalam menggunakan sosial media mereka.
Algoritma sosial media bekerja mengumpulkan informasi umum remaja pengguna sosial media dengan cara menganalisis perilaku pengguna berdasarkan riwayat penelusuran di mesin pencarian, konten yang
disukai, konten yang sering dilihat, konten yang diikuti, dan potensi ketertarikan pengguna terhadap iklan yang ditampilkan secara acak.
Oleh sebab itu, penting bagi remaja memiliki kemampuan manajemen waktu dan kesadaran menjaga privasi data pribadi dengan menggunakan sosial media secara selektif dan bertanggung jawab.
Orang tua dapat mempromosikan penggunaan sosial media yang seimbang untuk kebermanfaatan yang konstruktif.
Penting untuk mendorong remaja terlibat dalam kegiatan lain selain menghabiskan waktu luangnya untuk mengakses konten sosial media yang di satu sisi bersifat destruktif.
Kegiatan seperti bertukar cerita, olah raga bersama, kegiatan seni, kegiatan sosial, dan pengembangan diri menjadi pilihan paling mudah sekaligus sulit.
Strategi ini menjadi sulit karena berhubungan dengan ketersediaan waktu dan kedekatan orang tua dengan anaknya yang merupakan faktor paling utama.
Ketika orang tua sudah mampu membangun kedekatan dengan anak remajanya dan menghadirkan lingkungan rumah yang positif dan suportif, terutama bagi perkembangan psikis, kognitif, maupun spiritual remaja maka akan lebih mudah bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai positif dan membuat aturan atau menentukan batasan yang jelas bagi remaja untuk menghadapi dunia luarnya, salah satunya dalam bersosial media. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.