Opini
Opini: Femisida, Kekerasan Gender yang Tak Kunjung Usai
Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan mencerminkan realitas suram yang masih dihadapi oleh perempuan di pelosok negeri Indonesia.
Oleh Velin Jessica
Mahasiswa magang di IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change) Nusa Tenggara Timur.
POS-KUPANG.COM - Perlakuan kekerasan terhadap perempuan menjadi isu yang meresahkan dan femisida merupakan manifestasi paling brutal dari ketidaksetaraan gender yang mengakar dalam masyarakat.
Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan mencerminkan realitas suram yang masih dihadapi oleh perempuan di pelosok negeri Indonesia.
Meski berbagai Upaya telah dilakukan untuk mengatasi kekerasan berbasis gender, kasus-kasus femisida terus muncul, menjadi bukti nyata bahwa kekerasan ini belum juga usai.
KDRT atau Kekerasan dalam Rumah Tangga sering kali yang menjadi langkah awal dari adanya femisida, terutama saat kekerasan dalam rumah tangga dibiarkan tanpa adanya intervensi yang memadai.
Banyak kasus femisida yang terjadi setelah periode panjang KDRT, yakni korban telah mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, psikologis, maupun seksual.
KDRT yang sering berakhir restorative justice pada tingkat pengadilan dengan alasan anak, adalah bukti bahwa selain KDRT terjadi juga eksploitasi anak terhadap kasus kekerasan tersebut.
Kekerasan berbasis gender yang tak kunjung usai menyebabkan ketakutan pada
perempuan pada pernikahan atau bukan pernikahan yang ditakutkan perempuan namun takut akan salah dalam memilih pasangan.
Kasus KDRT yang dilakukan oleh suami Cut Intan yang diunggah lewat akun instagramnya pada tanggal 13 Agustus 2024 menarik perhatian publik.
Kekerasan yang dilakukan oleh Armor (suaminya) dengan memukuli Intan beberapa kali, menjambak rambutnya hingga Intan tergeletak di Kasur serta bayi yang di kasur terkena tendangan oleh Armor.
Kasus ini menggambarkan bagaimana femisida sering kali merupakan puncak dari siklus kekerasan yang berlangsung lama, di mana perempuan terus-menerus dihadapkan pada ancaman, intimidasi, dan kekerasan dari orang-orang yang seharusnya melindungi mereka.
Mirisnya di tanggal yang sama terjadi kekerasan terhadap perempuan di Kota Kupang hingga korban kehilangan nyawa.
Korban Maria Mei berprofesi sebagai aparatur sipil negara yang bekerja di Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tewas diakibatkan kekerasan yang dilakukan suaminya Albert Solo yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Pemprov NTT.
Pelaku mengatakan kejadian tersebut terjadi di bawah pengaruh miras (pelaku sedang mabuk).
Kekerasan yang dialami bukan hanya insiden terisolasi, tetapi cerminan dari pola kekerasan yang kerap kali terjadi dalam hubungan rumah tangga yang toxic.
Uraian kasus femisida yang dialami akhir-akhir ini menjadi alasan mengapa angka pernikahan di Indonesia menurun drastis. Angka pernikahan di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir menurun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2024 melaporkan angka pernikahan di Indonesia tercatat menurun sekitar dua juta.
Ada sejumlah faktor atau pemicu yang melatarbelakangi angka perceraian tinggi, salah satunya merupakan faktor KDRT.
Berdasarkan laporan terbaru dari aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indonesia mengalami lonjakan signifikan dalam kasus kekerasan sepanjang tahun 2024.
Data yang dihimpun per 1 Januari hingga 14 Agustus 2024 mencatat total 15.490 kasus kekerasan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga mendominasi laporan, dengan total 9.503 kasus.
Di balik setiap kasus kekerasan berbasis gender ini, seringkali ada cerita perempuan yang hidupnya direnggut secara kejam, baik kekerasan secara verbal maupun fisik.
Cut Intan dan Maria Mei mewakili kenyataan pahit bahwa femisida adalah bentuk kekerasan gender yang masih marak terjadi dan seringkali diabaikan.
Kedua kasus ini memperlihatkan pola kekerasan yang serupa dimulai dari kekerasan dalam hubungan yang tak terkontrol, didorong oleh dinamika kuasa dan dominasi yang tidak sehat, dan akhirnya berujung pada tindakan femisida.
Kesakitan yang dialami Cut Intan dan kematian Maria Mei adalah pengingat nyata bahwa kekerasan berbasis gender masih menjadi masalah yang mengakar dalam masyarakat kita.
Femisida sebagai bentuk kekerasan gender yang paling ekstrem, mengungkapkan ketidakmampuan masyarakat dan sistem hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan yang sering kali dimulai dalam lingkup rumah tangga dan berujung pada tragedi yang memilukan.
Untuk menghentikan kekerasan jender yang tak kunjung usai ini, kita memerlukan tindakan nyata dan komitmen bersama untuk mengubah norma-norma yang meremehkan dan membiarkan kekerasan terhadap perempuan.
Perlindungan terhadap hak dan keselamatan perempuan harus menjadi prioritas utama, dan penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas untuk memastikan bahwa pelaku kekerasan tidak dibiarkan bebas, sementara perempuan tidak lagi harus hidup dalam ketakutan.
Membuat perlindungan terhadap hak dan keselamatan perempuan serta penegakan hukum yang keras terutama pada kasus berbasis femisida. Mengingat banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak diselesaikan secara khusus.
Sebagai contoh Femisida sering kali diperlakukan sebagai pembunuhan biasa di bawah KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tanpa mempertimbangkan konteks relasi gender dan motivasi diskriminatif di balik kejahatan tersebut. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.