Opini

Opini: 2 Uskup, 3 Pesan, 4 Aspek

Gereja Katolik Indonesia dan bangsa ini telah memperlihatkan kepada dunia tentang iman yang hidup, persaudaraan yang lintas batas.

|
Editor: Dion DB Putra
YOUTUBE/KOMSOS KWI
Paus Fransiskus saat menyampaikan kotbah pada misa akbar di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Kamis (5/9/2024) petang. 

Memaknai Tahbisan Mgr Budi dan Kunjungan Paus Fransiskus dalam Konteks

Oleh: Agustinus Tetiro 
Penulis Katolik, tinggal di Jakarta

POS-KUPANG.COM - Kurang dari satu bulan terakhir ini, gereja Katolik Indonesia, khususnya gereja lokal keuskupan Agung Ende, mendapatkan dua peristiwa berahmat yang berkaitan langsung dengan peristiwa iman dan kerja pastoral.

Kedua peristiwa itu yakni tahbisan uskup agung Ende Mgr Paulus Budi Kleden SVD pada 22 Agustus 2024 dan kunjungan (visitasi) Sri Paus Fransiskus ke Indonesia (Jakarta) pada 3-6 September 2024.

Dua uskup agung ini sama-sama menyampaikan 3 (tiga) pesan penting yang, menurut saya, sangat berkaitan satu sama lain. 

Uskup Agung Ende Mgr Paul Budi Kleden, SVD saat memberikan sambutan usai misa penahbisan di Gereja Katedral Ende, Kamis 22 Agustus 2024.
Uskup Agung Ende Mgr Paul Budi Kleden, SVD saat memberikan sambutan usai misa penahbisan di Gereja Katedral Ende, Kamis 22 Agustus 2024. (POS-KUPANG.COM/ARNOLD WELIANTO)

Uskup Agung Ende Mgr Budi Kleden - mengangkat motto tahbisan episkopalnya dari Surat Kepada Orang Ibrani 13: 1, Peliharalah Kasih Persaudaraan (Caritas Fraternitatis Maneat in Vobis) – memberikan pesan pada awal tahbisannya dengan penekanan pada 3 hal. 

Pertama, spiritualitas inkarnatif.  Sabda yang menjadi daging, menjadi manusia. 

Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus yang hidup di tengah kita adalah Allah yang lebih dahulu telah mencintai dan mengasihi kita dengan Kasih Tuhan yang merangkul, menyembuhkan dan merawat. 

Kedua, penguatan identitas diri melalui Pendidikan tanpa akhir. Pendidikan menjadi sangat penting untuk menciptakan pribadi-pribadi mandiri.

Oleh karena itu, kita semua bertanggung jawab mendidik anak-anak dan mendidik diri sendiri untuk sampai pada suatu kualitas unggul tertentu. 

Agustinus Tetiro.
Agustinus Tetiro. (DOK PRIBADI)

Ketiga, membaharui solidaritas dengan berbela rasa, mendukung dan memperhatikan orang lain, terutama yang terpinggirkan dan sedang menderita. 

Hal ini hanya bisa dilakukan jika kita mau berkorban: rela melepaskan yang kita sukai demi kebaikan bersama.

“Jangan kita gadaikan persaudaraan itu dengan isu-isu yang merusakkan nama baik agama dan peristiwa-peristiwa politik yang sesaat,” tegas Mgr Budi dalam sambutan saat pentahbisan di Gereja Katedral Ende.

Hal senada juga diungkapkan dalam tema besar kunjungan Sri Paus ke Indonesia: Iman (Faith), Persaudaraan (Fraternity), dan Kepedulian/Bela Rasa (Compassion). 

Bagi uskup agung Roma itu, gereja Katolik Indonesia dan bangsa ini telah memperlihatkan kepada dunia tentang iman yang hidup, persaudaraan yang lintas batas, dan kepeduliaan serta bela rasa yang otentik. 

Bapa Suci memuji Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kekayaan bangsa Indonesia. 

Oleh karena itu, sembari mengajak kita untuk terus masuk ke kedalaman pembelajaran dan pengalaman tentang hidup beriman, serentak memperkuat ikatan

persaudaraan lintas-batas, Sri Paus berpesan, “Jangan lelah bermimpi dan menjadi contoh hidup dalam kasih persaudaraan!”

4 Aspek Penting: Badan, Hati, Rumah, Tetangga

Menarik untuk menyimak sebulan pertama Mgr Budi dan 4 hari kunjungan Sri Paus. Mgr Budi tiba di Ende pada 10 Agustus 2024 dan disambut secara amat meriah, kendati Sang Yubilaris berkali-kali meminta rangkaian acara digelar sesederhana mungkin. 

Dengan keramahannya, Mgr Budi menyapa semua orang, umatnya, dengan sapaan yang hangat, dengan jabatan tangan, dengan tepukan pada bahu dan lengan, dengan pelukan dan ciuman persahabatan. Dengan cinta dan hati yang penuh kasih.

“Saya sudah hadir di sini dengan badan dan hati saya untuk keuskupan agung Ende yang kita cintai bersama ini. Saya akan menetap di rumah keuskupan di Ndona ini. Saya adalah Bapa dan saudara bagimu,” demikian Mgr Budi dalam ibadat penerimaan.

Mgr Budi mengapresiasi penerimaan yang penuh kehangatan kasih dari saudara-saudari muslim di Ndona dan mengingat pesan Bapa Ismail Ibrahim, “tinggallah dengan hati yang tenang, lakukan dengan jiwa gembira dan penuh harapan”. 

Maka, ketika mendengar ada kedukaan pada sebuah keluarga muslim di sekitaran kintal keuskupan, Mgr Budi langsung melayat. Banyak orang memujinya. 

Bapa Uskup Budi malah melihat hal itu sebagai hal yang alamiah, sesuai kebiasaan, bahwa ketika tetangga meninggal, kita wajib hukumnya untuk melayat.

Begitu juga dengan kesan pertama kita pada Sri Paus yang tiba dengan pesawat komersial, menumpang minibus Innova, duduk di samping pengemudi, membuka kaca jendela, melambaikan tangan dan memberikan berkat kepada orang-orang yang menyapanya di pinggir jalan. 

Teladan kesederhanaan kemudian juga muncul ketika Bapa Suci lebih memilih menginap di rumah kedutaan besar Vatikan di Jakarta daripada di hotel mewah berbintang lima. 

Kata salah satu pelayannya, Bapa Suci hanya memilih satu-dua menu makan selama di Jakarta, padahal tuan rumah mampu menyediakan segalanya dari menu-menu Nusantara yang memang berlimpah ruah. 

Karena, bagi Sri Paus, “membuang makanan dari kelimpahan dan sisa makan kita berarti mencuri hak makan si miskin”.

Tidak hanya itu, uskup agung Roma yang penyayang anak-anak ini mau menyentuh semua yang datang padanya, memberikan berkat pada dahi anak-anak dan orang yang mendekatinya. 

Dalam nada persaudaaraan lintas, Bapa Suci mengunjungi Masjid Istiqlal dan memberikan tafsiran sangat positif atas terowongan persaudaraan sebagai jembatan harapan dan terowongan kasih untuk saling akrab satu sama lain.

Kita orang Katolik dan warga Indonesia bersyukur atas pengalaman ini. Dari dua uskup agung ini, saya ingin memberi perhatian pada 4 aspek yang kiranya perlu kita sama-sama perhatikan. Pertama, badan dan kebertubuhan. 

Dalam antropologi Kekristenan, manusia terdiri dari badan, jiwa dan roh. Dalam lintasan sejarahnya, badan kadangkala agak minim mendapatkan perhatian, karena dinilai sebagai sumber dosa dan hawa nafsu. 

Pengalaman Mgr Budi yang menyapa orang dengan sentuhan kasih berupa jabatan tangan, tepukan pada pundak, pelukan dan ciuman adalah suatu ajaran yang baik bahwa kita semua butuh sentuhan sebagai sikap saling mencintai dan mendukung secara wajar. 

Seperti pesannya tentang spiritualitas inkarnatif, badan dan kebertubuhan adalah juga hal yang mesti dikuduskan bagi kemuliaan Tuhan.

Begitu juga kehangatan sentuhan dan berkat dari Sri Paus. Bapa Suci memberikan penekanan tentang perlunya menyentuh tangan si miskin ketika kita memberikan sesuatu kepadanya.

Menyentuh tangan dan tubuh, saling memandang wajah saat bertemu, memberikan
senyuman, adalah juga suatu cara untuk menghidupkan iman dan spiritualitas inkarnatif itu.

Tentu saja, di saat bersamaan, orang bisa berpikir tentang manipulasi sentuhan fisik yang dilakukan oleh para pastor dan rohaniwan yang pedofil dan predator anak-anak. 

Begitu juga dengan sejumlah kasus pergundikan dan perselingkuhan yang melibatkan kaum selibater.Itulah deviasi seksual yang merusak citra cinta yang sejati. 

Kendati demikian, saya masih yakin, bahwa kita semua harus menjadi garda terdepan bagi para korban: menjadi pembela bagi anak-anak yang dilecehkan dan mendidik kaum perempuan sebagai korban untuk bisa bersuara lantang mengenai tindakan-tindakan manipulatif.

Bagaimanapun, sentuhan fisik yang penuh kasih yang kita lihat pada pengalaman dan ajaran Mgr Budi dan Sri Paus adalah suatu sapaan untuk kita selalu memperkuat kasih persaudaraan.

Tubuh dan badan kita adalah kenisah Roh Kudus, tempat Allah yang adalah Kasih bertahta. Kedua, hati. Hati yang penuh kasih seperti hati Kristus sebagaimana yang dicontohkan Mgr Budi dan Sri Paus mampu membawa kita kepada Allah yang telah lebih dahulu mencintai, menyembuhkan, dan merawat kita. 

Hati jenis ini jauh dari kalkulasi untung-rugi, karena hanya mengajarkan tentang pemberian diri yang total. 

Totus Tuus, semuanya untuk Tuhan, demikian moto Sri Paus Yohanes Paulus II yang juga pernah mengunjungi Jakarta dan Maumere.

Ketiga, rumah. Mgr Budi menyebut rumah keuskupan untuk semua bangunan di Ndona yang selama ini lebih dikenal sebagai istana keuskupan. 

Bapa Suci Fransiskus juga setelah diangkat menjadi Sri Paus lebih memilih tinggal di rumah Santa Marta (Italia: casa Santa Marta, Latin: Domus Sanctae Marthae) yang jauh lebih sederhana dibandingkan istana kepausan.

Rumah adalah tempat cinta sejati bermula dan bertumbuh. Rumah adalah juga tempat pulang paling nyaman. Rumah merupakan tempat penerimaan, pengampunan, dan Kasih Persaudaraan dirayakan. 

Orang lebih nyaman mendatangi dan berkunjung ke rumah daripada harus menghadap tuan dan sri-baginda di kastil dan istana.

Bapa Uskup Budi membuka rumah keuskupan di Ndona untuk semua orang bisa datang dan merasakan kasih persaudaraan serta boleh pulang dengan kepercayaan diri, harapan dan niat hati yang lebih positif. 

Bapa Suci memilih tinggal di rumah kedubes Vatikan, agar langsung dekat dengan salah satu jalan raya utama, dan mempersilakan orang berkumpul sepanjang jalan agar bisa disapa, diyakinkan bahwa mereka dicintai oleh Tuhan dan berhak mendapatkan berkat untuk melanjutkan kehidupan ke depannya.

Keempat, tetangga. Bapa Suci memberikan contoh dengan mengunjungi Masjid Istiqlal. Bapa Uskup Budi memberikan contoh dengan melawat keluarga muslim yang berduka di Ndona.

Dari Injil Lukas, kita membaca tentang siapakah sesama manusia? 

Bukan dia yang hafal kitab suci dan berdoa hingga lutut bengkak dan dahi menghitam, bukan juga dia yang menghafal kitab hukum negara, tetapi sesama adalah dia yang lebih dahulu menunjukkan belas kasih dengan tindakan nyata penuh cinta: memberi makan kepada yang lapar, tumpangan bagi yang cari penginapan, pembelaan bagi yang diperlakukan tidak adil, dan lain-lain. 

Jikapun ini masih terasa sulit, minimal kita berrelasi dan berhubungan baik dengan tetangga kita, dengan sesama kita, dengan sesamanya sesama kita, dengan lingkungan hidup dan bumi yang hanya satu ini.

Semua refleksi kita ini yang terinspirasi dari 2 uskup agung dengan 3 pesan utama yang bisa diaplikasikan dalam 4 aspek kehidupan sebenarnya bersumber dari dan bermuara kepada satu yang sama: Tuhan, Allah yang adalah Kasih.

Lakukanlah Kasih!  (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved