Kunjungan Paus Fransiskus
Menjelang Kunjungan Paus Fransiskus, Inilah Sejarah Singkat Gereja Katolik di Indonesia
Paus Fransiskus akan berangkat dengan pesawat dari Roma menuju Indonesia pada sore hari tanggal 2 September untuk perjalanan internasional ke-45.
Pada bulan Mei 1940, Paus Pius XII mengangkat Albert Soegijapranata, seorang Jesuit, sebagai vikaris apostolik Semarang di Jawa Tengah, imam Pribumi pertama di Indonesia yang menjadi uskup.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, dua hari setelah pengumuman awal penyerahan Jepang dalam Perang Dunia II, para pemimpin nasionalis Sukarno dan Mohammad Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Banyak penganut Kristen, baik Protestan maupun Katolik, berpihak pada para pemimpin ini, yang ingin menerapkan ideologi Pancasila dan membangun masyarakat yang pluralistik agama, berbeda dari kelompok Islam yang menginginkan negara Islam, seperti yang didokumentasikan Georg Evers dalam bukunya The Churches in Asia.
Gereja Katolik aktif dalam perjuangan kemerdekaan, didorong oleh Uskup Soegijapranata, dan Takhta Suci membuka misi diplomatiknya di Jakarta pada tingkat “delegasi apostolik” pada tahun 1947. Indonesia memperoleh kemerdekaannya dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, dan menjadi republik pada tahun 1950.
Takhta Suci adalah salah satu negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, dan hubungan diplomatik resmi antara Indonesia dan Takhta Suci didirikan pada tanggal 25 Mei 1950. Presiden pertama negara itu, Sukarno, melakukan tiga kunjungan resmi ke Vatikan, bertemu dengan Paus Pius XII pada tahun 1956, Paus Yohanes XXIII pada tahun 1959 dan Paus Paulus VI pada tahun 1964.
Pada tahun 1959, Presiden Sukarno mengubah konstitusi, mengakhiri sistem multipartai dan memberikan presiden kekuasaan khusus. Pada tahun 1960, "front nasional" dibentuk di mana tiga kekuatan paling berpengaruh di negara itu—nasionalisme, agama, dan komunisme—dipaksa bekerja sama demi kebaikan bangsa. Umat Katolik mendukung presiden sebagai benteng melawan komunisme.
Pada tahun 1961, Paus Yohanes XXIII mendirikan hierarki Gereja Katolik di Indonesia, yang saat itu memiliki enam keuskupan agung dan 19 keuskupan. Pada tahun 1967, Paus Paulus VI mengangkat kardinal Indonesia pertama, Justinus Daarmojuwono, sebagai Uskup Agung Semarang, seorang yang pindah agama dari Islam ke Katolik.
Pada tanggal 30 September 1965, Partai Komunis mencoba melakukan kudeta, tetapi tentara berhasil menghancurkannya. Gereja-gereja Kristen mengutuk kudeta tersebut dan menyambut baik tindakan pemerintah.
Namun, dua tahun kemudian, pada bulan Maret 1967, Jenderal Suharto menggulingkan pemerintahan Sukarno, mengambil alih kendali negara dan melakukan penindasan besar-besaran.
Suharto terpilih sebagai presiden pada bulan Maret 1968 dan memerintah negara secara otoriter hingga tahun 1998. Tn. Evers menulis bahwa program “Orde Baru”-nya menuntut agar setiap orang Indonesia menyatakan kepatuhan terhadap salah satu agama yang diakui. Tetapi karena negara tidak mengakui agama tradisional, sebagian besar pengikutnya memeluk Islam karena adat istiadat dan ajaran agamanya paling dekat dengan kepercayaan mereka sebelumnya.
Pada saat itu, gereja-gereja Kristen juga mengalami pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada tahun 1964, jumlah umat Katolik di negara ini adalah 1,85 juta; pada tahun 1980, jumlahnya menjadi lebih dari empat juta.
Sebagai tanggapan, Kardinal Daarmojuwono mengusulkan rencana tindakan pastoral tiga bagian: mencapai kemandirian finansial yang lebih besar, memberi kaum awam lebih banyak tanggung jawab dan membina panggilan Pribumi untuk imamat dan kehidupan religius.
Pada tahun-tahun setelah Konsili Vatikan Kedua, para uskup Indonesia mulai menerapkan orientasi baru konsili terhadap liturgi dan kerasulan sosial. Pada tahun 1970, mereka menerbitkan “Pedoman untuk Umat Katolik Indonesia,” yang mempromosikan dialog antaragama dan tanggung jawab dalam isu-isu sosial dan politik. Pada tahun 1970-an, Gereja Katolik mengelola banyak sekolah, tiga universitas, dan 121 rumah sakit, tetapi, tulis Tn. Evers, "Gereja tidak kuat dalam hal membela hak asasi manusia dan kejahatan sosial," seperti penganiayaan terhadap komunis oleh Suharto dan invasi militer Indonesia ke Timor Timur (sekarang dikenal sebagai Timor-Leste) pada bulan Desember 1975 dan penindasan berikutnya. Gereja-gereja Protestan juga bungkam.
Presiden Suharto pertama kali menggunakan prinsip-prinsip Pancasila untuk melawan kaum komunis dan pada tahun 1980-an untuk mengekang kaum fundamentalis Islam yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Muslim. Ia kemudian menggunakannya untuk melawan segala bentuk oposisi, termasuk, pada tahun 1990-an, terhadap direktur Jesuit dari Institut Sosial Katolik di Jakarta, yang menuduhnya sebagai simpatisan Marxisme.
Antara tahun 1960 dan 1990 jumlah umat Katolik di Indonesia meningkat dari 1,3 juta menjadi lima juta. Terjadi kekurangan imam, dan pada tahun 1980-an para uskup Indonesia meminta izin kepada Yohanes Paulus II selama kunjungan ad limina untuk menahbiskan katekis yang memenuhi syarat sebagai imam, tetapi Paus menolaknya.
Dialog ekumenis
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.