Opini

Opini: Benteng Jokowi

Baju putih, celana hitam, Sepatu Project Seri Flexknitnya yang khas dipakai Jokowi, dihargai sangat murah seperti kebanyakan kita. Keren. 

Editor: Dion DB Putra
YOUTUBE SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Jokowi (kanan) menyalami Rosan Roeslani yang dilantik jadi Wakil Menteri BUMN, Senin 19 Agustus 2024. 

Oleh Robert Bala
Alumnus Resolusi Konflik Asia Pasifik, Facultac Ciencia Politica Universidad Complutense de Madrid Spanyol.

POS-KUPANG.COM - Tinggal dua bulan, Joko Widodo akan ‘lengser’ dari kursi Presiden. Kata ‘lengser’ rasanya tidak elok.  

Jokowi mengakhiri jabatannya secara sah setelah 10 tahun menjadi Presiden ketujuh RI  atau yang oleh ‘tanda alam’ tertulis: “7okowi” (kapresiden ke-8 adalah ‘8owo’ dan mungkin sesudahnya 9ibran). 

Tanda alam itu menjadi lengkap dengan narasi: ‘Jokowi adalah Kita.’ Dengan cepat masyarakat kebanyakan, Wong Cilik (istilah PDIP) mengidentikkan diri dengan pria kelahiran Solo: 21 Juni 1961. 

Baju putih, celana hitam, Sepatu Project Seri Flexknitnya yang khas dipakai Jokowi, dihargai sangat murah seperti kebanyakan kita. Keren. 

Robert Bala.
Robert Bala. (DOK PRIBADI)

Jokowi juga kita sanjung karena ia berbeda dengan pejabat lain yang ‘rakus harta dan jabatan’. Anaknya Gibran (waktu itu) kelihatan tidak ‘repot amat’ dengan kuasa.  Ia sibuk jualan markobar ‘Ternakopi’, ‘Goola’, ‘Siapmas’, ‘Madhang’ yang bayak di antaranya sudah tutup.  

Demikian Kaesang. Ia sudah terlibat dalam Bisnis Saham Rakyat, Ternak Lele, Chili Pari, Mangkokku yang juga tidak menjanjikan. Ia kemudian jadi Ketua PSI setelah hanya tiga hari jadi anggota. 

Terhadap anak-anak yang tidak ‘aji mumpung’ dengan jabatan sang ayah (saat itu), kita langsung berkata: ‘yang gini-gini baru Jokowi’.  Gibran dan Kaesang sungguh anak beretika turunan dari sang ayahnya (Jokowi) yang pandai dan jago beretika.  

Para cerdik pandai (kecuali Rocky Gerung cs saat itu), juga mendukung ‘abis’ Jokowi. Ketika ada ‘hantaman kritik’, mereka  langsung membela. Tulisan saya “Pembusukan Akal Sehat” (Kompas 16/2/2019) merupakan salah satu bentuk pembelaan. 

Dari uraian ini, ada dua elemen: masyarakat biasa dan kaum cerdik pandai (kelas menengah) adalah benteng Jokowi. Seperti benteng, ia menjamin keamanan Jokowi. 

Tetapi bagaimana ‘nasib’ benteng itu di akhir masa jabatan Jokowi
Sampai pada tahun-tahun awal tepatnya 5 tahun pertama, Jokowi terlampau disanjung sebagai representasi rakyat kecil. 

Orang berasumsi seperti dirinya yang dari ‘bukan siapa-siapa’ menjadi ‘siapa’, ada impian bahwa hal itu akan menjadi jalan juga bagi ratusan juta masyarakat Indonesia yang bukan siapa-siapa. Anak dan menantu lebih ‘sibuk’ dengan dagangannya dan tidak mau ‘aji mumpung’ dengan ayah dan mertuanya. 

Tetapi semuanya berubah tiga tahun terakhir sebelum periode kedua berakhir. Sejak Gibran ‘dibuat bisa’ jadi Cawapres, atau Kaesang jadi Ketua PSI, Boby Nasution wali kota dan kini cagub, maka impian masyarakat kecil bisa melompat seperti Jokowi dulu kian pudar. 

Mungkin bisa melompat tetapi itu hanya impian  mengulang frase favorit Upin-Ipin:  "Dua tiga katak lompat, mari kita makan ketupat!" 

Tetapi apapun terjadi, kepercayaan itu masih ada. Bansos yang datang ‘tepat waktu’ (saat dirasa penting oleh pemberi), maka kepercayaan itu akan tetap ada. 

Yang jadi pertanyaan, apakah ‘kejinakan’ masyarakat itu akan tetap ada ketika Jokowi sudah jadi mantan? 

Rakyat akan beralih kepada yang ‘perhatikan’ mereka dan sayangnya Jokowi yang dulunya begitu murah hati sedikit atau malah dilupakan sama sekali. 

Lalu bagaimana dengan kaum cendekiawan? Gerakan dari kampus sebelum pilpres merupakan tanda ketaknyamanan kaum cerdik pandai melihat gelagat yang tak wajar. Fenomena yang terjadi, kaum cerdik pandai ini kelihatan lebih kontak.

Kalau sebelumnya ada pro kontra tetapi menjelang lengsernya Jokowi, mereka lebih ‘sepakat’. 

Hal ini akan menjadi peringatan bahwa ketika semua ketakutan akan penyalagunaan kekuasaan itu terjadi begitu massal dan terbukti di era Prabowo, maka kaum cerdik pandai akan hadir membela yang benar. 

Lebih lagi ketika mereka yakin bahwa kebenaran bisa saja kalah tetapi kebenaran itu tidak pernah akan salah. Itulah keyakinan yang mestinya disadari (Jokowi) bahwa kekuasaan itu perlu dibatasi dan tidak dibiarkan melampaui kepentingan. 

Segeralah Bersyukur

Ketakutan akan sesuatu yang buruk kadang perlu. Ia tak ayal sebuah awasan agar tidak terjadi seperti yang ditakutkan. Itulah yang menjadi awasan agar masa depan Indonesia akan menjadi lebih baik. Lalu bagaiamana? 

Pertama, semestinya semua sadar bahwa  setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Jokowi telah mewarnai zaman ini melalui 10 tahun pemerintahannya. 

Kata-kata ini kelihatan sederhana tetapi merupakan sesuatu yang alamiah yang nota bene harus ditaati. Sebaliknya melawan zaman bisa membuat kita roboh dan jatuh. 

Hal ini mengingatkan kita akan cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ karya A.A. Navis, 1956. Dikisahkan, seorang kakek begitu optimis bahwa hanya dirinyalah yang masuk Surga karena kesalehan dan ketaatannya beribadah sangat dijaga. 

Tetapi apa yang dikira itu tidak terjadi. Ia malah masuk neraka. Kita pun berandai, Jokowi mestinya menaati hukum alam. 

Ia telah berkarya dan tiba saatnya menyerahkan kembali kepada negeri ini tanpa terlalu ‘pede’ bakal aman sampai akhir dan karena itu berbagai cara dilakukan. Tapi kita juga berharap, cukup ‘suraunya’ AA Navis yang roboh dan bukan yang lain. 

Kedua, lengsernya Jokowi mestinya tidak perlu dikwatirkan.  Gibran sebentar lagi dilantik jadi wapres meskinya tidak perlu kuatir. Atau Prabowo, pasti paham dan tidak akan lupakan peranan Jokowi yang membuatnya jadi Presiden. 

Tidak perlu ada yang dicemaskan. Apalagi di IKN (14/8/2024), Prabowo telah katakan (meski dengan wajah yang kurang bersahabat),  bahwa ia akan teruskan malah selesaikan IKN. 

Tapi semua tahu, Prabowo punya janji terlalu banyak saat kampanye yang kini jadi olokan di media karena tak logis seperti: gratiskan kuliah, tranport gratis, dan entah apalagi. 

Prabowo juga sudah terlampau berhutang budi pada Jokowi. Semua kondisi ‘eksternal’ ini tentu menjadi beban membuatnya tak begitu luwes saat ditanya di IKN apakah ia melanjutkan ‘mahakarya’ Jokowi. Ia jawab tanpa senyum yang memperkuat bahwa ia akan teruskan.

Lantas apakah bisa Prabowo berubah? Sesungguhnya dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Ketika kekuasaan ada pada Prabowo, ketika intelijen sudah mendengar hanya Prabowo (bukan Jokowi), maka sedikit-sedikit ‘modifikasi’ bolehlah. 

Kekhawatiran ini barangkali juga sudah dirasakan oleh Jokowi. Minimal berkaca pada ketidaksetiaannya pada PDIP, ada keyakinan bahwa bumerang itu bisa kembali menembak Jokowi. 

Lalu apa lagi yang jadi harapan ketika benteng rakyat, cendekiawan, dan bahkan Prabowo sendiri sudah goyah? Ya, harus melindungi diri. Di sinilah kita bisa mengerti dan berandai-andai, apakah ini yang terjadi dengan kisruh tiba-tiba Golkar di sela-sela perayaan HUT ke-79 RI? 

Apakah aklamasi memilih Bahlil Lahadalia sebagai Ketum Golkar, potensi perubahan AD-RT Partai Golkar merupakan benteng akhir bagi Jokowi yang lebih meyakinkan? 

Tidak mudah menjawabnya. Barangkali rumput dari Ebiet G.Ade yang bergoyang, bisa memberi jawaban yang tepat. 

Yang pasti semuanya terdiam, semuanya membisu, semuanya menjawab tak mengerti. Yang terbaik hanyalah, segeralah bersyukur. Mumpung kita masih diberi waktu. Syukur memungkinkan kita bisa aman dan tentram di akhir setiap periode. (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved