Opini

Opini: Mencari Mosalaki Kampung NTT

Mungkin karena daya tarik politik sebagai yang fascinosum et tremendum (menyenangkan dan menggentarkan). 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/DOK
Ilustrasi. 

Oleh Isidorus Lilijawa
Politisi Gerindra, tinggal di Kupang

POS-KUPANG.COM - Riuh rendah pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT sudah ramai terdengar sampai ke kampung-kampung. 

Saat ini, salah satu topik seru bincang-bincang orang kampung adalah tentang politik Pilkada. Dalam berbagai ajang orang membahas soal ini. 

Mungkin karena daya tarik politik sebagai yang fascinosum et tremendum (menyenangkan dan menggentarkan). 

Orang-orang mulai memuja dan memuji, sontak juga mengkritik dan menguliti para calon gubernur dan wakil gubernur NTT yang sudah beredar namanya di ruang publik. 

Satu pertanyaan yang sering terucap, kira-kira dalam Pilgub nanti kita mau pilih siapa? 

Pertanyaan semacam ini bisa dijawab dengan memberikan indikator dan parameter, yang bisa saja sesuai daya jelajah orang kampung. 

Dalam konteks Pilgub NTT, parameter orang kampung itu bisa seperti ini. Kita memilih pemimpin NTT itu untuk menjadi kepala kampung atau mosalaki (Bahasa Ngada, Nagekeo, Ende). 

Memilih kepala kampung tentu bukan perkara ringan karena seorang kepala kampung mempunyai tugas yang juga tidak ringan. Sebagai kepala kampung, pemimpin NTT mesti berpolitik secara kampung, bukan kampungan. 

Dengan berpolitik kampung akan lahir pemimpin yang berbudaya, yang mendengarkan aspirasi rakyat. Sebaliknya, jika para pemimpin berpolitik kampungan, maka mereka akan memilah-milah rakyat. 

Akan ada polarisasi dan primordialisme. Politik kampungan ini akan merusak tatanan hidup masyarakat NTT.  

Politik Kampung

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kampung dipahami sebagai desa, dusun, kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu (KBBI, hal. 383). 

Kampung dengan demikian merupakan sebuah entitas yang dihuni oleh orang-orang yang beraneka ragam latar belakang sosial budaya dan peran dalam masyarakat bersangkutan. 

Orang-orang dalam sebuah kampung diikat oleh aturan bersama untuk mencapai tujuan hidup bersama. Kampung adalah basis di mana harapan-harapan setiap orang untuk mencapai tujuan hidupnya dibangun.

Dalam konteks yang lebih luas, kampung adalah sebentuk polis. Jika Plato menyebut polis untuk mengartikan negara kota, maka kampung adalah sewujud polis karena merupakan kumpulan orang-orang merdeka dengan hak yang sama untuk menata kehidupan bersama. 

Politik kampung dengannya merupakan upaya untuk menata kehidupan bersama sebagai orang-orang merdeka demi meraih bonum commune. Penataan kehidupan bersama ini mengandaikan partisipasi dari segenap komponen yang ada di dalam kampung. 

Dan mereka yang menjadi pemimpin dari sebuah kampung (mosalaki) adalah mereka yang dipercayakan untuk mengambil kebijakan, mendorong, mencontohkan, berkaitan dengan segala upaya mewujudkan  pro bono publico (kepentingan umum).

Desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan negara ini adalah kampung kita. Di wilayah-wilayah ini kita mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga kampung. 

Dalam ke-NTT-an kita, provinsi ini adalah sebuah kampung besar, tempat bermuaranya segala arus kepentingan masyarakat NTT. Kampung NTT ini berdiri di atas berbagai perbedaan suku, bahasa, etnis, agama, dan golongan. 

Keberbedaan ini menjadikan NTT sebagai sebuah kampung besar yang kaya khazanah sosial, budaya dan religi. Kampung besar NTT ini membutuhkan pemimpin yang mengenal karakter dan kebutuhan orang-orang sekampung. 

Karena itu, sang pemimpin akan berjuang untuk kepentingan seluruh warga kampung. 

Warga kampung NTT membutuhkan pemimpin yang mempersatukan bukan memecah-belah; pemimpin yang merakyat bukan meraja; pemimpin yang mempedulikan kepentingan rakyat bukan menumpuk harta pribadi dan keluarga; pemimpin yang tanggap pada aspirasi rakyat bukan gagap menyuarakan aspirasi itu.

Kita di NTT saat ini memang membutuhkan figur pemimpin yang tahu dan pandai berpolitik kampung. 

Pemimpin model ini mengindahkan nilai-nilai budaya, tidak mengabaikan kearifan lokal dan mendahulukan keutamaan-keutamaan religius. 

Seperti seorang mosalaki di kampung yang mempunyai peran membantu memecahkan persoalan warganya, mendamaikan yang bertikai dan menjadi simbol persatuan warga kampung, sosok pemimpin di kampung besar NTT haruslah pemimpin yang PAS (Problem, Analysis, Solution). 

Pemimpin model ini mengetahui problem apa yang dialami warganya. Dari problem itu ia tahu kebutuhan apa yang diharapkan warganya. Setelah mengetahui problem ia pandai membuat analisis atas persoalan itu. 

Pada tingkat analisis, akar persoalan mesti dicari, pertanyaan mengapa terus diajukan dan tidak percaya begitu saja pada laporan-laporan atau data di atas kertas yang disampaikan staf dan bawahannya. 

Tahap akhir adalah menemukan solusi atas problem yang dialami warganya. Solusi ini bukan sekadar untuk kesenangan sesaat para warga, tetapi langkah bijak yang diambil guna memenuhi kebutuhan warga yang mengalami persoalan itu.  

Politik Kampungan

Kata kampungan merupakan turunan dari kata pokok kampung yang diberi sufiks –an. 

Menurut KBBI, kampungan berarti tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, kurang ajar, berandalan. 

Menyebut seseorang kampungan berarti pada pribadi orang bersangkutan melekat hal-hal negatif ini; tidak tahu adat, kurang ajar, tidak tahu aturan main, tidak paham sopan santun dan tidak terdidik atau kurang mendapat pengajaran yang baik.

Berdasarkan pengertian di atas, politik kampungan selalu dikaitkan dengan upaya-upaya yang mencederai tujuan politik untuk meraih bonum commune. 

Politik kampungan justru melahirkan malum (penderitaan) bagi masyarakat. Dengan berpolitik secara kampungan inilah bonum individuum diutamakan ketimbang bonum commune. 

Orang yang berpolitik kampungan akan memilah-milah rakyat dan menyuburkan benih primordialisme. 

Ini memang tepat karena orang yang kampungan cenderung merusak kohesivitas, melorotkan solidaritas dan mengangkangi soliditas warga sekampung.

Pemimpin dan calon pemimpin kampung besar NTT ini tentu tidak diharapkan berpolitik secara kampungan. Namun, fakta politik kita kerap mempertontonkan para pemimpin dan calon-calon pemimpin yang sudah dan sedang berpolitik secara kampungan. 

Para pemimpin kita sering memperlakukan jabatan politis seperti jabatan turunan dan warisan keluarga atau nenek moyangnya. 

Dengan jabatan yang diperoleh itulah mereka cenderung membangun kampung kecilnya sendiri, mendirikan kerajaan pribadi dan keluarga di tengah sebuah kampung besar, memilih orang-orangnya sendiri untuk menduduki pos-pos penting dan mendasarkan kepemimpinannya pada berapa banyak duit dan harta yang masuk ke kas pribadi dan lumbung keluarga. 

Dalam kampung besar NTT ini, orang yang berpolitik kampungan cenderung mengabaikan keluhan warga kampung kecil yang lain dan selalu utamakan kepentingan kampung di mana ia dilahirkan dan banyak berjasa bagi dirinya. 

Pemimpin dan calon pemimpin yang berpolitik kampungan kerap berpolitik tanpa etika. Tingkat risiko sangat tinggi apabila kampung besar NTT ini dipimpin para pemimpin yang berpolitik kampungan.  

Sosok Ideal    

Sebagai sebuah kampung besar, NTT layak dipimpin oleh mosalaki yang berpolitik kampung bukan politik kampungan. 

Sambil menatap jarak suksesi gubernur NTT yang kian mendekat, warga NTT tentu mempunyai kriteria pemimpin yang ideal menurut penilaian masing-masing. 

Namun, saya tetap yakin bahwa semua warga kampung besar NTT tidak ingin biduk NTT dikayuh oleh orang-orang yang berpolitik kampungan, yang berpolitik tanpa etika, tanpa budaya, dan tanpa religiositas. 

Karena itulah, mesti ada sosok ideal yang ditetapkan guna membantu kita menjaring dan menyaring para calon pemimpin NTT saat ini. 

Pertama, hampir 80 persen masyarakat NTT miskin. Problem ini sepertinya turun-temurun dari rezim ke rezim. 

Maka siapa yang menjadi pemimpin NTT adalah orang yang benar-benar mempunyai komitmen pribadi dan mempunyai program nyata untuk mengatasi masalah kemiskinan. 

Kedua, korupsi juga menjadi masalah yang parah di NTT. Maka orang yang sungguh-sungguh mempunyai komitmen pribadi untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi adalah figur yang diharapkan memimpin NTT. 

Ketiga, secara de facto, NTT merupakan wilayah kepulauan, sehingga secara geografis terpecah oleh wilayah dan kesukuan. Polarisasi amat menonjol. 

Pemimpin yang dicari adalah dia yang mampu menjadi pemersatu perbedaan-perbedaan yang ada, yang merangkul semua dan mencegah isu SARA.

Sosok ideal pemimpin NTT ke depan adalah dia yang berpolitik kampung dan tidak berpolitik kampungan. Itu harapan kita. 

Tugas kita rakyat kampung besar NTT adalah menjadi pemilih yang berfilosofi kampung, bukan pemilih kampungan apalagi kekampung-kampungan. Mari temukan mosalaki NTT yang berpolitik kampung. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved