Berita NTT

Femisida Puncak Kekerasan Terhadap Perempuan

Menurut Ansy, jika pasangan sudah terbiasa melakukan kekerasan dari awal misalnya memaki kalau dibiarkan akan meningkat menjadi kekerasan fisik. 

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/TEDI
Ketua LPA NTT, Veronika Ata dan Direktris LBH APIK NTT, Ansy Rihi Dara bersama host Koordinator Liputan Pos Kupang, Novemy Leo, Rabu, 14/08/2024. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Kematian korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kota Kupang, Josefina Maria Mey disebut sebagai femisida. 

Direktris LBH APIK NTT, Ansy Rihi Dara, S.H  mengatakan, femisida sudah ada sejak 1981 di Inggris dan secara internasional dikenal pada tahun 1976. 

Femisida, kata Ansy, adalah pembunuhan terhadap perempuan yang memiliki background ketidakadilan gender. 

"Jadi ada konteks pembunuhan terhadap perempuan karena ada ketidakadilan gender yang dilahirkan atau berakar dari kultur patriarkat yang disebut Misogyny. Misogini itu adalah kebencian terhadap perempuan karena gendernya dan dilatarbelakangi oleh ketidakadilan gender dia sangat membenci karena perempuan itu sendiri," kata Ansy. 

"Dalam konteks ini kami sebut femisida karena bagi kami pembunuhan yang terjadi kepada almarhumah ibu Yosefina Maria Mey ini bukan pembunuhan biasa. Jadi kita tidak bisa menyamakan dengan konteks pembunuhan yang lain pada umumnya karena ini perbuatan kriminal yang spesifik perempuan. 
Kenapa dia dibunuh? Karena ada konteks ketidakadilan gender di sana dan ingat, femisida itu tidak muncul secara spontan tapi lahir dari akumulasi kekerasan yang terjadi terhadap korban, jadi cukup panjang. 
Kalau kita melihat kasus Mey ini ada KDRT yang cukup panjang dan biasanya itu kita identifikasi sejak masa pacaran," tambahnya. 

Menurut Ansy, jika pasangan sudah terbiasa melakukan kekerasan dari awal misalnya memaki kalau dibiarkan akan meningkat menjadi kekerasan fisik. 

Kemudian ketika sudah menikah dan masuk dalam ranah maka karakter itu akan terbawa dan siklus kekerasan akan terus terjadi. Siklus kekerasan, kata dia, ada masa bulan madu, masa bahagia kemudian terjadi kekerasan lalu ada permohonan maaf tetapi terjadi lagi. 

"Dia akan berputar seperti lingkaran setan. Jadi kita harus melihat apa yang terjadi pada almarhumah ibu Yosefina Maria Mey ini sebagai sebuah kasus femisida yaitu pembunuhan perempuan karena faktor ketidakadilan gender yang ada di dalam kehidupannya," jelasnya. 

"Femisida itu adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan karena dia sampai mati. Sebelum sampai mati itu ada proses panjang dia mengalami siklus kekerasan itu," tambahnya. 

Meski demikian, kata Ansy, femisida bisa dicegah mulai dari diri kita sendiri. Dengan cara mengenali diri kita sendiri, siapa kita, dan menyadari bahwa kita adalah ciptaan Tuhan yang memiliki harkat dan martabat yang sama, kemudian mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang bagaimana kita memproteksi diri. 

"Negara juga sudah hadir dalam hal ini lewat berbagai regulasi. Kita tahu negara hadir lewat Undang-Undang PKDRT misalnya, Undang-Undang Perlindungan Anak, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Tindak Pidana Kekerasan Seksual, itu negara hadir memberikan perlindungan dan karena itu masyarakat harus mengetahui cara kita mem-protect itu dari mana? Seperti apa kita mengenal diri kita tapi juga bagaimana di luar sana melindungi kita," ujar Ansy. 

Baca juga: Polresta Kupang Kota Benarkan Albert Solo Jadi Tersangka Dugaan Penganiayaan Maria Mey

"Di luar sana itu yang dimaksud itu dari segi substansi kita lihat ada regulasi, negara hadir lewat regulasi tetapi kita juga tahu ada sistem di masyarakat yang sudah dibentuk untuk membuat proteksi sosial dan ketika kekerasan itu terjadi seharusnya kalau kita sudah paham tentang siapa diri kita, kita akan bersuara bahwa saya tidak mau diperlakukan secara kasar, dipukul atau mengalami kekerasan karena saya adalah makhluk yang bermartabat yang sama dan setara. Tapi kadang-kadang kita bingung kalau sudah terjadi kekerasan kita mau ke mana? Apa yang saya buat? Karena itu yang pertama, selain kita harus speak up, tetapi juga sistem di masyarakat itu dibentuk. Yang paling sederhana di dalam rumah tangga tidak boleh terjadi kekerasan. Kalau terjadi kekerasan itu harus bisa dilaporkan, dibicarakan, didiskusikan di level keluarga. Kemudian masyarakat atau tetangga yang melihat kekerasan itu menurut amanat Undang-Undang PKDRT dia wajib memberikan perlindungan," tambahnya.

Senada dengan Ansy, Ketua Lembaga Perlindungan Anak NTT, Veronika Ata menyampaikan bahwa femisida adalah kekerasan berbasis gender yang ekstrim. 

"Artinya bahwa ada kebencian yang tinggi, dendam kemudian ego yang tinggi oleh karena budaya patriarki yang lebih mengusung membesarkan kepada kaum laki-laki akhirnya lebih mendominasi dan dominasi itu ingin memengaruhi perempuan atau istri itu sebagai harta miliknya jadi apakah itu pikiran, keputusan, segala sesuatu yang ada pada diri perempuan sebagai istri itu dia mau menguasai, mau memengaruhi untuk segala sesuatu menjadi kemauan dan menjadi miliknya," kata Veronika. 

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved