Opini
Opini: Menegaskan Kembali Identitas Kebangsaan Umat Katolik Indonesia
Vatikan adalah Negara Eropa pertama yang menyatakan dukungan politik bagi kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebuah refleksi menjelang Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia
Oleh Romo Dr. Leo Mali, Pr
Alumnus Universitas Kepausan Urbaniana Roma. Pengajar Filsafat pada Unwira Kupang.
POS-KUPANG.COM - Bagaimana melihat Kunjungan Sri Paus Fransiskus ke Indonesia? Demikian pertanyaan kunci yang dikemukakan panitia Muskomda Pemuda Katolik NTT di Hotel Neo Aston Kupang, 10 Agustus 2024. Inilah pandangan saya.
Seperti pada umumnya, kunjungan ini bermakna ganda yakni pertama, ini kunjungan diplomatik Sri Paus sebagai kepala Negara Vatikan.
Kedua ini juga merupakan kunjungan apostolik dari Sri Paus. Sebagai pemimpin umat katolik sedunia, Sri Paus mengunjungi umatnya di Indonesia.
Kunjungan Diplomatik Sri Paus
Indonesia adalah salah satu negara yang punya hubungan diplomatik dengan Vatikan. Kunjungan Sri Paus penting untuk memastikan keberlangsungan hubungan bilateral antara Republik Indonesia dan Takhta suci Vatikan.

Hubungan Indonesia dan Vatikan diawali penempatan seorang internunciatur Apostolik 6 Juli 1947 hingga sekarang.
Vatikan adalah Negara Eropa pertama yang menyatakan dukungan politik bagi kemerdekaan Republik Indonesia.
Hemat saya dari sisi diplomasi internasional kunjungan ini benar-benar strategis karena terjadi menjelang pergantian rezim.
Kalau kita amati arah politik luar negeri yang bebas aktif, yang tampak dalam sikap serta gesture politik Pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo, tampak bahwa pemerintah Indonesia ingin membangun poros baru dalam tatanan global yang mengemukakan dialog dan rekonsiliasi dalam penyelesaian masalah.
Pilihan politik yang mengemukakan dialog merupakan DNA-nya Indonesia. Karena Indonesia hari ini tidak dapat dibayangkan tanpa kemampuan dialog dan rekonsiliasi yang melekat pada sejarahnya sendiri.
Semangat Bhinneka Tunggal Ika, tidak dapat dibayangkan tanpa kemampuan ini yang secara kultural melekat pada pribadi bangsa Indonesia Dengan pilihan ini, Indonesia secara konsisten juga menegaskan kembali amanat konstitusinya.
Menariknya bahwa dengan pilihan politik ini pula, semangat Indonesia berada pada frekuensi yang sama dengan semangat takhta suci Vatikan, sebagaimana tampak dalam dokumen-dokumen resmi entah dalam bentuk ensiklik dan seruan pastoral Paus Fransiskus mulai dari Lumen Fidei (29 Juni 2013), Laudato si’ (24 Mei 2015) hingga ke Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), atau dokumen lain seperti Human Fraternity yang ditandatangani bersama Imam Besar Al Aszhar Kairo.
Karena itu dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan kawan-kawan dari Lafadz Nusantara Center 20 Juli lalu saya katakan Sri Paus membutuhkan Indonesia.
Dalam pengertian, harapan untuk mewujudkan cita-cita perdamaian dunia yang terbangun atas dasar hormat pada persaudaraan antara umat manusia dalam satu bumi yang sama yang diciptakan oleh Allah, hanya bisa diwujudkan melalui penyatuan kekuatan dari semua orang serta semua bangsa yang berkehendak baik.
Sebagaimana diketahui umum, perang dan kejahatan internasional lainnya terjadi karena adanya jaringan kepentingan yang menghendaki dan merencanakannya, maka setiap usaha transmisi energi positif untuk mewujudkan dialog dan perdamaian dunia menuntut agar semua pihak yang berkehendak baik harus berada pada sebuah jaringan frekuensi gelombang semangat yang sama.
Kita berharap pemerintahan Indonesia yang baru nanti dapat meningkatkan kerja sama untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia melalui jalan dialog dan rekonsiliasi.
Kunjungan Apostolik Sri Paus
Sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik Sedunia, Sri Paus datang ke Indonesia untuk mengunjungi umat Katolik Indonesia.
Kunjungan ini saling meneguhkan. Kawanan kecil umat Katolik di Indonesia mendapatkan peneguhan dari Sang Gembala. Tapi juga sebaliknya Sri Paus pasti mendapatkan hiburan dan sukacita dari umat Katolik Indonesia.
Sejak lama Sri Paus memiliki kerinduan datang ke Indonesia.
Tanggal 25 Desember 2019 dalam kesempatan audiens dengan para jurnalis yang meliputi siaran langsung Natal ke seluruh dunia, beliau katakan pada saya kalau mau ke Indonesia. P. Federico Lombardi SJ, Juru bicara Radio Vatikan yang berada di sampingnya, menyela bahwa mereka belum bicarakan perihal rencana itu, beliau lalu mengatakan, “Ya, nanti kita bicarakan lagi, saya rencana singgah di Indonesia dalam kunjungan ke Papua New Guinea, Timor Leste dan Singapura.”
Setelah pertemuan itu saya bertanya pada Dubes Indonesia untuk Vatikan kala itu, HE. A. Agus Sriyono tentang rencana Sri Paus ingin ke Indonesia.
Beliau menyatakan kalua belum mendapat informasi seperti itu. Beberapa waktu kemudian saya mendengar Presiden Joko Widodo menyurati Sri Paus dan mengundang beliau datang ke Indonesia.
Surat undangan itu masuk ke Vatikan di Sekretaris Negara Kardinal Parolin 28 Januari 2020. Tapi karena dunia dilanda Covid-19, rencana itu tertunda.
Saya melihat keinginan Sri Paus itu berkaitan dengan kegigihan beliau memperjuangkan dialog yang jujur di tengah konflik, ketidakadilan dan perang yang terus berkepanjangan.
Sebelumnya dalam kunjungannya ke Arab Saudi dan Kairo, tepatnya 4 Februari 2019 dengan Imam besar Al Azhar beliau menandatangani dokumen on human fraternity for the world peace and living together.
Dalam dokumen itu dinyatakan sejumlah harapan akan terwujudnya human fraternity sebagai buah dari ajaran iman yang autentik, penghargaan terhadap hak atas kebebasan setiap orang termasuk kebebasan beragama, dialog dan penyebaran budaya toleransi dan saling pengertian, perlindungan rumah ibadat, melawan terorisme, penghargaan terhadap hak-hak kaum rentan seperti perempuan dan anak anak, disable serta kelompok rentan lainnya.
Semangat dokumen ini juga menginspirasi ensiklik Fratelli Tutti, yang terbit 3 Oktober 2020 di Assisi.
Sri Paus Fransiskus meneruskan semangat Fransiskus Assisi untuk menyerukan upaya membangun kehidupan bersama di mana setiap orang dapat dan semestinya saling memperlakukan sebagai saudara.
Namun pada sisi yang lain, saya meyakini Sri Paus juga mengikuti berbagai informasi bahwa Gereja Indonesia memiliki pengalaman yang khas tentang bagaimana mengembangkan persaudaraan di tengah hidup yang penuh kemajemukan.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki dukungan kultural yang memadai untuk mewujudkan harapan-harapan Sri Paus.
Semangat Bhinneka tunggal Ika, kesadaran akan adanya “Yang Satu” yang menyatukan semua yang berbeda dengan tingkat kemajemukan sangat tinggi, Indonesia adalah laboratorium di mana kehidupan bersama dalam dialog dan kerukunan dipraktikkan. Kita belajar dialog dari hidup, bukan dari sebuah dokumen.
Dukungan kultural ini sangat bernilai dan memberikan harapan bagi dunia di tengah sekularisme yang melelahkan di Eropa dan perang saudara serta radikalisme yang terus melanda saudara-saudari kita di Timur tengah, yang membuat dunia kehilangan kemampuan untuk berbicara tentang persaudaraan dan perdamaian.
Selain itu kawanan kecil Gereja Indonesia memiliki arti khusus dalam peta karya misioner Gereja saat ini. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia, Indonesia termasuk tanah yang subur bagi panggilan khusus menjadi biarawan/wati dan religius.
Di Roma banyak biara anggota terbanyak saat ini berasal dari Indonesia. Dalam catatan saya saat ini ada sekitar 1.670 orang suster dan pastor Indonesia di Italia. Vatikan mengikuti perkembangan ini.
Pada 2 Februari 2022, dalam perayaan Hari Hidup Bakhti sedunia Paus menyebut nama Indonesia sebagai daerah subur untuk panggilan hidup membiara.
Realitas keindonesiaan yang khas: Kemampuan dialog sebagai warisan tradisi yang secara historis kultural menandai pertemuan antara suku-suku asli Indonesia dengan agama aslinya yang membentuk Indonesia, penghargaan tinggi pada religius sense pada semua agama asli maupun pada agama agama wahyu yang datang kemudian menjadikan Indonesia sebagai laboratorium bagi kemajemukan dan dialog di dunia.
Keadaan seperti ini akan menjadikan kunjungan Sri Paus ke Indonesia sebuah peneguhan dan hiburan. Karena selalu ada harapan di bumi nusantara ini.
Akhirnya kekatolikan yang mengajarkan kemuliaan Tuhan dalam kemanusiaan yang universal, telah menjadi nilai yang meresapi identitas kebangsaan umat Katolik Indonesia.
Kunjungan Sri Paus entah sebagai seorang kepala negara maupun sebagai seorang pemimpin umat Katolik sedunia, adalah undangan bagi kita sebagai umat Katolik yang sekaligus warga bangsa Indonesia untuk kembali menjadi orang Katolik dan orang Indonesia yang bertanggung jawab bagi kesejahteraan hidup umat manusia.
Tanpa perlu merasa sebagai minoritas di negeri yang besar ini, dengan bangga dan kepala tegak kita harus tetap berjuang untuk mewjudukan apa yang diajarkan oleh St. Yohanes Don Bosco, bahwa kita adalah warga Gereja Katolik yang setia dan juga warga masyarakat Indonesia yang unggul, bagian dari 275 juta rakyat Indonesia yang mendiami bumi nusantara ini. Inilah identitas kita: Pro Patria et Ecclesia. 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.