Terorisme

Densus 88 Tangkap Dua Tersangka Teroris di Jakarta Barat, Sudah Siapkan Bahan Peledak

Sama halnya teroris yang ditangkap di Malang, dua tersangka teroris di Jakbar juga terpapar radikalisme lewat internet.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Tim Gegana berjaga di kawasan kompleks perumahan Villa Syariah Bunga Tanjung, Kota Batu, Kamis (1/8/2024). Mereka terlihat melakukan briefing di depan rumah tersebut. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri kembali menangkap dua tersangka teroris di Jakarta Barat yang merupakan pendukung Daulah Islamiyah. Seperti halnya tersangka teroris HOK (19) yang ditangkap di Malang, Jawa Timur, yang juga pendukung Daulah Islamiyah, dua tersangka teroris yang baru ditangkap ini disebut terpapar paham radikal dari internet dan media sosial.

Kepala Bagian Perencanaan dan Administrasi (Kabag Renmin) Densus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Aswin Siregar, dalam jumpa pers, di Jakarta, Rabu (7/8/2024), mengungkapkan, penangkapan terhadap dua tersangka terorisme di Jakarta Barat dilakukan pada Selasa (6/8/2024) kemarin. Keduanya berinisial RJ dan AM.

”Penegakan hukum terhadap para tersangka merupakan salah upaya pencegahan terjadinya tindak pidana terorisme, terutama dalam bentuk serangan atau teror,” kata Aswin.

Kedua tersangka merupakan pendukung Daulah Islamiyah yang merupakan pendukung kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Hal itu ditunjukkan dengan cara tersangka mengunggah narasi dukungan dan propaganda tentang NIIS, yang dikenal juga sebagai ISIS, di media sosial yang mereka miliki. Keduanya juga pernah mengibarkan bendera NIIS sambil memegang senjata sembari menyerukan ajakan untuk mendukung NIIS.

Baca juga: Simpatisan Daulah Islamiyah Tersebar di Jawa, Tak Hanya di Batu Jawa Timur dan Solo Jawa Tengah

Dari hasil pemeriksaan terhadap kedua tersangka, kata Aswin, penyidik menemukan bahwa mereka sudah merakit bahan peledak. Penyidik Densus 88 Antiteror juga menyita satu unit senjata airsoft gun, bendera NIIS, jaket atau seragam NIIS, pisau lipat, bahan peledak, telepon genggam, dan senjata tajam.

Namun, menurut Aswin, kedua tersangka yang ditangkap di Jakarta Barat itu tidak terkait dengan tersangka HOK yang ditangkap di Batu, Malang, Jawa Timur. Walakin, HOK juga merupakan simpatisan Daulah Islamiyah.

Adapun benang merah dari penangakapan para tersangka ini, menurut Aswin, mereka sama-sama terpapar radikalisme melalui internet dan media sosial. HOK, contohnya, termotivasi untuk melakukan bom bunuh diri melalui situs di internet dan media sosial. Lewat situs di internet dan media sosial pula HOK mempelajari cara untuk membuat bom. Namun, jenis bahan kimia untuk pembuatan bom yang digunakan HOK dengan kedua tersangka di Jakarta Barat itu berbeda. Asal bahan kimia yang disiapkan menjadi bom juga berbeda.

”Kita harus semakin waspada bahwa proses radikalisasi atau termotivasinya seseorang untuk melakukan tindakan teror di dalam negeri sekarang banyak dipengaruhi dari media sosial, baik yang berupa grup privat maupun dari internet secara umum,” kata Aswin.

Menurut Aswin, Densus 88 Antiteror Polri memiliki unit intelijen yang bertugas memantau jaringan teroris secara fisik maupun konten di internet, termasuk memantau grup yang memiliki aktivitas menyebarkan propaganda aksi teror, khususnya terkait NIIS. Hingga saat ini, sudah banyak grup maupun situs di internet yang diblokir melalui kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Terkait dengan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2024, Aswin mengatakan, sejauh ini tidak ada eskalasi peningkatan ancaman. Beberapa penangkapan yang dilakukan juga tidak terkait dengan 17 Agustus, tetapi semata untuk penegakan hukum.

Keterlibatan masyarakat

Secara terpisah, pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi berpandangan, salah satu masalah yang muncul dari ruang siber atau ruang digital adalah otoritas, termasuk negara, sulit untuk ikut campur atau melakukan intervensi. Karena tidak ada otoritas, muncul anarkisme di situ. Meski begitu, di negara liberal dan penganut demokrasi, intervensi juga tidak dilakukan karena menyangkut hak pribadi warga.

Terorisme, kata Khairul, sudah lama menggunakan internet untuk melakukan rekrutmen, menyebarkan propaganda, hingga melakukan indoktrinasi. Perkembangan teknologi digital turut membuat penyemaian paham radikal tersebut semakin intens, semakin cepat, masif, serta tertutup.

(kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM dI GOOGLE NEWS 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved