Wawancara Eksklusif

Wawancara Eksklusif - Masinton Pasaribu Khawatir Konfigurasi Pilkada Mirip Pilpres

Politisi PDIP Masinton Pasaribu mengaku khawatir konfigurasi Pilkada Serentak akan seperti Pilpres 2024 .

Editor: Alfons Nedabang
TRIBUNNEWS.COM/LENDY RAMADA
Politisi PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu mengaku khawatir konfigurasi Pilkada Serentak akan seperti Pilpres 2024 yang akan ditentukan oleh figur-figur tertentu. 

Berbedanya apa? Tiap daerah itu memiliki karakteristik masing-masing. Kemudian di daerah itu, dia figur yang dekat dengan masyarakat itu akan berpengaruh lebih besar. Pas dia mau didukung partai mana, dia tidak langsung otomatis linier dengan hasil pilpres, hasil pileg gitu ya.

Nah, artinya apa? Bahwa tiap daerah itu memiliki karakteristiknya masing-masing dan masyarakat punya referensi pilihannya masing-masing terhadap tokoh-tokoh di daerah-daerah tersebut yang mencalon.

Kemarin di pilpres kemarin itu ada 3 fenomenal, Pak Masinton, yang menurut saya luar biasa. Satu, bahwa calon yang didukung oleh Pak Jokowi menang. Yang kedua, suara PDIP anjlok dibandingkan yang lalu. Dengan skema persis seperti zamannya Pilpres. Ada operasi Bansos. Lalu, ada kelompok organ pemerintah dipakai. Apakah ini tidak menjadi kekhawatiran juga dengan melihat situasi yang pernah terjadi di Pilpres, Bang?

Iya artinya kalau itu di jalanin lagi di tiap daerah, artinya kan kita tidak melakukan koreksi dan evaluasi. Terhadap kritik banyak elemen masyarakat terhadap penyelenggaraan Pilpres kita yang lalu.

Pelibatan aparatur negara, penggelenggaran anggaran yang sangat besar di topang APBN gitu ya. Untuk program-program seperti Bansos apa segala macem yang motifnya politik. Kemudian hukum digunakan untuk alat politik.

Lakukan tekanan. Iya, tekanan, ajakan, maupun sifatnya menciptakan intimidasi. Nah, artinya kalau itu terjadi di daerah, dalam Pilkada nanti, itu akan semakin memerosotkan kualitas demokrasi dan pemilu kita.

Dan ini akan menjadi bom waktu nantinya. Artinya apa kita nggak boleh, biar itu pemilu, sebagai sarana masyarakat sipil, tidak perlu ada campur tangan negara di sana untuk melakukan proses intervensi pilihan-pilihan masyarakat.

Tadi ya diarahkan ke A, B, melalui perangkat-perangkat negara gitu ya. Baik itu lembaganya maupun aparaturnya. Serta anggaran, di anggaran-anggaran program-program pemerintah yang dibiayai pake duit rakyat.

Kemudian diarahkan untuk memenangkan kontestan gitu ya. Nah, itu menurut saya akan semakin menampakkan kualitas demokrasi kita semakin merosot.

Kemudian saya berangkat dari pengalaman politik ini dulu ya. Apa? Peristiwa, apa ya? Pengalaman politik sebelumnya lah. Pilkada-pilkada sebelumnya. Dia tidak linear saya katakan itu tadi.

Umpamanya yang didukung oleh pemerintah di pusat dengan kandidat di daerah, gak otomatis menang tuh. Gak otomatis menang. Ambil contoh, Contohnya Jakarta lah.

Iya kan, pada saat Pilkada 2017. Presiden kan maunya pada saat itu. Basuki Cahaya Purnama, tapi kalah. Kemudian di Sumut juga begitu. Ketika Mas Djarot. Di Jawa Barat juga begitu. Artinya tuh, dia tidak otomatis.

Begitu pun ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintah. Ketika pada masa Pak SBY, contohnya. Nah, kader-kader PDI Perjuangan yang ikut dalam kontestan Pilkada, baik gubernur, bupati, wali kota, mampu tuh memenangkan berbagai daerah begitu loh.

Meskipun yang berkuasa pada waktu itu Pak SBY. Artinya presentasinya malah tinggi tuh. Pada saat itu hampir 40 persen lebih kita memenangkan calon kepala daerah yang kita usung dari kader sendiri, mungkin yang kita dukung.

Artinya apa? Bahwa itu tadi, karakteristik dinamika politik di masing-masing lokal, di masing-masing daerah tuh berbeda-beda.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved