Breaking News

Pemilihan Presiden Iran

Pemilihan Presiden Iran: Pertarungan Kubu Konservatif dan Reformis

Persaingan ketat kubu konservatif dan reformis menunjukkan harapan banyak warga akan perubahan kebijakan di Iran.

Editor: Agustinus Sape
AFP/ATTA KENARE
Seorang perempuan Iran mengacungkan jari isyarat kemenangan (victory) saat ia menggunakan hak pilihnya di sebuah tempat pemungutan suara di Teheran, Jumat (28/6/2024). 

Banyak warga berdatangan ke TPS-TPS di malam hari untuk memberikan suara. Bahkan, televisi Iran menyiarkan banyak pemilih mengantre setelah pukul 22.00. Pemilu Iran dibayangi apatisme warga yang terlihat dari rendahnya antusiasme pemilih di pemilu-pemilu beberapa tahun terakhir yang hanya berkisar 40 persen.

Mengutip data International Crisis Group (ICG), pada pemilu 2021, hanya 48,8 persen warga Iran menggunakan hak suara mereka dalam pilpres. Angka itu merupakan yang terendah sepanjang pemilihan presiden Iran.

Pemilihan anggota parlemen di tahun 2020 dan 2024 juga menghadapi masalah yang sama, masing-masing hanya 42,57 dan 41 persen dari total sekitar 60 juta warga Iran yang berhak memilih. Survei terbaru yang dilakukan Lembaga Poling Mahasiswa/Pelajar Iran (ISPA) memperlihatkan hanya 42,5 persen responden akan menggunakan hak pilihnya.

Kemendagri Iran menyebutkan, tingkat partisipasi pemilih tahun ini sekitar 40 persen. Ini angka partisipasi terendah dalam pemilu sejak revolusi tahun 1979.

Baca juga: Pengamat Menyebut Kematian Presiden Ebrahim Raisi Menciptakan Krisis Suksesi di Iran

ICG menyebut turunnya partisipasi pemilih bisa dibaca sebagai makin besarnya kekecewaan rakyat Iran pada lembaga-lembaga politik, seperti lembaga kepresidenan dan parlemen. ICG mengatakan, banyak masyarakat ragu bahwa mereka dapat menghasilkan perubahan yang berarti melalui kotak suara.

”Sekalipun ada seruan baru dari Ayatollah Khamenei agar tercapai partisipasi maksimal, tren pembalikan besar-besaran tampaknya tidak mungkin terjadi,” kata ICG.

Di tengah rendahnya antusiasme warga untuk memilih itu, seruan boikot pemilu Iran juga diserukan sejumlah tokoh, di antaranya peraih Hadiah Nobel Perdamaian, Narges Mohammadi, yang dipenjara dan Mir Hossein Mousavi, salah satu pemimpin protes Gerakan Hijau tahun 2009 yang masih menjadi tahanan rumah.

Seruan memboikot pilpres juga disuarakan Pangeran Iran Reza Pahlavi yang diasingkan di luar negeri. Pahlevi memuji warga Iran yang tak memberikan suara dan menolak pemilu. ”Bukti dari tempat pemungutan suara yang kosong di seluruh negeri menunjukkan penolakan tegas negara Iran terhadap sirkus pemilu yang dilakukan rezim tersebut,” katanya dalam unggahan di media sosial X.

Dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Iran telah banyak menggunakan tagar #ElectionCircus di X. ”Pemuda dihukum, gadis muda dibunuh di jalanan. Kita tidak bisa dengan mudah melupakan hal itu. Setelah semua itu terjadi, tidak masuk akal untuk memilih,” kata penulis Shahrzad Afrasheh.

Perubahan

Kendati dukungan terhadap kubu reformis tinggi, sejumlah ahli menilai, presiden baru tak akan berdampak banyak. Sebab, dalam rezim teokratis Iran, presiden bukanlah kepala negara, melainkan hanya kepala pemerintahan. Kewenangan tertinggi tetap terletak pada pemimpin tertinggi negara itu, yaitu Ayatollah Ali Khamenei.

Khamenei juga mempunyai pengaruh penuh di Dewan Penjaga, yang berwenang memutuskan tokoh-tokoh yang lolos menjadi calon presiden. Artinya, sosok yang lolos sebgai calon presiden hanya mereka yang setia pada sistem teokratis dan setia kepada Khamenei. Termasuk, Pezeshkian pun harus setia.

”Pemimpin tertinggi tidak mengambil risiko besar dalam pemilihan kandidat. Kepemimpinan utamanya berfokus pada kesinambungan,” kata Azadeh Zamirirad, pakar Iran di Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman (SWP), seperti dikutip media DW.

Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa pemilu Iran ini tetap memberi peluang bagi perubahan di Iran. Salah satunya karena rendahnya antusiasme publik dalam memilih yang mendorong Dewan Penjaga lebih longgar dan inklusif dalam meloloskan calon presiden

”Terakhir kali, Dewan Penjaga mendiskualifikasi banyak orang. Namun, kali ini tampaknya mereka akan menggunakan pendekatan yang lebih inklusif, sebagian besar karena rendahnya jumlah pemilih pada pemilu tahun 2021 dan kritik yang dihadapi dewan tersebut,” jelas Afifeh Abedi, seorang anggota parlemen dari kubu reformis, seperti dikutip Foreign Policy. (AP/AFP/REUTERS)

(kompas.id/ap/afp/reuters)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved