Pemilihan Presiden Iran

Pemilihan Presiden Iran: Pertarungan Kubu Konservatif dan Reformis

Persaingan ketat kubu konservatif dan reformis menunjukkan harapan banyak warga akan perubahan kebijakan di Iran.

Editor: Agustinus Sape
AFP/ATTA KENARE
Seorang perempuan Iran mengacungkan jari isyarat kemenangan (victory) saat ia menggunakan hak pilihnya di sebuah tempat pemungutan suara di Teheran, Jumat (28/6/2024). 

POS-KUPANG.COM - Dibayangi apatisme warga terhadap pemilihan presiden baru, waktu pemilihan presiden Iran diperpanjang hingga tiga kali. Hasil penghitungan sementara menunjukkan persaingan sengit antara kubu konservatif garis keras dan kubu reformis yang berhaluan moderat. Tipisnya perbedaan suara menyiratkan Iran tengah di persimpangan haluan.

Hasil penghitungan sementara pemilihan presiden Iran yang diumumkan, Sabtu (29/6/2024), menempatkan calon konservatif, Saeed Jalili, bersaing dengan calon reformis Masoud Pezeshkian. Mohsen Eslami, juru bicara Komisi Pemilihan Umum Iran, mengumumkan, seperti dilansir kantor berita Associated Press hingga pukul 15.30, Jalili memperoleh 9,4 juta suara, sedangkan Pezeshkian 10,4 juta suara.

Dua kandidat lain tertinggal jauh dalam perolehan suara. Mohammad Bagher Ghalibaf, Ketua Parlemen Iran dan mantan Komandan Garda Revolusi, memperoleh 3,3 juta suara. Adapun Mostafa Pourmohammadi, mantan Menteri Dalam Negeri, mendapatkan 206.000 suara. Keduanya merupakan calon berhaluan konservatif, seperti Jalili.

Jumlah tersebut diperoleh dari penghitungan sekitar 24,5 juta suara. Hingga Sabtu (29/06/2024) sore WIB, penghitungan masih berlangsung. Menurut Kementerian Dalam Negeri Iran, tingkat partisipasi pemilih sekitar 40 persen. Ini angka partisipasi terendah dalam pemilu sejak revolusi tahun 1979.

Berdasarkan hasil penghitungan sementara tersebut, Kemendagri Iran mengumumkan, pemilu presiden Iran berlanjut ke putaran kedua pada 5 Juli 2024.

Menurut Eslami, sesuai peraturan pemilu Iran, presiden terpilih harus memenangi lebih dari 50 persen suara. Jika hal itu tidak terjadi, dua kandidat dengan perolehan suara teratas akan maju ke putaran kedua, sepekan kemudian.

Selama ini hanya ada satu pemilihan presiden putaran kedua dalam sejarah Republik Islam Iran, yaitu pada tahun 2005 antara Mahmoud Ahmadinejad, tokoh politik dari kubu konservatif, dan mantan Presiden Akbar Hashemi Rafsanjani yang berhaluan moderat. Kala itu, Ahmadinejad memenangi putaran kedua.

Pemilu Iran, 28 Juni ini, diadakan untuk mencari pengganti Presiden Ebrahim Raisi yang tewas dalam kecelakaan helikopter pada 19 Mei 2024 di Iran barat laut. Lebih dari 61 juta warga Iran berhak memilih dalam pemilu tersebut. Selain digelar di 58.000 tempat pemungutan suara (TPS) di dalam negeri, pilpres Iran juga diikuti warga Iran di luar negeri dengan 314 TPS yang dibuka di 100 negara di luar Iran.

Dua kutub haluan berlawanan

Pezeshkian dan Jalili adalah dua calon dengan haluan yang sangat bertolak belakang. Pezeshkian merupakan satu-satunya kandidat reformis dari empat calon presiden dalam pemilu Iran ini. Berprofesi sebagai dokter, Pezeshkian menjabat sebagai Menteri Kesehatan di bawah Presiden Mohammad Khatami yang berhaluan reformis dari tahun 2001 hingga 2005. Pezeshkian telah menduduki kursi di parlemen sejak 2008.

Selama ini, Pezeshkian sangat vokal mengkritik kurangnya transparansi terkait tewasnya Mahsa Amini dalam tahanan. Amini adalah gadis dari suku Kurdi yang meninggal saat ditahan aparat Iran karena mengenakan hijab tak sesuai aturan Pemerintah Iran pada tahun 2022. Kematian Amini memicu unjuk rasa dan kerusuhan selama beberapa bulan.

Dewan Penjaga (The Guardian Council) tak meloloskan Pezeshkian mengikuti pemilihan presiden pada 2021. Dewan Penjaga Iran ini terdiri atas 12 tokoh berhaluan keras yang pada akhirnya menentukan tokoh-tokoh yang bisa maju sebagai calon presiden Iran.

Awalnya, terdapat 80 tokoh yang mendaftarkan diri sebagai calon presiden Iran. Salah satunya adalah mantan presiden Iran yang sangat populer di masyarakat, Mahmoud Ahmadinejad. Namun, hanya enam nama yang diloloskan oleh Dewan Penjaga.

Dalam kampanye, Pezeshkian mengatakan ingin membuka kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat. Ia juga menuduh kubu konservatif telah merusak perekonomian Iran dengan tidak berusaha menghidupkan kembali perjanjian nuklir dengan negara-negara Barat, yang dikenal dengan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).

Baca juga: Pemilihan Presiden Iran untuk Menggantikan Ebrahim Raisi Dimulai

Perjanjian nuklir itu disepakati tahun 2015 oleh Iran dan negara-negara yang tergabung dalam Kelompok P5+1 (AS, China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman). Namun, AS di masa pemerintahan Presiden Donald Trump mundur secara unilateral tahun 2018 dan kembali menjatuhkan sanksi ekonomi pada Iran. Perundingan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir itu masih buntu.

Sementara itu, Jalili dinilai sebagai sosok dari kubu konservatif dengan haluan paling keras. Ia adalah mantan kepala perunding nuklir yang terkenal karena penolakannya yang tegas terhadap JCPOA tahun 2015. Ketenaran Jalili tumbuh selama masa jabatannya sebagai Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran (SNSC) saat ia mengawasi negosiasi nuklir dari tahun 2007 hingga 2013.

Seperti Ghalibaf, kandidat lainnya, Jalili adalah seorang veteran Perang Iran-Irak. Ia kehilangan satu kaki dalam perang itu. Jalili sangat dekat dengan faksi-faksi paling konservatif di Iran. Ia selalu menyatakan untuk memprioritaskan kemandirian Iran dan perlawanan penuh terhadap pengaruh Barat.

Kecemasan kubu konservatif

Kecemasan kubu konservatif terhadap besarnya dukungan pada kubu reformis ini sudah tersirat dari mundurnya dua calon berhaluan garis keras lainnya, hanya beberapa hari menjelang pemungutan suara, yaitu Amirhossein Ghazizadeh Hashemi dan Alireza Zakani.

Kemunduran keduanya diduga dimaksudkan agar suara kubu konservatif tak terpecah. Seperti dikutip kantor berita Iran, IRNA, Rabu (26/6/2024) malam, Ghazizadeh Hashemi membatalkan pencalonannya dan mendesak kandidat lain untuk melakukan hal yang sama sehingga front revolusi akan diperkuat.

Ghazizadeh Hashemi menjabat sebagai salah satu wakil presiden Raisi serta sebagai Kepala Yayasan Urusan Syuhada dan Veteran. Dia mencalonkan diri dalam pemilihan presiden tahun 2021 dan memperoleh suara terkecil, yakni sekitar 1 juta suara.

Pada Kamis (27/6/2024), Zakani, Wali Kota Teheran, juga mengundurkan diri. Dia juga mundur sebagai calon presiden jelang pemilu 2021. Merujuk pada kandidat reformis Pezeshkian, Zakani mengatakan, dia mundur untuk mencegah pembentukan pemerintahan mantan Presiden Hassan Rouhani yang berhaluan moderat.

Pengunduran diri Ghazizadeh Hashemi terjadi tidak lama setelah Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengeluarkan seruan agar warga Iran tidak mendukung calon dari kubu reformis. Dia menyebut orang Iran yang tunduk dan patuh pada kekuatan asing (Amerika Serikat) tidak layak didukung.

”Beberapa politisi Iran meyakini harus patuh pada kekuatan ini dan itu sehingga tidak mungkin negeri kita maju tanpa kekuatan negara-negara tersebut. Bahkan, mereka berpikir bahwa cara untuk memajukan Iran adalah melalui Amerika Serikat. Orang-orang seperti ini tidak dapat memimpin Iran,” kata Khamenei.

Persaingan ketat dua calon dari haluan yang bertolak belakang ini, yakni konservatif garis keras versus moderat, menunjukkan harapan banyak warga Iran akan perubahan kebijakan di negerinya. Selama beberapa tahun terakhir, Iran menghadapi kesulitan ekonomi dan pergolakan sosial.

Ahli politik Iran dan mantan profesor di Universitas Teheran, Mohammed Hadi Semati, mengatakan, tantangan utama Pemerintah Iran adalah menjaga stabilitas politik dan keamanan serta memperbaiki ekonomi masyarakat. Legitimasi rezim mulai terkikis, terutama sejak unjuk rasa di seluruh negeri terkait.

Krisis ekonomi menjadi perhatian utama warga. Pada tahun 2022, sekitar 60 persen warga Iran dilaporkan hidup pada atau di bawah garis kemiskinan. Pusat Statistik Iran mengungkap inflasi negara itu berfluktuasi antara 39 persen dan 56 persen selama sembilan bulan pertama tahun 2023. Tingginya inflasi membuat warga semakin tertekan krisis ekonomi.

Apatisme

Dibayangi apatisme warga dan ajakan boikot pilpres, pemungutan suara pemilu Iran ditutup pada Sabtu tengah malam waktu setempat setelah berlangsung selama 16 jam. Waktu pemilihan ini diperpanjang hingga tiga kali untuk memberi peluang agar lebih banyak warga untuk memberi suara.

Dari jadwal sebelumnya, pemungutan suara yang dibuka Jumat (28/6/2024) pukul 08.00 itu itu seharusnya berlangsung 10 jam dan berakhir pada pukul 18.00. Perpanjangan waktu ini dinilai cukup efektif meningkatkan antusiasme warga.

Banyak warga berdatangan ke TPS-TPS di malam hari untuk memberikan suara. Bahkan, televisi Iran menyiarkan banyak pemilih mengantre setelah pukul 22.00. Pemilu Iran dibayangi apatisme warga yang terlihat dari rendahnya antusiasme pemilih di pemilu-pemilu beberapa tahun terakhir yang hanya berkisar 40 persen.

Mengutip data International Crisis Group (ICG), pada pemilu 2021, hanya 48,8 persen warga Iran menggunakan hak suara mereka dalam pilpres. Angka itu merupakan yang terendah sepanjang pemilihan presiden Iran.

Pemilihan anggota parlemen di tahun 2020 dan 2024 juga menghadapi masalah yang sama, masing-masing hanya 42,57 dan 41 persen dari total sekitar 60 juta warga Iran yang berhak memilih. Survei terbaru yang dilakukan Lembaga Poling Mahasiswa/Pelajar Iran (ISPA) memperlihatkan hanya 42,5 persen responden akan menggunakan hak pilihnya.

Kemendagri Iran menyebutkan, tingkat partisipasi pemilih tahun ini sekitar 40 persen. Ini angka partisipasi terendah dalam pemilu sejak revolusi tahun 1979.

Baca juga: Pengamat Menyebut Kematian Presiden Ebrahim Raisi Menciptakan Krisis Suksesi di Iran

ICG menyebut turunnya partisipasi pemilih bisa dibaca sebagai makin besarnya kekecewaan rakyat Iran pada lembaga-lembaga politik, seperti lembaga kepresidenan dan parlemen. ICG mengatakan, banyak masyarakat ragu bahwa mereka dapat menghasilkan perubahan yang berarti melalui kotak suara.

”Sekalipun ada seruan baru dari Ayatollah Khamenei agar tercapai partisipasi maksimal, tren pembalikan besar-besaran tampaknya tidak mungkin terjadi,” kata ICG.

Di tengah rendahnya antusiasme warga untuk memilih itu, seruan boikot pemilu Iran juga diserukan sejumlah tokoh, di antaranya peraih Hadiah Nobel Perdamaian, Narges Mohammadi, yang dipenjara dan Mir Hossein Mousavi, salah satu pemimpin protes Gerakan Hijau tahun 2009 yang masih menjadi tahanan rumah.

Seruan memboikot pilpres juga disuarakan Pangeran Iran Reza Pahlavi yang diasingkan di luar negeri. Pahlevi memuji warga Iran yang tak memberikan suara dan menolak pemilu. ”Bukti dari tempat pemungutan suara yang kosong di seluruh negeri menunjukkan penolakan tegas negara Iran terhadap sirkus pemilu yang dilakukan rezim tersebut,” katanya dalam unggahan di media sosial X.

Dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Iran telah banyak menggunakan tagar #ElectionCircus di X. ”Pemuda dihukum, gadis muda dibunuh di jalanan. Kita tidak bisa dengan mudah melupakan hal itu. Setelah semua itu terjadi, tidak masuk akal untuk memilih,” kata penulis Shahrzad Afrasheh.

Perubahan

Kendati dukungan terhadap kubu reformis tinggi, sejumlah ahli menilai, presiden baru tak akan berdampak banyak. Sebab, dalam rezim teokratis Iran, presiden bukanlah kepala negara, melainkan hanya kepala pemerintahan. Kewenangan tertinggi tetap terletak pada pemimpin tertinggi negara itu, yaitu Ayatollah Ali Khamenei.

Khamenei juga mempunyai pengaruh penuh di Dewan Penjaga, yang berwenang memutuskan tokoh-tokoh yang lolos menjadi calon presiden. Artinya, sosok yang lolos sebgai calon presiden hanya mereka yang setia pada sistem teokratis dan setia kepada Khamenei. Termasuk, Pezeshkian pun harus setia.

”Pemimpin tertinggi tidak mengambil risiko besar dalam pemilihan kandidat. Kepemimpinan utamanya berfokus pada kesinambungan,” kata Azadeh Zamirirad, pakar Iran di Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman (SWP), seperti dikutip media DW.

Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa pemilu Iran ini tetap memberi peluang bagi perubahan di Iran. Salah satunya karena rendahnya antusiasme publik dalam memilih yang mendorong Dewan Penjaga lebih longgar dan inklusif dalam meloloskan calon presiden

”Terakhir kali, Dewan Penjaga mendiskualifikasi banyak orang. Namun, kali ini tampaknya mereka akan menggunakan pendekatan yang lebih inklusif, sebagian besar karena rendahnya jumlah pemilih pada pemilu tahun 2021 dan kritik yang dihadapi dewan tersebut,” jelas Afifeh Abedi, seorang anggota parlemen dari kubu reformis, seperti dikutip Foreign Policy. (AP/AFP/REUTERS)

(kompas.id/ap/afp/reuters)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved