Derap Nusantara

Pengalaman Spiritual Saat Berjumpa Kabah

Berjumpa dengan Ka'bah adalah kerinduan setiap Muslim. Miliaran manusia berangkat menemui Kabah melalui Ibadah Haji atau Umrah.

Editor: Alfons Nedabang
ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN
Sejumlah umat Islam berusaha menyentuh pintu Ka'bah seusai tawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Senin (19/5/2024). 

Ka'bah begitu sederhana, tanpa warna-warni dan ornamen karena Allah yang Akbar tidak mempunyai bentuk dan warna. Tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Tidak ada pola-pola atau visualisasi Allah yang dibayangkan manusia dapat memberikan gambaran mengenai Dia.

Baca juga: Hari Kedua Puncak Haji di Mina, Jemaah Lontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah

Ka'bah yang bermakna kubus tak memiliki arah, tetapi dengan menghadapnya sesungguhnya manusia menghadap Allah. Kubus dengan enam sisi secara bersamaan menghadap ke segala arah sedangkan keseluruhan sisinya melambangkan ketiadaan arah.

Ka'bah menjadi simbol paling awal dari ketiadaan, arah sehingga di sinilah relevansi ayat Al Quran: "Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah, kemanapun engkau menghadap sesungguhnya engkau menghadap wajah Allah" (Al Baqarah, 115).

Pada konteks inilah Allah meliputi segala sesuatu di alam semesta ini menemukan relevansinya.

Segala sesuatu di alam semesta ini adalah cerminan dari wajah, ilmu, dan kekuasaan Allah. Tuhan, bahkan dapat dikenali dari diri kita sendiri sebagai bagian dari ciptaan Allah, seperti kata ungkapan yang terkenal, "Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhan-Nya."

Menjumpai Ka'bah, dengan demikian bukanlah sebuah akhir dari perjalanan. Ibadah haji sama sekali bukanlah tujuan akhir. Menjumpai Ka'bah justru adalah awal dari kesadaran baru bahwa Allah, Ibrahim, Muhammad, dan jutaan manusia pernah berjumpa di tempat suci yang manusia harus menghormati manusia lainnya dalam kesetaraan, tanpa ada iri, dengki, dan pertumpahan darah.

Tempat suci yang penuh berkah bagi manusia dan memberi petunjuk pada manusia. Ali Shariati menulis bahwa Ka'bah adalah rumah-Nya, sekaligus rumah umat manusia. Dengan demikian perjalanan pasca-ibadah haji adalah perjalanan untuk memuliakan sesama manusia sebagai sesama puncak ciptaan Tuhan.

Pascaberjumpa Ka'bah, maka haji yang mabrur memiliki kesadaran untuk selalu berpikir, berucap, dan bertindak dalam rangka memanusiakan manusia.

Dengan bahasa yang sederhana, Rasulullah Muhammad SAW menyebutkan bahwa terdapat tiga ciri jamaah haji yang mendapatkan predikat mabrur. Pertama, santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam). Kedua, menebarkan kedamaian (ifsya’us salam). Ketiga, memiliki kepedulian sosial, yaitu mengenyangkan orang lapar (ith’amut tha’am).

Dengan kata lain, pada konteks individu, hasil dari perjumpaan manusia dengan Ka'bah dapat tercermin dari perubahan manusia memperlakukan sesamanya.

Pada konteks negara, seperti di institusi Kementerian Agama, misalnya, program haji ramah lansia menjadi cerminan bahwa setiap tahun haji-haji di institusi tersebut semakin mabrur karena melahirkan program yang semakin memanusiakan manusia. (oleh Destika Cahyana, anggota Majlis Amanah DPP GEMA Mathla'ul Anwar, PPIH Arab Saudi 2024 M/1445 H)

 

Grafis Serapan Kuota Haji 2024
Grafis serapan kuota haji 2024 terbanyak sepanjang sejarah.

 

Skema Murur Berdampak Positif

KEMENTERIAN Kesehatan mengatakan, skema Murur yaitu mabit (bermalam) dengan cara melintas di Muzdalifah dari Arafah merupakan terobosan yang sangat bagus dari Kementerian Agama karena telah memberikan dampak positif bagi kesehatan jamaah.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved