Opini
Opini: Mengenal Hole dan Jingitiu, Warisan Budaya Takbenda dari Sabu
Warisan budaya benda adalah suatu warisan budaya berupa benda-benda yang bersifat material atau fisik yang dapat dilihat dan juga diraba.
Oleh: Amadeus Jacaranda
Mahasiswa International Program in Digital Media Universitas Kristen Petra - Surabaya
POS-KUPANG.COM - Pada akhir musim tanam (sekitar April-Juni) atau disebut masa Bangaliwu menurut Kalender orang Sabu adalah waktu yang sangat penting.
Pada bulan ini, terutama pada saat bulan purnama (Bui ihi, Bangaliwu) dan beberapa hari setelah bulan purnama, rakyat Sabu berdasarkan aturan tiap wilayah adat, merayakan perayaan Hole.
Ritual Hole adalah upacara Pengucapan Syukur terpenting dalam kalendar adat Sabu. Hole merupakan salah satu Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dari Sabu yang sudah ditetapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikristek) sejak tahun 2018 dengan SK Penetapan. No SK : 264/M/2018.
Wening Hening (2021) menjelaskan bahwa warisan budaya merupakan suatu hasil dari budaya fisik, yang berbentuk nilai-nilai tradisi masa lalu. Warisan budaya terbagi atas warisan budaya benda dan warisan budaya takbenda.
Warisan budaya benda adalah suatu warisan budaya berupa benda-benda yang bersifat material atau fisik yang dapat dilihat dan juga diraba.
Sebaliknya, warisan budaya takbenda (WBTb) merupakan jenis warisan budaya non materi yang tidak dapat diraba seperti perayaan adat, ritual, perayaan, tradisi tenun, lagu dan musik tradisional, bahasa, tarian tradisional, upacara adat, permainan tradisional, keterampilan, kemahiran, dan kerajinan tradisional.
Menurut catatan Kemendikristek (2022), Indonesia memiliki sekitar 11.622 WBTb. Hingga tahun 2023, Kemendikristek menetapkan 1.941 WBTb.
Dari jumlah ini ada 13 WBTb yang oleh UNESCO sudah ditetapkan menjadi WBTb UNESCO, di antaranya Kesenian Wayang (2008), Keris (2008), Batik (2009), Pendidikan dan Pelatihan Membatik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken (2012), Tiga Genre Tari Bali (2015), Kapal Pinisi (2017), Tradisi Pencak Silat (2019), Pantun (2020), Gamelan (2021), Jamu (2023).
Dalam 10 tahun (2013-2023) terdapat 35 WBTb dari Nusa Tenggara Timur yang masuk WBTb Indonesia seperti rumah adat Bale (Sumba), alat musik Sasando dan Ti’I Langga dari Rote, makanan (daging se’i), tarian Likurai (Belu), Bonet (TTS) dan Padoa (Sabu), berbagai motif tenun dan ritual adat seperti Pasola (Sumba) serta ritual Hole (Sabu).
Ritual Hole dirayakan masyarakat Sabu seminggu penuh, yang diisi dengan nyanyi dan pantun tentang silsilah dan pemujaan terhadap leluhur Masyarakat Sabu. Melalui ritual Hole, Masyarakat Sabu mengingat hari penciptaan “the creationist” pulau dan manusiannya.
Pada perayaan ini, masyarakat Sabu menyadari bahwa manusia “bukanlah penguasa alam, melainkan lahir dari alam” (Kini, 2022).
Puncak ritual Hole ditandai dengan pelarungan perahu hole yang diisi oleh ketupat adat, dan berbagai macam hasil bumi ke tengah laut sebagai persembahan hasil alam kepada Madja Mone Weo Bani Baku, yang tanahnya diambil untuk dibentuk menjadi Pulau Sabu (Kini, 2022).
Nama Madja Mone Weo Bani Baki sering diasosiasikan dengan Majapahit karena kemiripan nama.
Satu hal yang menarik dalam kepercayaan orang Sabu adalah aturan menyebut nama-nama leluhurnya. Orang Sabu menganggap nama leluhur sangat sakral untuk disebut.
Akibatnya hanya pada waktu tertuntu, nama leluhur bisa diucapkan, misalnya pada peristiwa kematian. Menurut kepercayaan orang Sabu, pada saat peristiwa kematian jalan antara kehidupan orang hidup dan mati terbuka, disaat itulah masyarakat bebas menyebutkan nama-nama leluhur dan nenek moyang.
Penyebutan nama para leluhur pada saat ini dipercaya sebagai undangan kepada nenek moyang untuk datang ke dunia orang hidup.
Walaupun Jingitiu sering diperhadapkan secara antagonis dengan agama-agama dari luar, bagi para penganutnya Jingitiu adalah sebuah cara hidup yang mengakar. Jingitiu bukanlah sebuah agam yang bisa dilepaskan maupun diganti.
Bagi masyarakat Sabu, Jingitui merujuk pada penerapan kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk Aturan Adat (Riberu, 2021). Orang Portugis menamakan kepercayaan orang Sabu dengan Genios yang berarti kafir atau tidak bertuhan.
Hal ini mebuat penyebutan Jingitui sering disangsikan sebagai sebuah kesalahan penyebutan oleh penutur bahasa Sabu, dan akhirnya menghasilkan kata Jingitiu.
Namun hal ini ditentang oleh pemegang kepercayaan Jingitiu di berbagai wilayah adat di Sabu.
Kepercayaan Sabu sendiri mengakui keberadaan Tuhan yang disebut dengan berbagai penggambaran bahasa lokal seperti Tuhan yang Melinduni, Tuhan yang Merangkul, Tuhan yang Mengetahui dan lain sebagainya.
Selain mempraktekkan agama Jingtiu, masyarakat Sabu juga memiliki sebuah tradisi penguburan jenazah yang unik. Pada saat meninggal, jenazah dikuburkan di bawah atau di dekat rumah tradisional Sabu.
Lubang kuburnya berbentuk lingkaran dan jenazah akan dikuburkan di samping barang-barang pribadi. Sebelum jenazah dimasukkan ke dalam lubang kubur, jenazah akan ditutup dengan tikar.
Tikar ini dianggap sebagai layar perahu yang mengangkut roh orang mati ke perhentian akhir, Tanjur Sasar.
Mayat ditempatkan di kuburan sesuai dengan aturan suku, dengan beberapa menghadap matahari terbenam dan yang lainnya menghadap ke laut.
Sebuah uang logam diletakkan di alis mayat, yang dianggap mewakili bekal terakhir mayat selama perjalanannya. Bersama-sama dengan kematian seseorang, seekor hewan, biasanya seekor babi, disembelih dan dimakan bersama.
Daging yang dimakan bersama melambangkan daging yang akan dibawa oleh roh yang telah meninggal, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk roh-roh lain yang masih dalam perjalanan.
Orang Sabu memiliki kepercayaan unik tentang wilayah tempat tinggal orang hidup dan orang mati. Menurut orang Sabu, dunia orang mati berada di Juli Haha atau Tanjung Sasar.
Pada saat seseorang meninggal, jiwanya akan berlayar ke Raijua, Pulau Dana dan akhirnya berlabuh di Tanjung Sasar. Para leluhur orang Sabu menggambarkan Tanjung Sasar berada di bagian barat pulau Sabu, ke arah Sumba bagian tengah (Kini, 2022).
Dari ritual Hole dan tradisi pemakaman para Jingtiu, kita belajar dari masyarakat Sabu suatu pesan universal – tentang keparipurnaan diri yang hanya bisa diperoleh dari mengenal dan menyadari nilai diri, alam dan lingkungan.
Keselarasan manusia dan alam diperoleh melalui suatu transformasi tanpa kehilangan harmoni. Manusia, alam dan kehidupan adalah suatu kesatuan universal. Ini adalah pesan moral yang harus diteruskan dari generasi ke generasi. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.