Obituari

Kepingan-kepingan Kenangan Bersama Kak Niko: Tutup Buku dan Mengosongkan Diri

Lokus atau titik kumpulnya adalah Sekretariat Presidium GMNI, di Wisma Marinda, Jalan Percetakan Negara Salemba, Jakarta Pusat.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Niko Frans (kanan) dan Viktus Murin, duet Ketua dan Sekretaris DPC GMNI Kupang periode 1993-1996. 

POS-KUPANG.COM - Kongres GMNI di Manado tahun 2002 dapat disebut sebagai eranya kepemimpinan perempuan di GMNI setelah Wahyuni Refi terpilih sebagai Ketua Presidium.

Kala itu yang menjadi Ketua Sidang Paripurna Kongres adalah Benhur Watubun dari Cabang Ambon.

Benhur yang saat ini menjabat Ketua DPRD Propinsi Maluku, tumbuh menjadi tokoh politik di bumi Pattimura melalui  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Mundur sekilas, kira-kira sepekan sebelum gelaran Kongres Manado. Mengingat Indonesia sebagai kawasan arhipelago atau daerah kepulauan, maka butuh pendekatan khusus yang efektif, agar semua peserta Kongres dari berbagai pulau dapat tiba serentak di lokasi kongres yakni di Kota Manado.

Maka, Presidium GMNI dan Panitia Nasional Kongres Manado bersepakat  agar seluruh Cabang GMNI di teritori Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, serta beberapa cabang di wilayah timur Indonesia bergerak menuju Jakarta sebagai lokasi transit.

Lokus atau titik kumpulnya adalah Sekretariat Presidium GMNI, di Wisma Marinda, Jalan Percetakan Negara Salemba, Jakarta Pusat.

Di hari terakhir sebelum pada malam harinya rombongan berangkat ke Manado, sudah berkumpul sekitar 80 sampai 100 orang utusan GMNI se-Indonesia di Wisma Marinda.

Tibalah hari keberangkatan ke Manado. Suasana hiruk-pikuk di lokasi transit.

Saya waktu itu sedang menjadi peserta Kongres KNPI di Asrama Haji Pondok Gede Bekasi, sehingga terus berkomunikasi pertelpon dengan panitia pelaksana, agar mengatur sebaik mungkin kawan-kawan peserta kongres sampai masuk ke pesawat di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng.

Ada juga anggota panitia yang menelpon saya dan menyampaikan info unik. "Bang Viktus, banyak kawan yang tidak sempat mandi karena keterbatasan persediaan air di sekretariat.".

Saya pun menjawab ringan; "Adinda,  penumpang pesawat nanti hanya kita sesama anggota GMNI, sehingga sudah saling tahu dan paham sikon yang ada. Jadi tidak mengapa sekali-sekali tidak mandi."

Malam keberangkatan rombongan GMNI ke Manado, bertepatan dengan momen penutupan Kongres KNPI, sehingga dari Asrama Haji Pondok Gede, saya dan salah satu Anggota Presidium yakni mendiang RS Hayadi langsung meluncur ke Bandara S-H Cengkareng untuk bergabung dengan rombongan yang telah bergerak dari Wisma Marinda.

Sesampai di Bandara, di ruang tunggu,  kami berpapasan dengan Gubernur Sulawesi Utara AJ Sondakh dan isterinya yang malam itu ternyata harus balik  ke Manado.

Sangat mungkin beliau berdua yakin ada pesawat yang berangkat ke Manado pada jam itu. Sangat mungkin pula pesawat itu ternyata pesawat yang telah disewa oleh GMNI. Kami menyaksikan Pak Sondakh dan isterinya berdialog sejenak dengan petugas Lion Air.

Tak berapa lama, seorang petugas Lion menghampiri kami untuk berbagi info dan mencari solusi. Spontan saya sampaikan ke pihak Lion agar Pak Gubernur dan isteri silahkan berangkat bersama kami ke Manado.

Saya lekas-lekas menghampiri Pak Sondakh dan menyampaikan bahwa kami merasa senang beliau bisa segera balik ke Manado bersama kami, karena pada keesokan harinya Wapres RI Hamzah Haz akan datang ke Manado untuk membuka secara resmi pelaksanaan Kongres GMNI.

Serta-merta Pak Sondakh dan isteri tersenyum ramah dan menyalami kami beberapa pengurus dan panitia, untuk kemudian kami bersama beranjak masuk ke dalam pesawat.

Perlu diungkapkan  di sini, mengapa Panitiq Kongres GMNI bisa menyewa pesawat Lion Air.

Puji TUHAN, syukur alhamdulilah, pada waktu itu Menteri Sosial RI Bachtiar Chamzyah yang juga alumnus HMI, berkenan membantu Panitia Kongres GMNI sebesar seratus juta rupiah. Dengan dana bantuan Mensos RI tersebut, Rp 60 juta disisihkan untuk menjadi uang muka sewa pesawat Lion Air.

Sisa biaya sewa nanti diatur kemudian. Sisa dana sejumlah Rp 40 juta itulah yang dibawa ke Manado untuk persiapan pembiayaan berbagai kebutuhan teknis kongres. Dana sejumlah itu jelas masih minus atau defisit untuk membiayai acara organisasi sebesar kongres.

Namun, kami optimis di Manado nanti pasti ada Alumni GMNI atau para senior dari barisan kaum Marhaenis yang akan membantu kebutuhan kongres. Apalagi pada waktu itu, Walikota Manado adalah seorang alumni GMNI yakni Pak Wempi Fredrick.

Perihal GMNI menyewa Lion Air, itu juga suatu surprise, sebab bila tidak ada pihak yang menggaransi maka sulit rasanya Panitia Kongres GMNI bisa menyewa pesawat.

Ada seorang sahabat, alumni HMI dia, yang ternyata mengenal baik bos Lion Air waktu itu, sehingga sahabat inilah yang membantu meyakinkan sang bos Lion, agar GMNI bisa menyewa pesawatnya untuk mengangkut rombongan peserta kongres ke Manado.

Pesawat pun take off malam itu menuju Manado. Di dalam pesawat, naluri usil saya muncul, untuk melakukan observasi terbatas terhadap situasi. Mengingat saya sudah pernah punya pengalaman pertama kali naik pesawat, maka feeling saya akan ada kejadian unik di pesawat Lion malam itu.

Benar saja, tiba saatnya pembagian makan malam oleh pramugari, eh ada penumpang yang minta tambah nasi. Lalu, beberapa penumpang yang mau ke toilet, malah berjalan ke arah ruang kemudi pesawat dan dengan agak grogi hendak membuka pintu kokpit. Konyol, tapi kocak. Kacau, tapi lucu.

Di Manado, pada keesokan harinya, tepat di Hari H, Wapres Hamzah Haz pun tiba di arena Kongres untuk membuka/meresmikan Kongres GMNI. Puji TUHAN, syukur alhamdulilah, seremoni pembukaan Kongres berlangsung lancar dan sukses.

Akan halnya mengapa Wapres RI yang hadir membuka Kongres GMNI, dan bukan Presiden RI yang waktu itu dijabat oleh Ibu Megawati Soekarnoputri?

Tahapan etis protokoler kepresidenan sudah coba ditempuh oleh Presidium GMNI/Panitia Kongres. Kami waktu itu bahkan sudah beraudiensi dengan Mensesneg Bambang Kesowo untuk mengundang Presiden RI membuka Kongres GMNI.

Namun, sampai dengan hari-hari krusial mendekati pelaksanaan kongres, kepastian untuk  bertemu atau beraudiensi tidak juga kami peroleh. Kami hanya mengira-ngira, mungkin saja alur protokoler untuk bertemu Presiden RI memang amat rumit.

Gagal mengundang Presiden RI, kami pun berikhtiar agar bisa mengundang Wapres Pak Hamzah Haz. Maka, saya selaku Sekjen ditemani oleh dua anggota Presidium, yakni Kristyanto Wisnu Broto dan mendiang RS Hayadi menemui senior HMI, Kang Egi Sudjana, di kantornya di bilangan Thamrin Jakarta.

Kami mendapatkan informasi bahwa Kang Egi sering memberikan advis mengenai isu-isu kepemudaan dan atau pergerakan mahasiswa kepada Pak Hamzah Haz. Beliau menerima kehadiran kami dengan gembira, dan meyakinkan kami akan berkomunikasi dengan pihak protokoler Wapres RI.

Puji TUHAN, syukur alhamdulilah,  dua atau tiga hari kemudian kami telah dapat beraudiensi dengan Wapres RI Pak Hamzah Haz.

Sekembalinya kami ke Jakarta seusai Kongres Manado, komunikasi dengan simpul-simpul alumni berpengaruh terus dilakukan, selain untuk memperkenalkan pengurus baru, juga untuk "melaporkan" situasi riil yang terjadi akibat penyelenggaraan kongres.

Tokoh-tokoh alumni akhirnya bersepakat bertemu dan berdialog dengan pengurus baru Presidium GMNI (2002-2005) dan mantan Presidium GMNI (1999-2002). Tempat pertemuan berlangsug di rumah kediaman Abang Taufik Kiemas (Alm) di Jalan Teuku Umar.

Pada momen pertemuan dengan tokoh-tokoh alumni itu, kami "melaporkan" adanya fakta bahwa GMNI masih memiliki hutang di lokasinKongres, baik Kongres Manado 2002 maupun Kongres Kupang 1999.

Merespon fakta kurang mengenakkan itu, tokoh-tokoh alumni yang hadir bersepakat untuk membantu menyelesaikan urusan hutang kongres. Abang Taufik Kiemas waktu itu meminta Cornelys Lay (Alm) ---kerap disapa dengan Mas Conny atau Bu Ne'i, agar membantu berkomunikasi dengan para pihak di Kupang untuk mengatasi hutang kongres.

Sedangkan untuk hutang kongres di Manado, akan dimediasi oleh antara lain Abang Theo Sambuaga.

Pilkada 2011, Kongres Alumni GMNI 2015

Melompat maju beberapa tahun ke depan. Di tahun 2011, Puji TUHAN, saya beroleh kesempatan mengikuti Pilkada Lembata sebagai Calon Wakil Bupati mendampingi Calon Bupati Herman Wutun ,(Ketua Umum Induk KUD).

Kami diusung oleh Partai Golkar. Saat berkesempatan transit di Kupang, saya tetap berupaya berjumpa meminta nasehat. Kalau tidak memungkin "bersemuka" (bertemu muka dengan muka), maka saya pasti menelpon Kak Niko. Demikian pun halnya dengan Senior Frans.

Kendati dalam Pilkada 2011, PDI-P, partainya senior Frans dan Kak Niko, memiliki calon sendiri yang akan berhadapan dengan kami  kontestan Golkar, namun saya tetap memosisikan Senior Frans dan Kak Niko sebagai orangtua di dalam komunitas GMNI di NTT, "tempat saya bisa beroleh nasehat". 

Disposisi batin saya waktu itu adalah walaupun untuk Pilkada Lembata 2011, Golkar dan PDI-P harus berhadapan sebagai lawan tanding politik, namun "rasa hormat saya kepada senior Frans, dan juga Kak Niko tidak berkurang sedikitpun".

Puji TUHAN, kendati di panggung kompetisi politik Pilkada Lembata 2011, partai kami sedang "berhadapan" waktu itu, namun saya dapat merasakan bahwa Senior Frans dan Kak Niko tetap menaruh kasih yang besar kepada saya selaku "adik ideologis" mereka.

Maju lagi ke tahun 2015, puji TUHAN, saya bertemu dengan Kak Niko di arena Kongres Persatuan Alumni GMNI yang digelar di komplek Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran, Jakarta Pusat. Kongres PA GMNI dibuka oleh Presiden Jokowi.

Saat itu, saya datang bukanlah sebagai peserta Kongres, namun lebih karena rasa rindu bersua dengan para sahabat, kawan, rekan, dan kolega seideologi. Ketika bertemu Kak Niko, kami saling merangkul, berpelukan.

"Ade Vik, sehat e," Kak Niko menyapa. "Puji TUHAN. Kak Niko juga kelihatan sudah lebih sehat," jawab saya. "Kak Niko su sonde merokok to?"tanya saya lekas. "Iya Vik, su sonde lai." Tak banyak waktu kami berkisah lantaran Kak Niko mesti mengikuti sesi persidangan kongres.

Saat bertemu Kak Niko tahun 2015 itu, saya baru saja masuk lagi ke Jakarta  bersama keluarga, setelah dua tahun sebelumnya (sejak 2013 selepas tugas di Kemenpora RI), saya dan keluarga sudah tinggal menetap di Manado.

Anak saya, Matur, sudah bersekolah di SD Santo Paulus Manado. Tahun 2015 kami harus pindah lagi ke Jakarta, setelah saya mengiyakan ajakan Pak Melchias Markus Mekeng untuk.membantu beliau sebagai Tenaga Ahli Anggota DPR RI.

Saat pindah ke Jakarta tahun 2015 itulah, anak saya Matur, pindah bersekolah di SD Santo Antonius Matraman, Jakarta Timur, hingga tamat di sekolah yang berdekatan dengan Gereja Katolik Santo Yoseph Matraman itu.

Bersua lagi di Kupang, 2018

Pertemuan kembali saya dan Kak Niko baru terjadi lagi awal tahun 2018, saat saya dan sejumlah kawan di Golkar melaksanakan tugas kepartaian di Sikka, Flores Timur, dan Lembata.

Saat hendak kembali Jakarta, saya dan kawan separtai, Fransiskus Roi Lewar transit semalam di Kupang. Saat ini, Roi Lewar sudah bermigrasi ke PSI, dia menjabat Ketua PSI Kabupaten Flores Timur.

Di antara sempitnya waktu karena malam sudah beranjak larut, saya menelpon Kak Niko untuk bisa bertemu. Kak Niko dengan senang hati meminta saya datang ke rumahnya.

Tiba di rumah Kak Niko, selagi Ade Tensi, isteri Kak Niko menyiapkan kopi-teh, saya menyampaikan niat hati saya dan meminta nasehat dari Kak Niko.

Niat saya waktu itu adalah hendak mengikuti proses politik di Golkar untuk maju dalam kontestasi Pemilu Legislatif tahun 2019 menuju DPR RI. Targetnya terjun di Dapil 2 NTT, mengingat basis pergerakan saya selaku aktivis dan wartawan memang adanya di Kota Kupang.

Niat tersebut memang diinformasukan secara amat terbatas, karena memang belum ada publikasi apapun. Beberapa simpul tradisional Golkar di Kupang pun sudah saya jumpai, secara terbatas pula, mengingat ini konteksnya baru menyampaikan niat.

Mendengar informasi saya, Kak Niko memastikan bahwa ia akan menyampaikan ke komunitas GMNI agar kalau nanti saya jadi mengikuti kontestasi Pileg 2019, maka mesti dicarikan jalan bersama agar ada manfaat ideologis yang bisa dirasakan bersama pula.

Pertemuan kami malam itu tak berlangsung lama lantaran sudah terlanjur larut. Saya pun pamit. "Ade Vik, semoga sukses," begitu ucap Kak Niko sembari menghantar saya ke depan pintu ke arah pekarangan rumah.

Sekarang ini, saya baru menyadari bahwa pertemuan malam itu di rumah Kak Niko, ternyata menjadi pertemuan terakhir saya dan Kak Niko.

Satu dua  bulan pun berlalu. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Niat saya ikut kontestasi Pileg 2019 pun sirna, terhempas oleh angin puting beliung politik yang lebih digdaya.

Padahal satu dua tahapan proses formal partai sudah saya ikuti dan atau lewati.

Tak mengapa. Tidak apa-apa. Ahh, teringat lagi saya pada apa yang pernah disampaikan oleh Mantan Ketua Umum Presidium PP. PMKRI, Antonius Doni Dihen.

Dalam buku perdana saya berjudul "Mencari Indonesia, Balada Kaum Terusir", Kaka Anton Doni menulis komentarnya sebagai berikut; "Dari belantara politik bernama Golongan Karya, yang pada masa reformasi dipandang sebaga habitat para 'harimau dan binatang buas lainnya', ia meneriakkan masa depan keadilan, rekonsiliasi, demokrasi, dan kebangsaan."

Hati boleh kecewa, tetapi batin dan jiwa mesti terus bergirang dalam rasa syukur berlimpah kepada TUHAN. Sebab sesungguhnya rencana TUHAN selalu merupakan hal terbaik.

"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yesaya 55:8-9).

Telepon terakhir di 2022

Meloncat lagi ke ruang waktu empat tahun setelah 2018, terakhir kali saya bersua muka dengan Kak Niko di Kupang. Awal tahun 2022, sekira dua atau tiga bulan pasca masa masa duka berpulangnya Senior Frans, 19 Desember 2021.

Di suatu malam kira-kira pukul 19.00 waktu Minahasa Utara, pun waktu Kupang, bunyi telpon masuk dari Kak Niko. Semenjak memuncaknya wabah Covid-19, medio Maret 2020, saya memang sudah kembali pulang dari Jakarta ke Bumi Nyiur Melambai Sulawesi Utara.

Rumah kediaman kami berada di teritori Kabupaten Minahasa Utara, namun lebih dekat ke perbatasan dengan Kota Manado.

"Malam Ade Vik, ini dengan beta," begitu suara Kak Niko terdengar dari balik ponsel.

"Iya Kak Niko, terima kasih Kak Niko yang menelpon beta. Sehat-sehat to Kak Niko, ade Tensi, dan Aldo?" ucap saya menyambut suara Kak Niko.

"Iya Vik, sehat semua. Terima kasih. Vik dan keluarga juga ada bae-bae ko?" "Puji TUHAN, sehat Kak Niko". Begitu kira-kira kalimat pembuka kami berdua.

Dalam pembicaraan pertelpon malam itu, saya juga mengungkapkan rasa sedih saya mengenang senior Frans.

Kak Niko pun merespon dengan sikap empati, dan mengungkapkan suasana kolektif komunitas GMNI di NTT terkhusus di Kupang pasca kehilangan senior Frans. Lalu, Kak Niko bertanya, kira-kira seperti ini; "Rencana politik Vik selanjutnya bagaimana? Dengan Lembata bagaimana?"

Terus terang saya agak terkejut dengan pertanyaan Kak Niko, namun saya tak menunjukkan keterkejutan itu dalam intonasi suara.

"Kak Niko, maaf, boleh to saya bicara secara apa adanya?" "Boleh Vik, sonde apa-apa," Kak Niko merespon. "Begini Kak Niko, mengenai Lembata,  perhatian saya pada kampung halaman, tentu saja tidak mungkin berhenti, walaupun itu hanya dalam wujud sumbangan pemikiran. Namun, kalau berkaitan dengan politik praktis di Lembata, saya sudah memetik banyak hikmah pasca Pilkada 2011. Sehingga, untuk kontestasi politik di Lembata, saya sudah tutup buku."

Menyimak jawaban saya, Kak Niko pun merespon, "Iya Vik, iya Vik. Beta bisa memahami." Nada suara Kak Niko terdengar lebih pelan dan berat.

"Mohon maaf Kak Niko, kalau boleh memakai idiom atau istilah rohani, maka untuk kontestasi politik lokal di Lembata, saya sudah mengosongkan diri," ucap saya melanjutkan.

Lalu, Kak Niko bertanya lagi, "Kalau konteksnya di luar Lembata, bagaimana sikap ade Vik?"

Saya pun merespon, "Kak Niko, saya memaknai pertanyaan yang ini  sebagai refleksi komunitas ideologis kita. Kalau ada penugasan ideologis di NTT yang harus dijalankan oleh teman-teman ideologis, termasuk saya, maka itu mesti merupakan kesepakatan dan penugasan bersama dari komunitas ide ologis kita. Harapan terbesar untuk hal ini ada pada Kak Niko sebagai Ketua organisasi Alumni GMNI di NTT."

Begitulah ringkasan perbincangan Kak Niko dan saya malam itu, di permulaan tahun 2022. Sebuah perbincangan ideologis, yang berporos pada refleksi kecintaan kami yang sangat kepada almamater GMNI.

Perbincangan ideologis itu, bagi saya pribadi, kini telah berubah menjadi kenangan yang amat bermakna dalam ziarah ideologis. Pun, menjadi kenangan tentang "kohesi relasi kemanusiaan" yang jauh melampaui segala macam jenis kepentingan politik.

Kak Niko yang bersahaja dan baik hati, beta selalu akan berjumpa denganmu dalam ingatan di benak sekaligus kenangan di bilik hati.

"Kenangan itu suatu bentuk pertemuan juga," begitu guru batin Kahlil Gibran bertutur. Kak Niko terkasih, bahagia abadi jiwamu di Sorga.

"Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman." (2 Timotius 4:7). Kak Niko...jangan lupa e, titip salam hormat dan penuh kasih untuk Senior Frans.  *(Bagian ketiga/Habis)

*) Viktus Murin, adalah Sekretaris DPC GMNI Kupang (1993-1996), Ketua Komite Kaderisasi Presidium GMNI (1996-1999), Sekjen Presidium GMNI (1999-2002), Wakil Sekjen DPP AMPI (2008-2013), Wakil Sekjen DPP Partai Golkar (2018-2019). Wartawan Pos Kupang (1992-1995), Tenaga Ahli Menpora RI DR. H. Adhyaksa Dault, SH, M.Si (2004-2009), Tenaga Ahli Anggota DPR RI Melchias M. Mekeng (2015-2018). Kini, menjadi Tenaga Ahli Ketua MPR RI, DR.H.Bambang Soesatyo, SE, SH, MBA.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved