Liputan Khusus

News Analysis Pinjam Pakai Gedung Sekolah, Pengamat: Libatkan OPD Urusan Perbatasan

Kendala utama, kata dia, sering kali adalah masalah teknis administratif dan mekanisme penganggaran yang rumit. 

Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/HO-ISTIMEWA
Pengamat Pendidikan Undana Kupang, Dr. Hamza H Wulakada 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pengamat Pendidikan, Dr. Hamza H Wulakada kondisi ketiadaan gedung sekolah yang dialami siswa/i Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Perbatasan, di Kabupaten Belu, Provinsi NTT, membuat semua pihak ikut prihatin.

Naifnya, kondisi tersebut terjadi di wilayah Kecamatan Lamaknen Selatan yang merupakan kecamatan terluar-terdepan karena berbatasan langsung dengan Timor Leste.

"Saya kira ada sesuatu yang tersumbat dalam rencana pembangunan pendidikan kita. Menurut saya, alokasi anggaran pendidikan seharusnya menjadi prioritas sesuai dengan amanat UUD 1945. Namun kenyataannya, distribusinya tidak merata, terutama di daerah terpencil seperti Lamaknen Selatan," ungkap Wulakada.

Baca juga: Lipsus - Pinjam Gedung SD, Siswa SMA Perbatasan Mengaku Kurang Semangat

Menurutnya, proporsi 20 persen anggaran bidang pendidikan yang merupakan mandatory spending, belum terealisasi secara adil di daerah. Ada dana besar untuk beasiswa dan bantuan sosial, tetapi implementasinya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) masih sangat minim.

Kendala utama, kata dia, sering kali adalah masalah teknis administratif dan mekanisme penganggaran yang rumit. 

"Alasan teknis administratif sering menjadi penghambat karena kriterium dan persyaratan mendapatkan alokasi anggaran hingga ke tingkat bawah cukup ribet dan menjenuhkan," tambah dia.

Menurut dia, walau kewenangan penanganan SMA/SMK berada di tangan pemerintah provinsi, dampak dan manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat kabupaten. Maka, masalah pendidikan harusnya menjadi tanggung jawab semua stakeholder di berbagai tingkatan, baik provinsi maupun kabupaten.

ia menyebut hal yang perlu dipertanyakan juga adalah data keberadaan sekolah ini apakah sudah terakomodir dalam Dapodikdasmen atau terlewatkan saat dua tahun lalu ada stimulus program SMA unggulan.

Padahal, rintisan awal sekolah ini diinisiasi oleh masyarakat setempat dan direspon oleh pemerintah provinsi dengan memberikan izin. Tetapi kenapa tidak dilanjutkan dengan intervensi lanjutan.

"Karena, jika sekolah ini didirikan dua tahun lalu, seharusnya dalam anggaran 2024 sudah ada aktivitas penyediaan sarana dan prasarana pendidikannya berupa gedung. Kemudian diikuti dengan penyediaan fasilitas penunjang lainnya dan sumber daya tenaga didik serta kependidikan," ungkpa Wulakada.

Menurutnya, jika hingga kini belum ada realisasi maka tentu ada yang salah. Karena itu, seharusnya pemerintah provinsi mempercepat langkah-langkah yang diperlukan. Bahkan mestinya pemprov NTT juga melibatkan OPD yang menangani urusan perbatasan

"Jika pemerintah provinsi masih berkutat dalam argumentasi penganggaran, maka Pemerintah Kabupaten Belu bisa mengajukannya dalam skala prioritas pembangunan kawasan 3T. Masyarakat dan elemen lainnya mestinya juga berpartisipasi aktif untuk menangani permasalahan di SMA Perbatasan ini," tegas dia.

Caranya, Pemerintah desa bisa memasukkan dalam penganggaran Dana Desa untuk menopang sebagian kecil tanggung jawab sosialnya. Pemerintah kabupaten bisa membantu dari sisi pendidikan luar sekolah, dan kampus bisa mengalokasikan KKN dan MBKM ke sana. LSM/NGO dan komunitas sosial juga bisa bergerak dengan caranya.

Pemerintah provinsi NTT, lanjut dia,  bisa melakukan langkah cepat dan memudahkan mekanisme serta prasyarat BOSP untuk sekolah-sekolah di perbatasan. Jangan ikuti syarat umum. Demikian juga beasiswa PIP dan ADEM yang sempat viral menjadi komoditi politik tahun lalu, harus menjadi skala prioritas meskipun populasinya terbatas. (cr23) 

 

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved