Berita Internasional

Pengamat Menyebut Kematian Presiden Ebrahim Raisi Menciptakan Krisis Suksesi di Iran

Helikopter yang ditumpanginya jatuh di wilayah pegunungan terpencil di Azerbaijan Timur. Demikian menurut media pemerintah Iran.

Editor: Dion DB Putra
SHAFAQ.COM
Mendiang Presiden Iran, Ebrahim Raisi. 

Oposisi kecewa

Kematian Raisi, seorang tokoh garis keras yang dipandang sebagai calon penerus Khamenei, kemungkinan akan menghidupkan kembali perdebatan, tentang siapa yang akan menjadi pemimpin tertinggi berikutnya.

Meskipun Khamenei belum mendukung penggantinya, pengamat Iran mengatakan, Raisi adalah salah satu dari dua nama yang paling sering disebutkan, yang kedua adalah Mojtaba yang berusia 55 tahun, yang diyakini memiliki pengaruh di balik layar.

Namun, beberapa pihak menyuarakan keprihatinan mengenai posisi yang akan diberikan kepada anggota keluarga, dan banyak yang yakin keputusan tersebut akan ditolak oleh sebagian besar masyarakat.

"Penunjukan Mojtaba Khamenei sebagai Pemimpin Tertinggi Spiritual Iran dapat memicu keresahan masyarakat," tulis Sadjadpour.

"Kurangnya legitimasi dan popularitasnya, akan berarti dia sepenuhnya bergantung pada Garda Revolusi untuk menjaga ketertiban. Hal ini dapat mempercepat transisi rezim ke pemerintahan militer atau potensi keruntuhan rezim tersebut."

Namun, Bazoobandi yakin protes massal baru di negara tersebut tidak mungkin terjadi.

"Rezim yang berkuasa telah melumpuhkan aksi protes sehubungan kematian Jina Mahsa Amini dua tahun lalu dengan sangat brutal, sehingga sebagian besar masyarakat yang beroposisi kecewa," katanya.

Dia mengatakan, tidak akan ada perubahan apa pun di bawah presiden sementara yang baru.

"Raisi menerima instruksinya dari Khamenei. Dia hanyalah boneka. Dan hal itu tidak akan jauh berbeda dengan presiden berikutnya."

Pandangan ini dianut oleh Mohammad Ali Shabani, editor Amwaj.media, sebuah situs web yang berfokus pada urusan Iran.

"Pemilihan presiden yang dilakukan lebih awal, dapat memberikan kesempatan bagi Khamenei dan para petinggi negara untuk mengubah arah dengan cara yang menyelamatkan mukanya dan memberikan jalan bagi para pemilih yang kecewa untuk kembali ke proses politik,” katanya.

"Namun, hal ini memerlukan keputusan strategis untuk memutar balik dan memperluas lingkaran politik yang terus menyusut. Sejauh ini, kecenderungan kelompok politik adalah menggandakan kekuasaan konservatif.”

Hamidreza Azizi, dari Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman, juga menganut pandangan serupa, dan tidak yakin kematian Raisi akan berdampak signifikan pada cengkeraman kekuasaan rezim teokratis tersebut.

"Secara keseluruhan, implikasi kematian Raisi tidak akan menjadi pukulan mendasar atau pukulan telak terhadap sistem yang ada. Namun, akan berdampak pada persaingan antarkelompok garis keras, akan tetapi tidak akan berdampak pada arah strategis Republik Iran dalam politik luar negeri atau dalam negeri," demikian Azizi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com berjudul Menerka Masa Depan Politik Iran Setelah Kematian Presiden Raisi

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved