Revisi UU TNI

Masyarakat Sipil Nilai Revisi UU TNI Bahayakan Demokrasi

Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta agar DPR RI membatalkan pembahasan revisi Undang Undang TNI tersebut.

|
Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/HO
Anggota Kopassus TNI. Masyarakat sipil nilai pembahasan revisi UU TNI bahayakan demokrasi. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai draft revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) membahayakan demokrasi. 

Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta agar DPR RI membatalkan pembahasan revisi Undang Undang TNI tersebut.

"Kami memandang DPR RI membatalkan dan meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini," kata Ketua Centra Initiative Al Araf dikutip dari Kompas.com, Selasa (21/5/2024). 

Baca juga: Mabes Godok Revisi UU TNI, Panglima: Yang Sudah Tidak Relevan Kami Revisi

Menurut Araf, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya.

Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan justru dianggap memundurkan kembali agenda reformasi TNI.

Berdasarkan catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, ada empat poin krusial yang dianggap memundurkan agenda reformasi di tubuh TNI, merujuk draf terakhir revisi UU TNI pada April 2023.

Pertama, perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Araf menyebut revisi UU TNI yang memasukan fungsi TNI bukan hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga keamanan negara adalah hal yang keliru.

Di negara demokrasi, fungsi militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik dan dilatih untuk perang.

"Oleh karena itu, meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru dan membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara," katanya.

Kedua, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI.

Araf mengatakan, ketentuan tentang kewenangan Presiden tersebut seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut di dalam UU TNI sebagai regulasi organik yang mengatur tentang TNI.

Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Dalam kedududkannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, Pasal 14 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI.

"Dengan dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden di dalam UU TNI, hal ini menjadi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," ungkap dia.

Ketiga, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved