Opini

Opini: Menyembuhkan Virus Sarkasme Politik NTT Menjelang Pilkada

Pemilihan kepala daerah serentak pun telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa akan berlangsung pada tanggal 27 November 2024.

|
Editor: Dion DB Putra
PROKAL
Ilustrasi Pilkada 2024. Kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi rebutan. 

Oleh: Jondry Siki, S.Fil
Alumnus Fakultas Fisafat Unwira Kupang

POS-KUPNG.COM - Politik bagi orang-orang sederhana adalah “putar balik” sehingga di dalam percakapan mereka, kata tipu, bohong dan dusta diterjemahkan dengan kata “politik”.

Entah apa yang melatarbelakangi hal ini sehingga setiap pembicaraan yang sifatnya, tipuan, bersilat kata dan dusta selalu diterjemahkan dengan kata “politik”.

Namun, terlepas dari pemahaman yang salah terkait politik, hendaknya nilai-nilai kebenaran dan keadilan diperjuangkan melalui diplomasi politis demi terwujudnya bonum commune.

Lantas, untuk mewujudkan “bonum commune” atau kesejahteraan bersama, jalur dan jalanyang paling efektif adalah melalui kebijakan-kebijakan politis di parlemen suatu daerah atau negara.

Oleh sebab itu, sebelum mencapai setiap kebijakan itu, perlu dan penting adanya pemilihan kepala daerah yang bisa memimpin dan mengontrol jalannya kebijakan politis itu dalam negara.

Percaturan politik Nusa Tenggara Timur pasca pemilihan anggota legislatif yang berlangsung 14 Februari 2024 lalu telah memberi gambaran kepada publik terkait partai-partai yang akan berlaga untuk pemilihan kepada daerah.

Pemilihan kepala daerah serentak pun telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa akan berlangsung pada tanggal 27 November 2024.

Bersamaan dengan itu, gelora dan aroma politik menjelang pilkada kian terasa di Provinsi NTT para politisi dan pengusaha mulai mendaftarkan diri ke partai-partai tertentu sebagai alat tunggangan untuk meraih kursi kepala daerah.

Pilkada NTT wajah “Zoon Politicon”

Aristoteles seorang filsuf Yunani kuno menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial yang mengatur kehidupan manusia melalui kebijakan politis itulah sebabnya manusia dikenal sebagai makhluk berpolitik atau zoon politicon.

Oleh sebab itu setiap manusia wajib berpartisipasi dalam mengatur dan mengelola kehidupan bersama dalam suatu negara berdaulat.

Keterlibatan setiap warga negara dalam kehidupan politik telah diatur dalam undang-undang sehingga menjadi hak dan tanggung jawab bersama.
Dinamika politik NTT kini kian terasa dengan pendaftaran beberapa figur untuk terlibat aktif dalam pencalonan pemilihan kepala daerah.

Berdasarkan informasi yang beredar di media, pihak–pihak yang telah mendaftarkan diri untuk kontestasi pilkada NTT berasal dari latar
belakang yang berbeda di antaranya adalah pengusaha, akademisi dan politisi.

Percaturan politik di NTT menjadi berwarna dan menarik karena hadirnya tokoh-tokoh yang sebelumya tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu.

Pilkada NTT dan wajah baru politik

Partai politik mulai menjaring tokoh-tokoh untuk dicalonkan menjadi bupati-wakil bupati, walikota-wakil walikota, gubernur-wakil gubernur di tengah tensi politik nasional yang masih terasa dengan keputusan Mahkama Konstitusi yang menyatakan bahwa paslon nomor urut dua sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2024-2029.

Tensi serupa kini terasa di NTT terutama partai-partai yang telah memiliki kursi di parlemen, sehingga menjadi kendaraan untuk meraup suara dalam meraih kursi kepala daerah.

Tampilnya wajah-wajah baru dalam perebutan kursi gubernur menjadi tanda bahwa NTT membutuhkan pemimpin baru yang mempunyai visi dan misi untuk membangun daerah bukan pemimpin yang hanya pandai berorasi dan hanya tinggal narasi tanpa aksi.

Oleh sebap itu sebagai warga negara harus jeli dan teliti dalam menjatuhkan pilihan kepada figur yang akan menjadi pemimpin.

Berkaca dari pengalaman pilkada sebelumnya maka kita harus mewaspadai
calon pemimpin yang hanya pandai membuat janji manis namun ternyata pelaksanaannya berbau amis.

Dengan demikian kita diharapkan untuk selalu berhati-hati dalam menentukan pilihan sambil melihat jejak digital dan juga rekam jejak pemimpin yang lalu agar tidak jatuh kesalahan yang sama.

Jejak digital ini gatal, dan membantu kita agar tidak gagal dalam memilih calon-calon pemimpin di Provinsi NTT. NTT membutuhkan pemimpin berkompeten dan bukan yang termpramen, pemimpin humanis bukan pengumbar janji manis dan pemimpin solutif bukan polutif.

Virus Zoon Politicon vs Virus Sarkasme Politik (di) NTT

Jika kita mengikuti standar Aristoteles tentang politik, maka semua orang bisa berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi di NTT tanpa melihat lebel suku, ras, agama (SARA) dan gereja yang dianut.

Memang, pada awalnya peran partai politik cukup berpengaruh namun Ketika terjadi dua putaran dalam pilkada gubernur dan wakil gubernur, agamalah yang pertama-tama menjadi tolok ukur memilih gubernur dan wakil gubernur.

Selain adanya sentimen suku, ras, agama dalam pikada NTT, ada juga sarkasme politik yang biasa dibungkus dengan politik uang.

Politik jenis ini kerap kali kita jumpai di akar rumput di mana orang-orang miskin diperalat dengan sejumlah uang agar suara mereka bisa didulang.

Politik sarkasme ini merupakan bentuk baru dari politik busuk, politik ‘putar balik’ dan polusi demokrasi.

Berkaca dari pemilihan legislatif yang telah berlalu tidak sedikit caleg yang memboncengi sarkas politik untuk bisa meraih kursi di parlemen.

Sarkasme politik merupakan bentuk penghinaan dan penodaan terhadap politik di mana orang menggunakan cara-cara jahat dan buruk untuk bisa memenangi pertarungan dalam demokrasi.

Banyak orang awam tidak membaca bahaya sarkasme ini malah memuji tindakan beberapa oknum yang membagi-bagi uang menjelang pencoblosan atau ‘serangan fajar’.

Jadi, sarkasme politik yang paling menonjol adalah politik uang dan politik sara.

Dari sini kita bisa mengerti bahwa politik yang semula suci kini menjadi borok dan lumbung dusta yang tidak dapat disembuhkan lagi oleh siapapunn karena siapa yang mempunyai uang ia bisa menjadi pemimpin tanpa melihat apakah ia berkompeten atau tidak. Mari selalu berhati-hati dengan virus sarkasme politik.

Pilgub NTT; Sajian SARA ‘Katolik vs Protestan

Salah satu bentuk sarkasme politik yang sangat nyata di NTT adalah persaingan “Katolik vs Protestan”.

Bedasarkan data statistik, provinsi NTT merupakan mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan.

Akan tetapi berkaca dari Pemilukada- pemilukada yang lalu, warna adan aroma demokrasi dalam pemilihan kepala daerah selalu diboncengi oleh sentimen politik sara sehingga yang terjadi adalah kepala daerah yang terpilih bukan orang yang berkompeten tetapi karena memiliki satu agama atau satu gereja dengan si pemilih.

Dalam hal ini terjadi bentrok politik seolah-olah “Katolik vs Protestan”.

Melihat fenomena ini, maka virus sarkasme dalam bentuk “Katolik vs Protestan” harus dihindari sedini mungkin.

Oleh karena itu, sangat penting untuk membudayakan politik yang sehat menjelang pikada NTT karena berdasarkan pengalaman yang ada, standar untuk memilih seorang menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT adalah Katolik atau Protestan.

Ini adalah fakta di lapangan yang sudah mengakar dan perlu diubah. Oleh sebab itu sarkasme politik jenis ini harus dihindari karena kita memilih pempimpin politik untuk membangun NTT bukan memilih pemimpin gereja.

Mari kita lawan mafia politik suku, ras, agama dan kita utamakan politik yang sehat agar bisa menciptakan kehidupan NTT yang aman dan sentosa dan selalu mengutamakan toleransi sehingga NTT tetap terjaga sebagai Nusa Terindah Toleransi baik di tingkat nasional maupun di tingkat global. Ingat katong basodara, bae sonde bae NTT lebe bae. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved