Tokoh NTT
Profil Pendeta Andreas Yewangoe, Teolog dan Pemikir Kristen Indonesia Modern
Sejak 2017, sosok pendeta, dosen dan teolog Kristen Protestan kelahiran NTT itu dipercayakan Presiden Jokowi menjadi Anggota Dewan Pengarah BPIP
POS-KUPANG.COM - Pendeta Dr. A.A. Yewangoe merupakan salah satu tokoh pemimpin dan pemikir Kristen Indonesia saat ini. Putera NTT kelahiran Mamboru, Sumba Barat 31 Maret 1945 itu pernah menjadi Ketua PGI selama dua periode.
Sejak 7 Juni 2017, sosok pendeta, dosen dan teolog Kristen Protestan kelahiran NTT itu dipercayakan Presiden Jokowi menjadi Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Baca juga: Profil Irjen Pol Rudolf Alberth Rodja, Putera NTT yang Duduki Jabatan Penting di Kemenko Polhukam
Riwayat Hidup
Dikutip dari Wikipedia, Yewangoe dilahirkan dari suami-istri Lakimbaba dan Kuba Yowi di Sumba Barat. Namun sejak usia 7 bulan, menurut kebiasaan di daerahnya, ia sudah diasuh oleh orang tua angkatnya, yaitu Pdt. S.M. Yewangoe yang melayani sebagai seorang pendeta di kampungnya, dan istrinya, Leda Kaka.
Kehidupan Pdt. Yewangoe ini sangat sederhana karena gaji pendeta di desa sangat kecil. Karna itu, ayah angkatnya juga harus mencari nafkahnya sebagai seorang petani.
Sebagai seorang anak tani, Yewangoe terbiasa hidup menggembalakan kerbau bersama teman-temannya. Hidup di tengah keluarga pendeta ternyata meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada dirinya. Dalam benaknya muncul keinginan untuk juga menjadi seorang pendeta.
Harapannya ini ternyata cocok dengan harapan ayah angkatnya, sehingga ia pun didorong untuk mengembangkan karier itu. Karenanya Yewangoe pun tertarik untul belajar teologi, meskipun saat itu ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang studi teologi.
Yewangoe kecil menempuh pendidikan dasarnya selama enam tahun di Sekolah Rakyat Masehi di Mamboru (1951-1957), yang dilanjutkannya dengan pendidikan menengahnya di sebuah sekolah Kristen di Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat.
Setelah tamat dari SMA pada 1963, ia pun meninggalkan kampung halamannya menuju Jakarta untuk belajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta).
Menjadi mahasiswa
Yewangoe berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal hewan. Setibanya di ibu kota, ia sangat terkejut menyaksikan perbedaan yang sangat besar dengan kampung halamannya.
Studinya di STT Jakarta tidak berjalan mudah, apalagi ia harus belajar bahasa Ibrani, bahasa Yunani, dan bahasa Inggris.
Yewangoe mengaku ia bukanlah seorang mahasiswa yang sangat rajin belajar. Meskipun dari sekitar 40 orang mahasiswa yang masuk bersamanya ke sekolah itu hanya 8 orang saja yang lulus, Yewangoe bersyukur karena ia banyak tertolong karena ia sering belajar bersama dengan teman-temannya di GMKI.
Mengajar teologi
Pada 1969, Yewangoe menyelesaikan studinya di STT Jakarta, lalu kembali ke Waingapu, Sumba dan melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Sumba (GKS).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.