Opini

Belajar Beropini Felix Tans

Sebuah kerhormatan. Tulisan dengan judul ‘Tidak Tahu Diri’ ditanggapi oleh Felix Tans yang juga seorang profesor di Undana Kupang.

Editor: Agustinus Sape
DOK PRIBADI
Robert Bala. 

Oleh Robert Bala

POS-KUPANG.COM - Sebuah kerhormatan. Tulisan dengan judul ‘Tidak Tahu Diri’ ditanggapi oleh Felix Tans yang juga seorang profesor di Undana Kupang. Dengan latar belakang akademis sangat tinggi, yang hanya kita ungkapkan adalah rasa terima kasih. Profesor telah mengambil waktu untuk mencermati dan menilai bahwa tulisan itu mengandung beberapa (tidak hanya satu) kelemahan dan tidak jelas.

Yang menarik, sebuah opini ‘berkelas’ dari seorang dengan jabatan akademis ‘aduhai’, mestinya menampilkan alternatif sebagai solusi. Sebaliknya, cara menilai untuk hanya melihat hal negatif itu lebih cocok dilaksanakan oleh orang berpendidikan sangat rendah. Sayangnya, sang prof hanya sampai memberikan penilaian negatif tentang ketidakjelasan tulisan dan lupa menghadirkan apa yang bisa dianggap lebih berbobot.

Tidak hanya itu. FT memberikan sebuah judul dalam bentuk tanda tanya: ‘Siapa yang Tidak Tahu Diri?’ Judul dalam bentuk tanya seperti ini sudah lama ditinggalkan oleh koran sekelas Harian Kompas tetapi hal itu masih digunakan oleh Prof Felix Tans. Bagi penulis yang sudah melalangbuana dalam tulis-menulis, dengan melihat judul dalam bentuk pertanyaan, maka hal itu sangat mendegradasi isi yang bisa saja sangat berkelas.

Otonomi Teks

Paul Ricoeur, dalam From Text to Action, Essays in Hermeneutics, 1991 memberikan pautan agar tidak terjadi apa yang disebut ‘conflict of interpretations’. Agar tidak terjerat dalam konflik, Ricouer mengingatkan bahwa orang tidak bisa membaca sebuah tulisan seperti sebuah dialog. Pembaca kata Ricoeur tidak tahu dan tidak terlibat dalam menulis, dan penulis juga tidak tahu dan tidak terlibat pada saat membaca. Dalam hal ini teks membatasi penulis dengan pembaca.

Pembaca sebuah artikel (atau buku) harus menanggap seakan-akan pengarangnya sudah mati dan buku itu lahir persis setelah pengarangnya mati. Pengarang dengan demikian tidak dapat merespons kembali dan cara satu-satunya yang tersisa yang dilakukan adalah membaca karyanya. Di sinilah otonomi sebuah teks terlihat.

Jelasnya, tidak perlu menghabiskan waktu untuk coba bertanya dan diharapkan penulisnya membaca lalu menjawabnya tentang siapa yang sebenarnya tidak tahu diri. Tetapi inilah yang dilakukan oleh FT dengan membangun dialog dengan penulis. Ia mencari-cari tesisnya yang dianggapnya tidak ada dan tidak jelas dan kemudian mengklaimi bahwa karya itu tidak ditujukan untuk siapa pun entah legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Padahal dengan kecermatan seorang profesor ia bisa mendeteksi maksud eksplisit maupun emplisit dan di atasnya menyusun sebuah argumentasi cemerlang untuk mencerahkan publik.

Syukur bahwa di akhir tulisan terbaca ‘positioning’ FT: “Karena itu, dengan pertimbangan yang, menurut saya, sangat menyentuh hati itu, MK memutuskan, seperti yang kita tahu bersama, bahwa seseorang yang belum berumur 40 tahun, yaitu berumur 35 tahun dan pernah/sedang menjabat sebagai elected officials, boleh dicalonkan.” Kalau inilah posisi FT yang sudah menganggap sah keputusan MK tentang umur capres/cawapres. Dengan berpendapat seperti ini secara tidak langsung (ini sesuai tafsiran atas teks yang nota bene punya otonomi) disimpulkan bahwa analisis etis dari Prof Suseno tidak perlu ditanggapi karena kritikan terhadap umur capres/cawapres sudah diterima dan diakui dan karenanya tidak ada persoalan etis apalagi pelanggaran etik berat seperti dikalim oleh MKMK.

Kata-kata ini muncul sebagai kesimpulan dari otonomi teks yang dihadirkan oleh Tans dalam artikel opininya: Siapa yang Tidak Tahu Diri. Karena bersifat otonom maka tidak perlu mendapatkan konfirmasi dari penulis.

Lebih dari itu, Rocoeur mengingatkan bahwa makna sebuah teks tidak lagi terikat pada konteks semula (ostensive reference), tetapi teks terbuka pada dunia baru yang dibangun oleh teks itu sendiri yang tidak dibatasi.

Dengan uraian ini yang tentu sangat dipahami oleh FT, sebenarnya mau dikatakan bahwa FT telah kehilangan kesempatan menghadirkan sebuah opini cerdas dengan alternatif. Ia terlalu terpanah mengadakan kritik dan klaim tentang ketidakjelasan teks dan lupa menghadirkan apa yang disebut jelas. Model opini seperti itu, bagi yang terbiasa menulis di koran berkelas akan memahami bahwa sebuah tulisan yang tidak mencerahkan tidak pantas menjadid opini dan jauh dari sebuah opini berkelas.

Metode Induktif

Terlepas dari kritik Ricoeur yang coba dialamatkan pada FT, dialektika yang ditampilkan di sini sebenarnya ingin menghdirkan dua penalaran: deduktif dan induktif sebagai pijakan dalam menulis hal mana ditulis Dr Treat Preston dalam How to Figure Things Out: Inductive Reasoning and Deductive Reasoning, 2014.

Banyak pemikir, cendekiawan termasuk di dalamnya para dosen akan lebih mudah memilih penalaran deduktif. Mereka berpijak pada teori, mengembangkan hipotesis, menganalisis hasil lalu mengimplementasikan penemuan. FT menggunakan jenis penaralan ini dalam menarik kesimpulan tentang ‘keabsahan’ Gibran menjadi cawapres (dan kini sudah wapres terpilih).

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved