Tokoh NTT
Profil Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Tokoh NTT Pengawal Konstitusi
Pasalnya, Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, SH., M.Hum merupakan satu dari delapan hakim Konstiutsi atau hakim MK yang menyidangkan sengketa Pilpres
POS-KUPANG.COM - Wajah Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, S.H., M.Hum., alias Daniel Foekh belakangan kerap muncul di publik saat rangkaian sidang Perselisihan Hasil Pilpres 2024 yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi.
Pasalnya, dia merupakan satu dari delapan hakim Konstiutsi atau hakim MK yang menyidangkan sengketa Pilpres 2024.
Adapun pria kelahiran Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) 15 Desember 1964 itu dilantik menjadi hakim Konstitusi Republik Indonesia sejak 7 Januari 2020. Sebelumnya, suami dari Sumiaty itu merupakan akademisi yang mengajar di Universitas Atma Jaya Jakarta.
Baca juga: Profil Mayjen TNI Gabriel Lema, Tokoh NTT yang Bersinar di Militer, Anak Kolong yang Jadi Jenderal
Kehidupan
Dikutip dari Wikipedia, Daniel Foekh terlahir dari keluarga guru. Ayahnya adalah seorang guru dan penilik sekolah yang pernah bertugas di Kefamenanu dan Pulau Rote. Ia lulus dari SMA Negeri 1 Kupang pada tahun 1985.
Di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, Daniel pada awalnya memilih jurusan hukum perdata. Namun, terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengenai Peradilan Tata Usaha Negara membuat ia memilih jurusan hukum tata negara.
Di kampus, ia aktif di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), sampai menjabat sebagai Wakil Sekretaris Umum di PP GMKI. Ia lulus dengan gelar Sarjana Hukum pada tahun 1990.
Selepas sempat gagal menjadi wartawan dan bekerja sebagai karyawan swasta, Daniel memutuskan untuk melanjutkan studi magisternya dalam bidang hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pada saat berkuliah di UI, ia mewakili GMKI di forum Kelompok Cipayung dan Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia, yang terdiri atas aktivis-aktivis dari organisasi mahasiswa besar seperti GMKI, PMKRI, HMI, GMNI, dan PMII.
Kesibukan kuliahnya membuat ia meninggalkan dunia aktivisme. Ia lulus pada tahun 1998 dengan dibimbing Jimly Asshiddiqie, yang pada saat itu menjabat sebagai asisten Wakil Presiden B.J. Habibie dan kelak menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi yang pertama.
Ia kemudian melanjutkan studi doktoralnya di UI yang diselesaikannya pada tahun 2010.
Karier akademisi
Setelah menjadi dosen honorer di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, Daniel diterima menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta.
Di Atma Jaya, ia mengajar mata kuliah hukum tata negara, hukum tata negara darurat, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi. Ia juga pernah dipercaya menjadi Kepala Bagian Hukum Tata Negara dan Wakil Dekan Fakultas Hukum.
Sebagai akademisi, Daniel banyak meneliti tentang aspek darurat dalam hukum tata negara Indonesia dan tentang kekuasaan kepresidenan.
Tesis magisternya di UI berjudul "Pengaruh Kekuasaan Presiden terhadap Upaya Menegakkan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dalam Perspektif Yuridis-Politis: Suatu Analisis Lima Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945".
Sedangkan, disertasi doktoralnya berjudul "Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang: Suatu Kajian dari Perspektif Hukum Tata Negara Normal dan Hukum Tata Negara Darurat".
Selain itu, Daniel juga aktif di Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dan Asosiasi Pengajar Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK).
Hakim Konstitusi (2020-kini)
Pada tahun 2003, Daniel pernah mendaftar untuk menjadi hakim MK dari unsur pemerintah, namun gagal karena tidak memenuhi syarat.
Daniel kembali mendaftar menjadi calon hakim MK pada tahun 2019 untuk menggantikan I Dewa Gede Palguna yang telah akan habis masa jabatannya. Ia lolos menjadi salah satu dari delapan orang kandidat selepas seleksi administrasi dan tertulis pada bulan Desember 2019.
Bersama Komisioner Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan anggota Komisi Pemilihan Umum Ida Budhiati, Daniel menjadi salah satu dari tiga nama yang diajukan oleh panitia seleksi kepada Presiden.
Ia dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara bersama Suhartoyo pada 7 Januari 2020.
Pandangan hukum
Pada kontroversi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi bulan September 2019, Daniel berpandangan bahwa Presiden tidak perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh karena tidak adanya kegentingan yang memaksa.
Kehidupan pribadi
Dari pernikahannya dengan Daniel dikaruniai tiga orang anak. Selain di dunia hukum, Daniel aktif dalam beberapa organisasi dan lembaga sosial seperti Majelis Pendidikan Kristen, Yayasan Komunikasi Indonesia, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Gereja Protestan di Indonesia, dan di Komisi Hukum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Kontroversi
Sebagai salah satu Hakim MK yang menyidangkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia capres-cawapres, Daniel juga diperiksa oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Pemeriksaan Daniel berlangsung di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Kamis (2/11/2023).
Selain dirinya, ada enam hakim konstitusi yang juga menjalani sidang MKMK yakni Ketua MK Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Manahan MP Sitompul, dan Suhartoyo.
Mereka diperiksa terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi dalam putusan yang dibacakan pada 16 Oktober lalu, yakni putusan atas gugatan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017.
Adapun putusan itu memutuskan capres-cawapres usia di bawah 40 tahun bisa maju pilpres asalkan sudah punya pengalaman menjadi kepala daerah.
Bikin Buku Nikah Beda Agama
Daniel sebelumnya juga menyatakan sikap agar negara seharusnya hadir dalam kasus pernikahan beda agama. Sebab, dia menyebut banyak masyarakat yang melakukan pernikahan beda agama. Karenanya negara diminta tidak lepas tangan.
"Negara akan menjadi adil dan berlaku fair dengan memberikan tempat yang seharusnya terhadap berbagai keberagaman agama dan kepercayaan yang dianut oleh warga negara Indonesia," kata Daniel dalam concuring opinion putusan nikah beda agama Rabu (1/2/2023).
Permohonan itu diajukan oleh Ramos Petege, pemeluk Katolik yang tidak bisa menikahi pacarnya yang beragama Islam itu diputuskan pada Selasa (31/1/2023).
"Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, saya ingin menegaskan bahwa negara harus hadir terhadap persoalan ini, terutama terkait dalam pencatatan perkawinan warga negara," ucap Daniel. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.