Berita Jakarta

Masjid Lautze di Jakarta Surganya Warga Etnis Tionghoa Indonesia yang Memeluk Islam

Dikelilingi oleh ruko abu-abu biasa di Jalan Lautze yang ramai di Jakarta, bangunan dengan fasad kuning ini tampak menonjol.

Editor: Agustinus Sape
VOA/DEVIANTI FARIDZ DAN AHADIAN UTAMA
Masjid Lautze di antara pertokoan di Sawah Besar, Jakarta Pusat. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Dikelilingi oleh ruko abu-abu biasa di Jalan Lautze yang ramai di Jakarta, bangunan dengan fasad kuning ini tampak menonjol. Overhang berwarna merah menggemakan garis atap kuil tradisional Tiongkok, dan pintu kayu melengkung berwarna merah menandakan sambutan di dalam.

Jika dilihat sekilas, bangunan tersebut bisa saja dikira sebagai kuil Tionghoa. Dibangun pada tahun 1991 oleh Haji Junus Jahya, seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa, Masjid Lautze mewujudkan minatnya dalam mendorong asimilasi antara etnis Tionghoa dan komunitas Pribumi Melayu yang dikenal dengan sebutan Pribumi.

“Haji” menandakan bahwa dia melakukan ziarah ke Mekah, tempat kelahiran Nabi Muhammad, pendiri Islam.

MASJID LAUTZE_02
Umat ​​Islam menggelar diskusi sebelum menyampaikan khutbah di Masjid Lautze 16 Maret 2024, sebelum berbuka puasa di bulan Ramadhan.

Ustaz Naga Qiu – yang berarti Guru Islam “Naga” dalam Bahasa Indonesia – mengatakan bahwa masjid tersebut menempati tempat yang dulunya merupakan toko biasa yang ditempati oleh yayasan yang didirikan oleh Haji Karim Oei, seorang tokoh nasionalis etnis Tionghoa di Indonesia.

Karena Junus awalnya ingin orang Tionghoa berbaur dengan orang Indonesia lainnya, maka masjid pun berbaur dengan lingkungan sekitar. Namun pada tahun 2000, “setelah Presiden Abdurrahman Wahid memperkenalkan kesetaraan bagi warga Tionghoa di Indonesia, tampilan masjid mulai berubah,” kata Naga.

Hal ini juga mencerminkan bagaimana sikap Junus terhadap blending berubah sebelum kematiannya pada tahun 2011.

Hubungan yang tidak nyaman

Hubungan yang telah berlangsung selama berabad-abad antara masyarakat Indonesia dan negara tetangga Tiongkok mereka diwarnai dengan kekerasan.

Di bawah pemerintahan kolonial Belanda pada awal abad ke-17, Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda mempekerjakan ribuan buruh berupah rendah asal Tionghoa dan Melayu untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan.

Perusahaan seringkali memicu perpecahan di antara kelompok-kelompok tersebut agar mereka tidak bertindak bersama-sama melawan perusahaan dan memaksa orang Tionghoa untuk tinggal di wilayah yang terpisah.

Penyerangan terhadap properti milik pedagang Tionghoa dan pembunuhan massal terhadap etnis Tionghoa dimulai pada tahun 1740, ketika sekitar 10.000 orang tewas di Pulau Jawa.

Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1945, banyak etnis Tionghoa yang tidak dapat memperoleh kewarganegaraan dan dianggap lebih setia kepada Tiongkok. Ratusan orang terbunuh dalam pembersihan anti-Komunis pada tahun 1965 yang menyebabkan pemerintahan otoriter Presiden Soeharto.

Soeharto memaksa penduduk Tionghoa untuk menggunakan lebih banyak nama bergaya Indonesia dan membawa dokumen identitas, dan dia melarang karakter Tionghoa dan perayaan hari raya.

Selama krisis moneter (keuangan) tahun 1997-1998 yang akhirnya memaksa Soeharto mengundurkan diri, warga Tionghoa kembali menjadi sasaran kerusuhan di Jakarta karena dianggap kaya.

Meskipun Tahun Baru Imlek sekarang menjadi hari libur nasional, dan Konfusianisme adalah salah satu dari enam agama resmi di negara mayoritas Muslim tersebut, sentimen anti-Tionghoa masih tetap ada.

“Narasi anti-Tiongkok masih sangat hidup dan tersembunyi dan dapat digunakan untuk tujuan mobilisasi politik kapan pun keadaan politik mendukungnya,” Charlotte Setijadi, asisten profesor humaniora di Singapore Management University yang telah meneliti politik identitas Tionghoa-Indonesia, kepada Al Jazeera pada tahun 2023.

Hal ini membuat bangunan menonjol di Jalan Lautze ini semakin luar biasa, terutama saat hari libur seperti Ramadhan, saat lebih banyak orang berkunjung. Tahun ini di Indonesia, Ramadhan dimulai pada malam tanggal 11 Maret dan akan berakhir saat matahari terbenam pada tanggal 9 April.

Sejak didirikan, Masjid Lautze telah menjadi pusat bagi warga Tionghoa non-Muslim yang ingin belajar lebih banyak tentang Islam dari sesama etnis Tionghoa. Masjid ini mengadakan pertemuan mingguan di mana umat Islam baru dapat belajar bagaimana berwudhu dan shalat serta mempelajari Al-Quran.

Haji Muhammad Ali Karim Oei, putra Karim Oei dan kini ketua yayasan yang mengelola Masjid Lautze, mengatakan organisasi tersebut telah membangun masjid di Bandung dan tempat lain, serta di Jakarta, dan membantu lebih dari 1.800 warga etnis Tionghoa berpindah agama. kepada Islam.

“Semua masjid kami terletak di dekat komunitas Tionghoa atau Chinatown,” katanya. “Seperti kata pepatah, ‘Seseorang hanya dapat menangkap anak harimau dengan memasuki sarang harimau.’”

Masjid di Bandung, kota di Jawa Barat ini dibangun pada tahun 1997. Masjid ini juga menampilkan arsitektur bergaya China.

Awal pekan ini, Pj Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin melaksanakan salat Tarawih di Masjid Lautze 2.

Naga mengatakan sebagian besar non-Muslim yang datang ke Masjid Lautze Jakarta adalah pekerja perusahaan yang berencana menikahi perempuan Muslim.

Pengkhotbah Islam tersebut mengatakan bahwa banyak orang Tionghoa non-Muslim yang penasaran tentang bagaimana mereka dapat mempertahankan praktik budaya Tionghoa jika mereka berpindah agama.

“Kami berbagi tips praktis bagaimana mencegah terjadinya perselisihan antar anggota keluarga karena perbedaan keyakinan agama,” kata Naga.

Eko Tan, 67, seorang mualaf yang tinggal di Jakarta dan sering salat di Masjid Lautze, mengaku tumbuh sebagai seorang atheis. Islam menariknya pada apa yang menurutnya merupakan pendekatan logis terhadap iman.

Saat wawancara dengan VOA Indonesia, Eko, yang memiliki gelar sarjana psikologi, mengatakan kepada VOA Indonesia bahwa Masjid Lautze berafiliasi dengan organisasi Islam Muhammadiyah, “yang ajarannya menarik logika saya. Bagi saya, Alquran seperti buku tentang psikologi terapan.”

Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 merupakan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia.

Eko, seorang juru parkir, mengatakan sebagian besar masjid di Jakarta tidak memberikan pendampingan atau pelatihan bagi mualaf.

Dia menambahkan, dia menemukan kenyamanan menjadi bagian dari komunitas Muslim Tionghoa di Masjid Lautze.

Selama bulan Ramadhan, para mualaf dapat mengikuti khutbah singkat sebelum berbuka puasa di masjid dan dianjurkan untuk bergantian memimpin jamaah shalat Tarawih setiap malamnya.

“Hal ini dimaksudkan untuk melatih para laki-laki agar lebih percaya diri dalam memimpin salat berjamaah bersama keluarganya,” kata Naga.

(voanews.com)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved