Liputan Khusus
News Analisis Pembayaran Restitusi Korban TPPO di NTT, Pengamat: Solusi Kolaboratif
Sebab, menurut dia, kasus TPPO di NTT khususnya dan Indonesia pada umumnya itu sudah masuk dalam kategori darurat. Karena itu, wajib hukumnya ditindak
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Ketua Dewan Pembina PADMA Indonesia, Gabriel Goa menyebut bahwa maraknya kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang terjadi di wilayah NTT membuatnya prihatin. Untuk mencegah kasus kasus itu terulang makan butuh solusi kolaboratif.
"Selaku Ketua Dewan Pembina Lembaga Hukum dan Ham Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (PADMA Indonesia), saya sangat prihatin terhadap maraknya kasus TPPO di NTT. Untuk mencegahnya butuh solusi kolaboratif," kata Gabriel Goa.
Sebab, menurut dia, kasus TPPO di NTT khususnya dan Indonesia pada umumnya itu sudah masuk dalam kategori darurat. Karena itu, wajib hukumnya ditindaklanjuti oleh Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode 2024 - 2029 mendatang.
Baca juga: Lipsus - Bersama Perangi TPPO di Flores Timur
"Langkah solusi yang mesti dilakukan ada beberapa. Pertama, penerbitan PP Justice Collaborator TPPO. Kedua, pembentukan Badan Nasional Penanggulangan TPPO," terang Gabriel.
BNP TPPO, kata dia, diberi tanggung jawab atau tupoksi untuk melakukan sejumlah hal seperti sosialiasi secara sistemik dan masif pencegahan human trafficking mulai dari desa melalui program GEMA HATI MIA atau Gerakan Masyarakat Anti Human Trafficking dan Migrasi Aman.
Menyelamatan korban TPPO di Rumah Asa Indonesia (milik BNP TPPO), Pendampingan psikologis korban, Pendampingan kesehatan, Pendampingan rohanim. Juga melakukan program integrasi sesuai minat dan bakat korban TPPO, Pendampingan hukum APH bekerjasama LPSK untuk mendapatkan hak restitusi dan hak-hak lainnya, Program reintegrasi.
Selain itu BNP TPPO juga mesti melakukan persiapan korban menjadi penyintas untuk sosialisasi pencegahan human trafficking berdasarkan sharing pengalaman. Serta Persiapan korban menjadi pendamping bagi korban TPPO dan instruktur pelatihan kompetensi bagi korban TPPO.
"Harapannya, aparat penegak hukum, mulai dari Polisi, Jaksa hingga Hakim bisa berkomitmen untuk meminimalisir terjadinya kasus TPPO dengan cara, menerapkan pasal yang tepat dan penjatuhan hukuman yang pantas bagi pelaku. Termasuk memberikan restitusi ganti rugi bagi korban dan atau keluarganya," pungkas Gabriel.
Perjuangan tak sia-sia
Perjuangan menuntut keadilan selama enam tahun yang dilakukan MSW alias Santi, korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), asal Kelurahan Mbay II, Kabupaten Nagekeo, Provinsi NTT, Tidak sia-sia. Santi menerima restitusi atau ganti kerugian dari dua pelaku TPPO, Eustakius Rela (59) dan Stanislaus Mamis (66) bertempat di Kejari Bajawa.
Restitusi dalam konteks hukum merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga kepada korban atau keluarganya.
Penyerahan restitusi itu dilakukan secara simbolis oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Ngada, Yoni Pristiawan Artanto bersama Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo, awal Februari lalu.
Saat itu Santi hadir berama pendampingnya, Veronika Aja, dari pihak Kelompok Kerja (Pokja) Menentang Perdagangan Manusia (MPM). Restitusi itu diajukan oleh korban Maria melalui LPSK dan diteruskan JPU Kejari Ngada dalam sidang di PN Bajawa.
Permohonan restitusi terhadap dua pelaku Eustakius dan Stanislaus itu dikabulkan oleh majelis hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Bajawa dalam Surat Putusan PN Bajawa, Nomor 45/Pid.Sus/PN Bajawa, tanggal 20 Desember 2023.
Eustakius selaku penampung dan Stanislaus selaku perekrut didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Amar putusan menyatakan dua pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pengangkutan, penampungan, pengiriman dan pemindahan seseorang posisi rentan walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain yang berakibat tereksploitasinya orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.
Selain menanggung restitusi, keduanya mendapat hukuman penjara di Rutan Bajawa selama 4 tahun 8 bulan untuk Eustakius dan denda Rp 120.000.000. Sementara terdakwa Stanislaus dihukum selama 4 tahun 2 bulan penjara, denda Rp 120.000.000.
Kajari Yoni menjelaskan, restitusi yang seharusnya dibayarkan Eustakius dan Stanislaus kepada korban sebesar Rp 47.700.000 namun baru dibayar (cicil) oleh pelaku sebesar Rp 15.000.000. Restitusi itu telah ditransfer pihak keluarga pelaku ke rekening bank Maria SW sejak Rabu (31/1) lalu.
"Untuk kekurangannya (Rp 32.700.000), para terdakwa menyatakan sanggup mengangsur. Dan kita buatkan pernyataan, nanti akan ditandatangani tim Jaksa Penuntut Umum, disaksikan pihak LPSK dan pihak terdakwa," ujar Kajari, sambil menujukan bukti transfer berupa rekening koran bank korban Maria SW.
Menurut Kajari Yoni, restitusi kepada korban TPPO ini adalah restitusi perdana di Ngada dan di Provinsi NTT. Oleh karena itu pihaknya mengapresiasi LPSK dan Jaksa yang telah memproses restitusi tersebut. JPU Hana Anggri Ayu juga telah bekerja maksimal.
"Keberhasilan dari restitusi ini tidak lepas dari kegigihan seorang JPU. Ini perempuan. Satunya-satunya jaksa perempuan di Ngada. Dia sangat intens membangun komunikasi, memperjuangkan restitusi ini," ujar Kajari Yoni.
Kajari Yoni mengatakan, sebagai jaksa yang berhasil menangani restitusi pertama di NTT itu, Hana telah bekerja maksimal. Namun, Kejari Ngada akan 'kehilangan' Hana, karena Hama sudah mendapat SK pindah ke Kejaksaan Agung, menjadi Asisten Khusus Jaksa Agung.
Usai menerima restitusi, Santi mengaku sangat terharu karena hal ini membuktikan bahwa proses hukum telah berjalan baik.
"Perjalanan perjuangan saya selama 6 tahun sejak laporkan kasus ke Polres Ngada tahun 2018 tidak sia-sia. Terimakasih LPSK dan semua yang sudah bantu saya," kata Santi, didampingi Veronika. Maria tidak lancar berbahasa Indonesia karena itu diterjemahkan oleh Veronika.
Menurut Santi, uang restitusi dari pelaku tidak bisa mengganti kerugian fisik dan psikis yang dialaminya. Namun Santi tetap bersyukur karena proses hukum dan keadilan untuknya telah berjalan, pelaku sudah dihukum. Uang restitusi yang diperolehnya itu, akan digunakan Santi sebagai investasi masa depan anaknya.
Santi mengisahkan kasusnya. Menurutnya, pada Juli 2015 silam, dia baru berusia 17 tahun dan dengan berat hati meninggalkan kampung halamannya, Nila. Dia 'didesak' pergi ke Ende oleh pelaku Rela oleh Mamis, yang masih tergolong keluarganya sendiri.
Santi tidak bisa menolak bisa berbuat apa-apa. Ibunnya, Hermina Toyo pun hanya bisa menangis melihat putrinya pergi dibonceng Rela dengan sepeda motor. "Waktu itu mama lihat saya, mama hanya menangis," kenang Santi.
Sebelumnya, Rela dan Mamis melakukan pendekatan dengan Hermina dan membujuk Hermina agar Santi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, dengan gaji Rp 1.500.000 per bulan. Hermina yang sedang dililit persoalan ekonomi pun menyetujui anaknya bekerja kesana.
Santi adalah anak kedua dari lima bersaudara. Selama itu ibunya berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sebab ayah mereka telah meninggal dunia.
Santi pergi hanya membawa sebuah kresek berisi dua helai baju miliknya. "Om Eus (sapaan akrab Eustakius Rela) waktu itu bilang sampai di Ende baru dia (Eus) yang beli baju. Tapi sudah di Ende juga, dia tidak beli," tuturnya.
Di Ende, Santi disuruh tinggal di sebuah kosa bersama dengan beberapa calon tenaga kerja lainnya. Santi lupa berapa orang. Setelah dua malam disana, mereka diberangkatkan ke Jakarta dengan KM Awu melalui Pelabuhan Ende. Tiba di Jakarta Santi, Cs tinggal di sebuah kos milik Rela selama dua minggu sebelum satu per satu dari mereka diantar ke rumah majikan masing-masing. Dalam rentang waktu 2015- hingga September 2017, Santi bekerja pada tiga majikan berbeda sebagai pembantu rumah tangga tanpa digaji.
Santi berhasil kabur dari rumah majikan pada September 2017. "Saya kabur karena majikan marah. Waktu itu saya lari (kabur) dalam kondisi lapar dan tidak bawa pakaian. Saya lari saja tidak tau kemana," ujar Santi.
Santi yang dalam kondisi lapar dan tak tau arah, terjaring razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Santi dikira gelandangan. Santi lalu dibawa ke penampungan orang dengan gangguan jiwa dan tinggal di sana selama dua bulan.
Selanjutnya Santi dibawa ke Dinas Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta. Kemudian Santi akhirnya pulang ke kampung halamannya setelah 'ditemukan' oleh Veronika Aja yang di sela-sela kesibukannya mengerjakan tesis kuliah, tidak sengaja menemukan sebuah postingan di facebook yang menerangkan bahwa Santi sedang ditampung di Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta.
Veronika dari Pokja MPM langsung berkoordinasi dengan rekannya berupaya memulangkan Santi ke Nagekeo. Dari Dinas Sosial, Pokja MPM membawa Santi ke Susteran Gembala Baik di Jakarta untuk rehabilitasi selama tiga minggu. Selanjutnya pada Januari 2018 Pokja membawa pulang Santi ke Nagekeo.
Pojka MPM kemudian membuat laporan kepada Polres Ngada (Karena Polres Nagekeo belum terbentuk) atas dugaan TPPO terhadap Santi.
Proses kasus ini di tangan Polisi memakan waktu yang cukup lama, sekitar enam tahun. Barulah pada tanggal 26 Juli 2023, kasus ini masuk tahap II dengan penyerahan dua tersangka dan barang bukti kepada Kejari Ngada.
Kapolres Ngada, AKBP Padmo Arianto menerangkan, Polres Ngada baru mulai fokus menangani kasus ini tahun 2020 karena pada tahun 2018 masih dalam proses pembentukan Polres Nagekeo yang sebelumnya masuk Wilayah Hukum Polres Ngada.
Kedepan, Veronika mengatakan, pihaknya akan terus memberikan pendapingan pemberdayaan kepada Santi agar bisa menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Uang restitusi itu akan digunakan Santi sebagai investasi untuk masa depan anaknya.
Koordinator Pelaksana Pojka MPM, Greg R. Daeng, mengatakan, lamanya proses hukum kasus TPPO Santi ini memberikan refleksi untuk semua pihak. "Pembuktian memiliki tantangan tersendiri, juga tentang komitmen APH dalam memberikan atensi serius kepada kasus TPPO," kata Greg.
Pojka MPM mendesak kepada seluruh jajaran APH di NTT, termasuk di wilayah kerja Kabupaten Ngada untuk lebih serius melakukan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan manusia yang sudah menjadi fenomena serius di NTT.
"APH harus memberikan kesempatan Justice Collaborator kepada para pelaku TPPO, agar peluang membongkar jaringan/sindikat trafficking in person di NTT dapat diberangus sampe ke akar-akarnya," kata Greg.
Greg berharap, kasus Sati menjadi rujukan bahwa korban tidak hanya memperoleh keadilan dengan keputusan hakim yang menhukum pelaku dalam penjara, tetapi juga hak-hak korban ikut terjamin melalui fasilitasi negara.
Pelaku Komit Lunasi Restitusi
Atas seijin Kepala Rutan Bajawa, Agung Wibowo, satu dari terpidana kasus TPPO, Eustakius Rela, bersedia diwawancarai di Rutan Bajawa. Eustakius yang adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Ende itu menyambut ramah kehadiran wartawan.
Terkait dengan pemberian restitusi atau ganti rugi yang dibeirkan pelaku terhadap korban, Eustakius menjelaskan, sebenarnya sudah lama keluarganya menyiapkan uang restitusi senilai Rp 47.700.000. Uang itu sudah disiapkan untuk diserahkan usai sidang putusan di PN Bajawa tahun 2023 lalu.
Namun karena penyerahan uang itu ditunda maka, uang tersebut kemudian dipergunakan oleh istrinya untuk membiayai kebutuhan keluarga dan membiayai kuliah anaknya. Namun kini, sebagian dari uang restitusi itu yakni Rp 15.000.000 sudah diserahkan oleh keluarganya kepada korban, Kamis (1/2) di Kejari Ngada.
Eustakius mengaku, belum lega sebab tanggung jawabnya untuk menyerahkan restitusi sebesar Rp 47.700.000 belum sepenuhnya bisa dipenuhi. Namun Rela berjanji akan memenuhi tanggungjawabnya untuk membayar lunas uang restitusi itu kepada korban. Eustakius juga menyesali perbuatannya itu. "Pada dasarnya saya tetap berkomitmen untuk bertanggungjawab. Itu komitmen saya," kata Eustakius.
Eustakius menegaskan, sebagai warga negara dia akan taat hukum dan akan memenuhi kewajibannya itu. "Sebetulnya suatu pertanyaan apa sih yang saya buat selama hidup? Inilah jalan hidup saya. Saya sebagai warga negara berusaha untuk taat hukum. Dan, sebagai orang beriman, mungkin inilah yang bisa saya lakukan untuk sesama saya," imbuhnya. (orc)
Ikuti news analisys Lipsus POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.