Opini

Mengenang Gus Dur Sang Pemersatu Bangsa

Suatu saat di masa lalu kita semua pernah kehilangan seorang pemimpin. Dia tokoh perdamaian dunia dan pemersatu bangsa.

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS / TOTOK WIJAYANTO
Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mendengarkan pertanyaan wartawan saat menyampaikan "Catatan Kritis Akhir Tahun" di Jakarta, Selasa (26/12/2006). 

Oleh: Theodorus Widodo
Ketua FPK NTT dan Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa NTT

POS-KUPANG.COM - Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari upaya melawan lupa. Sekaligus kado akhir tahun bagi orang yang kita cintai.

Di tengah hiruk pikuknya pemilu, terutama pemilihan presiden yang kembali sedang membelah negeri, kita perlu mengenang seseorang yang bisa menyadarkan kita semua.

Bahwa adab bangsa yang luhur perlu terus dijaga. Bahwa semangat persatuan dan kesatuan yang membuat Indonesia ada dan jadi bagian dari peradaban luhur itu harus jadi yang pertama dan utama di atas segala galanya.

Suatu saat di masa lalu kita semua pernah kehilangan seorang pemimpin. Dia tokoh perdamaian dunia dan pemersatu bangsa. Empat belas tahun sudah waktu itu berlalu. Dia pergi meninggalkan duka mendalam bagi kita semua.

Namun jejak yang ia tinggalkan di buku sejarah akan tetap bertuliskan tinta emas. Dan ini tidak boleh dilupakan. Ia tidak boleh pupus dari memori kolektif kita sebagai bangsa besar yang pernah dituntunnya melewati masa masa yang teramat sulit.

Hari itu, 30 Desember 2009. Musim hujan baru saja tiba. Bunga flamboyan bersemi di seantero kota. Jagat pertiwi tiba-tiba bermuram durja. Berita datang dari Jakarta. Gus Dur berpulang.

Banyak yang tidak percaya. Atau lebih tepat tidak mau percaya karena tidak rela. Padahal mereka tahu. Gus Dur belakangan memang sakit-sakitan.

Gema bacaan tahlil yang menyatakan keesaan Allah dan pengakuan atas kerasulan Muhammad SAW pun menggema dari lorong Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Gema tahlil ini sekaligus memastikan benar sang pejuang kemanusiaan sejati dan tokoh pemersatu bangsa telah berpulang. Apa mau dikata.

Banyak yang menangis. Banyak yang tiba-tiba terdiam menatap tubuh yang terbaring kaku di depan mereka. Banyak pula yang pulang untuk menyiapkan perangkat sembahyang untuk mendoakan keselamatan bagi tokoh yang mereka cintai.

Tapi tak kurang pula banyak yang tetap tinggal di tempat tidak ingin beranjak pulang. Baik itu yang ada di dalam rumah sakit maupun yang di luar.

Mereka menanti keranda jenazah lewat. Bukan hanya untuk mengucapkan selamat jalan kepada sang guru bangsa. Tapi lebih daripada itu. Menyentuh jasad tokoh yang mereka cintai. Yang saat itu telah terbujur diam tanpa mampu berkata kata lagi memberi nasehat.

Sang teladan yang diangkat untuk memimpin negeri di masa sulit, tapi dijatuhkan dengan cara yang tidak fair ini telah pergi untuk selamanya. Menghadap Sang Khalik pemilik kehidupan.

Empat belas tahun sudah waktu itu berlalu. Memang bukan waktu yang singkat. Tapi kita toh tetap tidak boleh melupakannya. Presiden yang selalu enteng dalam segala hal dengan diksi "gitu aja kok repot".

Presiden yang terusir dari istana atas isu tidak jelas Bruneigate dan Buloggate yang tidak bisa dibuktikan sampai sekarang. Atau memang tidak perlu lagi dibuktikan karena syahwat para elit sudah terpenuhi.

Presiden yang keluar dari istana santai saja sambil melambaikan tangannya kepada Indonesia dengan hanya bersarung dan bersandal jepit. Seolah mau mengatakan kepada semua orang terutama kepada para pendukungnya.

Kalian cukup sampai di sini saja. Jabatan bagi saya tidak ada apa apanya. Persatuan bangsa harus jadi yang utama.

Jejak sejarah, terutama pelajaran berharga yang ia tinggalkan bagi bangsa yang ia cintai ini harus selalu diingat agar jadi pedoman kita dalam menggapai cita-cita luhur para pendiri bangsa.

Ini adalah pelajaran paling mendasar yang jadi salah satu legacy beliau dan perlu kita sadari sebagai refleksi akhir tahun.

Arti penting semangat persatuan dan kesatuan bangsa atas dasar Ketuhanan yang maha esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ini juga bagian dari nilai luhur bangsa yang ada dalam Pancasila, dasar falsafah dan ideologi bangsa yang sudah menjaga Indonesia tetap utuh sampai sekarang.

Bagi Gus Dur, nilai persatuan ini sangat penting, walaupun tidak kalah penting dari nilai lain dalam Pancasila yang semuanya saling mendasari.

Nilai-nilai luhur bangsa ini harus dijaga dan dipraktikkan. Ia harus jadi pedoman hidup bersama dan bersesama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demi Indonesia jaya. Demi Indonesia emas 2045.

Lalu apa hubungannya dengan Pemilu terutama Pilpres yang sedang berproses saat ini? Apa hubungannya dengan ritual lima tahunan memilih wakil rakyat dan pemimpin negeri yang sedang berlangsung?

Kita harus sadar bahwa pesta demokrasi ini selalu membelah negeri. Pemilihan presiden-wakil presiden selalu menimbulkan keterbelahan di kalangan akar rumput. Padahal ini sebenarnya hanya ritual demokrasi biasa. Presiden bukan segala galanya yang menentukan mati hidup bangsa.

Presiden di Republik ini tidak punya kuasa mutlak. Ketika jadi presiden nanti dia harus ajak semua elite parpol bergabung dalam kabinet. Termasuk parpol koalisi lawannya dalam pilpres.Sebagian besar parpol juga ada di DPR. Hampir semua kebijakan harus atas persetujuan lembaga legislatif ini sebagai lembaga tinggi negara yang jadi mitranya.

Maka tidak ada pilihan lain. Siapapun yang memerintah jika tidak ingin diganggu terus harus melibatkan semua partai politik.

Maka di antara kita rakyat biasa ini tidak perlu ngotot yang akhirnya bisa menimbulkan konflik. Jangan pakai negative campaign.

Jangqn mengolok-olok paslon lawan. Jangan sebar berita bohong dan ujaran kebencian yang bisa bikin diri sendiri celaka karena melanggar Undang Undang ITE.

Siapapun presidennya kita tetap jadi rakyat biasa yang harus kerja keras menghidupi keluarga. Karena itu mari bung. Kita santai saja. Biarkan mereka, para elite dengan cara masing-masing berupaya keras memenangkan paslonnya.

Kita jadi penonton yang manis sambil sesekali perlu tepuk tangan beri semangat jagoan kita. Suruh mereka gas poll. Jangan loyo.

Tapi kalau mau ikutan main, jadilah pemain yang tahu aturan. Jangan juga merangkap jadi wasit karena wasitnya sudah ada. Percayakan saja kepada mereka. Tidak ada yang lebih penting di negeri ini selain persatuan dan kesatuan bangsa. Ini pesan Gus Dur. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved