Pemilu 2024

Pemilu 2024, Bawaslu Timor Tengah Selatan Ingatkan Netralitas Aparatur Sipil Negara

dugaan pelanggaran netralitas ASN biasanya bersumber dari dua hal, yaitu temuan lapangan dan laporan atau pengaduan yang masuk ke Bawaslu. 

Penulis: Adrianus Dini | Editor: Rosalina Woso
POS KUPANG.COM/ADRIANUS DINI
RAKOR - Suasana Rapat Koordinasi Netralitas Aparatur Sipil Negara atau ASN pada Pemilu 2024 di Sekretariat Bawaslu TTS, Rabu, 25 Oktober 2023. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Adrianus Dini

POS-KUPANG.COM, SOE - Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu Timor Tengah Selatan mengingatkan Aparatur Sipil Negara lingkup Pemda Timor Tengah Selatan terkait netralitas dalam perhelatan Pemilu 2024.

Hal tersebut terungkap pada Rapat Koordinasi Netralitas Aparatur Sipil Negara atau ASN pada Pemilu 2024 di Sekretariat Bawaslu Timor Tengah Selatan, Rabu, 25 Oktober 2023.

Hadir sebagai pemateri pada kesempatan ini, Sekda Kabupaten Timor Tengah Selatan, Drs. Seperius Edison Sipa, M.Si dan Ketua Bawaslu Timor Tengah Selatan, Desi Nomleni.

Turut hadir dalam rapat koordinasi netralitas ASN tersebut para komisoner Bawaslu di antaranya Aryandi A. Amiruddin, ST, Longginus Ulan, SS, Dedan M. Aty, S.Pd, Ridwan Tapatfeto, SH dan para pimpinan OPD lingkup Pemda Timor Tengah Selatan.

Baca juga: KPU Rote Ndao Sosialisasi PKPU tentang Kampanye dan Dana Kampanye Pemilu 2024

Ketua Bawaslu Timor Tengah Selatan, Desi Nomleni menerangkan Aparatur Sipil Negara adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Dikatakan, ASN disebut netral ketika bekerja secara adil, obyektif, tidak bias dan tidak berpihak pada siapapun, tidak hanya dalam politik, tetapi juga dalam pelayanan publik (tidak diskriminatif) pembuatan kebijakan (tidak berpihak pada kelompok tertentu), dan manajemen ASN (menerapkan sistem merit).

Netralitas Pegawai ASN kata Desi, dapat menjadi objek pengawasan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam hal tindakan Pegawai ASN berpotensi melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu dan/atau Pemilihan serta melanggar kode etik dan/atau disiplin masing-masing lembaga/instansi.

"Pengawas Pemilu melakukan pengawasan Netralitas Pegawai ASN, terhadap: Keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu selama masa Kampanye, dan Kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye, meliputi: pertemuan; ajakan; imbauan; seruan; atau pemberian barang, kepada Pegawai ASN, dalam lingkungan unit kerjanya, keluarga, dan masyarakat," bebernya. 

Disampaikan, dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran netralitas ASN biasanya bersumber dari dua hal, yaitu temuan lapangan dan laporan atau pengaduan yang masuk ke Bawaslu. 

"Jika kita temukan langsung di lapangan, biasanya kita ingatkan agar ASN harus tetap netral. Namun tak jarang ada oknum ASN yang keras kepala sehingga kita proses lanjut. Kalau sumbernya dari laporan masyarakat, jika memenuhi syarat pasti kita proses hingga tuntas," imbuhnya. 

Ketidaknetralan ASN menurut Desi disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

Pertama motif mendapatkan/ mempertahankan jabatan, bahwa patronase politik terjadi karena Kepala Daerah adalah pejabat politik yang sekaligus menjabat sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). 

"PPK memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam mempromosikan, memutasi, mendemosi pegawai ASN. Hal ini mengakibatkan pegawai ASN dalam situasi dilematis. Di satu sisi, mereka harus bersikap netral dalam arti tidak menunjukkan keberpihakan terhadap kepala daerah yang meminta dukungan pada saat pelaksanaan Pilkada, di sisi lain, karier mereka berada di tangan kepala daerah," terangnya.

Kedua, adanya hubungan primordial, bahwa pelanggaran ASN terhadap asas netralitas juga dipicu oleh hubungan kekeluargaan, kesamaan asal usul, suku, keturunan, ras dan agama dengan pejabat politik, baik hubungan di dalam organisasi maupun di luar organisasi yang mengganggu profesionalisme dalam menjalankan tugas. 

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved