Pilpres 2024

Pasca Putusan Gugatan Usia Capres-Cawapres, TPDI Akan Laporkan Ketua MK anwar Usman Ke KPK

Laporan terhadap Anwar Usman itu rencananya akan dilakukan pada Senin (23/10/2023) siang ini. 

Penulis: Ryan Nong | Editor: Ryan Nong
TANGKAPAN LAYAR
Ketua Mahkaman Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan sidang gugatan batas usia capres dan cawapres di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). 

Guntur menyampaikan andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubemur, Bupati, dan Walikota) tidak serta-merta seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sebab, masih terdapat dua syarat konstitusional yang harus dilalui yakni syarat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai dan syarat dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga, meskipun seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara, namun tidak diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka sudah tentu tidak dapat menjadi calon Presiden daniatau Wakil Presiden.

Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat konstitusional berikutnya, yaitu Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Oleh karena itu, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia minimal 40 (empat puluh) tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.

“Sedangkan, bagi bakal calon yang berusia di bawah 40 tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden sepanjang memiliki pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu in casu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, atau Walikota, namun tidak termasuk pejabat yang ditunjuk (appointed officials), seperti penjabat atau pelaksana tugas dan sejenisnya. Bagi pejabat appointed officials semata, dapat diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden melalui pintu masuk yaitu berusia 40 tahun,” ujar Guntur.

Dua Pintu Masuk

Guntur melanjutkan, menurut Mahkamah, meskipun terdapat syarat alternatif berupa pengalaman pemah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu (elected officials) bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia di bawah 40 tahun, syarat tersebut tidak akan merugikan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia 40 tahun ke atas.

Karena, syarat usia dalam kandidasi Presiden dan Wakil Presiden harus didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel. Sehubungan dengan hal tersebut. penting bagi Mahkamah untuk memastikan kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa terhalangi oleh syarat usia 40 (empat puluh) tahun semata.

“Oleh karena itu, terdapat dua ‘pintu masuk’ dari segi syarat usia pada norma Pasal 169 huruf q UU7/2017, yaitu berusia 40 tahun atau pemahisedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu. Pemenuhan terhadap salah satu dari dua syarat tersebut adalah valid dan konstitusional Syahdan, "idu geni" istilah yang acapkali disematkan pada putusan Mahkamah telah ditorehkan sebagaimana termaktub dalam amar dan pertimbangan hukum putusan ini. Artinya, melalui putusan a quo Mahkamah sejatinya hendak menyatakan bahwa dalam perkara a quo yakni dalam kaitannya dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden, prinsip memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan harus diterapkan dengan jalan membuka ruang kontestasi yang lebih luas, adil, rasional, dan akuntabel kepada putera-puteri terbaik bangsa, termasuk generasi milenial sekaligus memberi bobot kepastian hukum yang adil dalam bingkai konstitusi yang hidup (living constitution). Dengan demikian apabila salah satu dari dua syarat tersebut terpenuhi, maka seorang Warga Negara Indonesia harus dipandang memenuhi syarat usia untuk diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden,” tandas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makassar tersebut.

Guntur melanjutkan, berkenaan dengan petitum Pemohon yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu  atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota. Terhadap hal tersebut, Mahkamah menilai meskipun serangkaian pertimbangan hukum Mahkamah di atas berkesesuaian dan dapat menjawab isu yang dikemukakan Pemohon, namun pemaknaan yang tepat untuk mewujudkan pokok pertimbangan hukum tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan mengikuti rumusan pemaknaan yang dikehendaki oleh Pemohon. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan petitum Pemohon pada petitum pilihan pengganti yaitu "ex aequo et bono" yang tertera dalam petitum permohonan Pemohon, serta demi memenuhi kepastian hukum yang adil, maka menurut Mahkamah pemaknaan yang tepat untuk rumusan norma a quo adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemahsedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Dengan demikian, sambung Guntur, karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan daerah". Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya. Hal ini penting ditegaskan Mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan Pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo.

Oleh karena itu, jelas Guntur, terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Artinya, putusan a quo serta merta mengesampingkan putusan sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Dengan demikian, tafsir konstitusional dalam putusan a quo mengesampingkan putusan yang dibacakan sebelumnya dalam isu konstitusional yang sama, dan putusan a quo selanjutnya menjadi landasan konstitusional baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berlaku sejak putusan ini selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut diatas, ternyata norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah jelas menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 haruslah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak memenuhi pemaknaan yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo. Dengan demikian, pemaknaan Mahkamah tersebut tidak sepenuhnya mengabulkan permohonan Pemohon secara keseluruhan, sehingga permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandas Guntur.

Seharusnya Ditolak

Dalam Putusan tersebut, tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dan dua hakim konstitusi menyatakan alasan berbeda (concurring opinion). Tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Ketiganya menilai seharusnya Mahkamah menolak permohoan Pemohon.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved