Berita Nasional

30 Perempuan di Semarang dijual Pasangan Jadi PSK, Ada yang Sedang Hamil 7 Bulan

Perempuan itu dipaksa untuk menjual dirinya kepada lelaki melalui berbagi aplikasi online.

Editor: Ryan Nong
BANJARMASINPOST/AHMAD RIZKI ABDUL GANI
Perempuan 21 tahun yang sedang hamil terjaring razia pekerja seks komersial (PSK) 

POS-KUPANG.COM, SEMARANG - Sebanyak 30 orang perempuan di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng) dijual pasangannya untuk menjadi pekerja seks komersil (PSK) atau pekerja seks perempuan (PSP). 

Perempuan itu dipaksa untuk menjual dirinya kepada lelaki melalui berbagi aplikasi online.

Satu diantara 30 perempuan itu bahkan tetap dipaksa menjadi PSK meski dalam kondisi hamil besar dengan usia kandungan 7 bulan.

Data Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) menyebut jumlah itu yang mereka dapatkan dalam kurun enam bulan terakhir.   

Baca juga: Terjaring Operasi, Dua Pria di Semarang Jual Istri Sebagai PSK

"Iya, ada kasus itu, total 30 orang yang kami data di 6 bulan ini. Satu di antaranya ibu hamil 29 Minggu (7 bulan) jadi PSP di kawasan karaoke Kota Semarang," kata Paralegal Officer SPEK-HAM, Nurul Safaatun, dikutip dari Kompas.com Minggu (25/6/2023).

Nurul mengatakan, korban dipaksa melayani pelanggan, bila tidak, dia akan dihajar oleh pasangannya. Bahkan, perut korban yang tengah hamil itu pun pernah ditendang pelaku.

"Korban takut melapor, hanya terdokumentasikan saja," ujar Nurul.

Selain itu, dia menambahkan, ada juga korban yang harus tetap melayani empat pria pada hari yang sama meski tubuhnya telah lelah.

"Korban sudah konfirmasi capek tetapi si pacar menargetkan harus mendapatkan uang sekian sehingga harus dilayani," ucap Nurul.

Baca juga: Ngeri, Anggota Polisi di Pamekasan Jual Istri Ke Sesama Polisi, Sudah Berlangsung Sejak 2015

Nurul menilai, PSP termasuk dalam kelompok rentan kekerasan namun para korbannya tak berani melaporkan situasi yang dihadapinya.

"Kami edukasi dan motivasi tapi tetap tidak berani melapor dengan beberapa pertimbangan," ungkapnya.

Adapun beberapa pertimbangan itu, dia menjelaskan, polisi maupun dokter masih menormalisasi laporan atau hasil visum mereka karena dianggap sebagai risiko pekerjaan.

"Padahal mereka tidak memiliki cita-cita menjadi PSP," tutur Nurul.

Selanjutnya, Nurul melanjutkan, sebagian dari mereka masih bergantung kepada pasangannya. "Ada yang tak mau melapor karena alasan keselamatan anak," jelasnya.

Nurul pun memastikan bahwa pihaknya akan terus memantau kondisi PSP sembari terus mendorong agar mereka mau melaporkan kekerasan yang dialaminya.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved