Opini

Opini Ismail Sulaiman: Bersama BRIN Menenun Pengetahuan Lokal

Selain itu masih rendahnya kepedulian anak bangsa dalam merawat dan memupuk pengetahuan lokal yang merupakan potensi dasar pemersatu bangsa.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-HUMAS PEMKAB LEMBATA
Foto ilustrasi tarian dolo-dolo saat event Rally Wisata Bahari di Kabupaten Lembata beberapa waktu lalu. Sementara Ismail Sulaimanmenulis opini tentang Bersama BRIN Menenun Pengetahuan Lokal. 

POS-KUPANG.COM - Tidak dapat dipungkiri bahwa keragaman budaya Indonesia saat ini belum terhimpun secara utuh. Hal ini dikarenakan masih banyak di antara kita merasa enggan menghimpunnya.

Selain itu masih rendahnya kepedulian anak bangsa dalam merawat dan memupuk pengetahuan lokal yang merupakan potensi dasar pemersatu bangsa.

Pada hal dengan merawat dan memupuk semua pengetahuan lokal yang ada di negeri ini dapat berfungsi sebagai penentu keberlanjutan identitas asli suatu komunitas, menjamin keberlanjutan hidup dan menyuburkan semangat toleransi antarumat beragama.

Pada tanggal 03/04/2023, Kompas.com memberitakan “Tak Kantongi Izin, Bangunan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Purwakarta di Desa Cigelam, Kecamatan Babakancikao, Disegel Pemerintah Kabupaten Purwakarta.

Menurut Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika, tindakannya sudah sesuai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadah. Bangunan yang digunakan untuk beribadah jemaat GKPS tak kantongi izin.

Baca juga: Opini Reinard L Meo: Peristiwa Abu Dhabi dan Dialog dari Hati ke Hati

Apapun argumentasi yang disampaikan Anne Ratna Mustika, tindakan penyegelan GKPS sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila dan mengangkangi semangat toleransi yang dikotbahkan setiap saat diberbagai mimbar agama maupun pemerintah pusat dan daerah.

Soal belum adanya izin bangunan GKPS mestinya difasilitasi dan dipercepat urusannya. Toh bangunan tersebut untuk beribadah dan kegiatan sosial keagamaan lainnya.

Di sinilah letak kesenjangan yang harus menjadi tanggung jawab kita bersama. Di satu sisi para pejabat di pusat maupun daerah berteriak tiap saat menjaga dan merawat kerukunan antar umat beragama di negeri ini. Di sisi lain masih ada oknum pejabat dan bahkan masih banyak di antara kita yang berprilaku intoleran.

Tidak bermaksud menyudutkan siapapun tulisan ini sekadar berbagi infomasi tentang kehidupan masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Begitu indahnya toleransi di sana, di mana setiap momentum pembangunan rumah ibadah satu agama pasti dan wajib bergotong royong oleh semua masyarakat dari agama lain.

Begitupun hari raya Idul Fitri, Idul Adha maupun hari raya Natal dan Paskah selalu diselenggarakan makan bersama dan menggelar tarian massal seperti Tarian Dolo dolo (tarian adat NTT)

Baca juga: Opini Maksimus Ramses Lalongkoe: Mencari Kontestan Kontes Gagasan

Inilah pengetahuan lokal yang diwariskan para leluhur dan tokoh daerah yang dirawat dan dilestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai saat ini.

Mengingat begitu pentingnya pengetahuan lokal maka Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, karya budaya yang telah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda Indonesia berjumlah 1.239 hingga 2020.

Budaya tak benda tersebut meliputi seni pertunjukkan, tradisi dan ekspresi lisan, adat istiadat, pengetahuan alam, kerajinan, dan perayaan.

Secara rinci, tahun 2013-2016 ada sejumlah 444 warisan budaya tak benda, tahun 2017 sejumlah 150, tahun 2018 sejumlah 225, tahun 2019 sejumlah 267, serta ada 153 warisan budaya tak benda di tahun 2020.

Memang masih banyak pengetahuan lokal di luar sana yang belum terliput media bahkan belum tercatat, selain dua yang penulis uraikan di atas “ada pengatahuan lokal masyarakat Flores Timur, Provinsi NTT yang mengandung unsur dan nilai toleransi untuk Nusantara.

Di mana orang muslim baik remaja Masjid mapun orangtua menjaga keamanan saat kegiatan Samana Santa. Samana Santa atau Hari Bae itu adalah ritual perayaan Pekan Suci Paskah yang dilakukan selama tujuh hari berturut-turut oleh umat Katolik di Larantuka.

Kata Semana Santa berasal dari bahasa Portugis, Semana yang berarti “pekan” dan Santa yang berarti “suci”. Secara keseluruhan, Semana Santa berarti pekan suci yang dimulai dari Minggu Palma, Rabu Trewa/Abu, Kamis Putih, Jumat Agung atau Sesta Vera, Sabtu Santo/Suci, hingga perayaan Minggu Halleluya atau Minggu Paskah.

Baca juga: Opini Peter Tan: Politik Identitas dan Populisme Islam di Indonesia

Semana Santa juga merupakan ikon dari masyarakat Flores Timur dan menjadi daya tarik tersendiri, bagi para peziarah maupun wisatawan. Selain menggeliatkan ekonomi dan pariwisata, tradisi ini juga menjadi wujud toleransi antar umat beragama di Flores Timur.

Begitupun budaya Idul fitri, Idul Adha maupun Natal dan Paskah bersama yang dilakukan tiap tahun dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan Provinsi di NTT yang ditandai dengan makan bersama dan Tarian Dolo dolo.

Tentunya masih ada di daerah lain yang tidak sempat penulis uraikan. Tapi beberapa contoh tersebut adalah pengetahuan lokal yang memiliki nilai toleransi yang tinggi.

Untuk itu, diperlukan sinergitas semua pihak dalam upaya menghimpun pengetahuan lokal yang berpotensi menjadi suatu kekuatan dahsyat dalam mempersatukan keragaman suku, agama dan warna kulit.

Untuk menghindari kepunahan budaya di tengah kehidupan globalisasi dan mengeliminir perilaku disharmoni antara satu etnis dengan etnis lainya, maka Direktorat Repository, Multimedia dan Penerbitan Ilmiah Badan Riset dan Inovasi Nasional melakukan berbagai terobosan kegiatan, di antaranya melakukan kegiatan sosialisasi penjaringan konten naskah buku dan audiovisual di berbagai provinsi, kabupaten/kota serta Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

Tujuan kegiatan tersebut antra lain, pertama, meningkatkan produktivitas dan pemanfaatan berbagai pengetahuan lokal, baik yang dihasilkan kalangan akademisi, periset, maupun masyarakat pada umumnya.

Baca juga: Opini Paul Ama Tukan: Buzzer Politik dan Ruang Publik yang Bising

Kedua, menerbitkan dan menyebar-luaskan ber¬bagai produk pengetahuan lokal dalam bentuk buku dan audiovisual yang kredibel dan inovatif yang selanjutnya dapat diakses dan dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi masyarakat pada umumnya.

Ketiga, dapat mengangkat berbagai pengetahuan lokal di semua wilayah NKRI agar menjadi sumber literasi yang terbuka dalam mendukung sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan unggul.

Keempat, mengajak dan mendorong para penulis buku dan creator film untuk menulis ataupun membuat film documenter yang bernuansa pengetahuan lokal.

Untuk itu diharapkan kepada semua Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta, Pemda provinsi, kabupaten/kota dan Lembaga Swadaya Masyarakat agar dapat berperan aktif dan mengambil bagian dalam kegiatan ini, sehingga terhimpun secara utuh semua pengetahuan lokal yang nyaris punah akibat tergilas arus globalisasi.

Dan insaallah program dan kegiatan ini akan memberikan informasi terbuka kepada para dosen, guru, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum untuk menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk buku atau film dokumenter.

Selanjutnya diharapkan dapat mengirimkan karyanya ke BRIN. Karena Badan Riset dan Inovasi Nasional memiliki peran strategis dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan unggul melalui penyediaan informasi ilmiah yang kredibel dan inovatif yang bermuatan ilmu pengetahuan lokal.

Maka, marilah bersama BRIN kita menenun pengetahuan lokal yang masih terurai, sebagai upaya pemersatu dan merajut keharmonisan antar berbagai etnis serta menjaga keaslian dari gempuran globalisasi. (Penulis adalah PPI Ahli Madya BRIN)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved