Opini
Opini Yohanes Krisostomus Dari: Tuan Rumah ASEAN Summit ke-42 dan Harapan Bagi NTT yang Tertinggal
Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat bukanlah tempat yang asing di telinga para pencinta wisata khususnya dan masyarakat Indonesia.
Tema tersebut mengindikasikan betapa penting dan tetap relevannya peran ASEAN bagi perdamaian di ASEAN dan dunia serta bagi peningkatan taraf hidup masyarakatnya.
Menariknya, tidak seperti tiga KTT ASEAN sebelumnya di Indonesia di mana venue kegiatannya monoton berlangsung di Bali atau Jakarta, venue KTT ASEAN kali ini adalah Labuan Bajo.
Ada semacam peralihan venue yang menyolok sekaligus sebagai sebuah sejarah baru dan kebanggaan bagi masyarakat NTT, secara khusus kota Labuan Bajo karena akan terlibat secara langsung dalam event berskala international seperti ini.
NTT berbangga paling tidak karena dua hal yakni ia bias dipercayakan sebuah tanggung jawab yang besar, menjadi tuan rumah KTT ASEAN yang tugasnya akan menjadi sorotan masyarakat ASEAN dan dunia sekaligus karena NTT adalah provinsi Indonesia pertama selain Bali dan DKI Jakarta yang menjadi tempat terselenggaranya KTT ASEAN.
Baca juga: Opini - Peran Elite Mematangkan Demokrasi
Bila event tersebut terjadi di Bali atau Jakarta akan terasa biasa-biasa saja karena dua kota tersebut telah amat familiar di mata masyarakat Indonesia maupun dunia.
Orang NTT misalnya jika berlibur atau berkegiatan maka tujuan liburan atau kegiatan yang paling banyak diminati adalah Bali, Jakarta atau kota-kota lainnya di pulau Jawa, demikian pula dengan para wisatawan asing (turis) bila menyebut Indonesia maka tempat yang paling banyak dibicarakan atau dirujuk adalah Bali atau Jakarta.
Di tengah-tengah kebanggan masyarakat NTT tersirat juga harapan akan NTT yang lebih baik, menggelobal dan sejahtera ke depannya.
Harapan bagi NTT yang Tertinggal
Tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada Labuan Bajo, NTT sebagai tuan rumah KTT ASEAN perlu dimaknai sebagai suatu titik pijak yang kuat bagi NTT untuk mengejar ketertinggalan yang sedang menggerogotinya.
Pemerintah dalam peraturan Presiden No. 63 tahun 2020 menetapkan sebanyak 13 dari 21 kabupaten dan 1 kota di NTT dengan status daerah tertinggal periode 2020-2024 (Pos Kupang 11 Mei 2020).
Penetapan ini didasarkan pada evaluasi terhadap kriteria-kriteria yang telah ditetapkan seperti geliat perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, sarana-prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah.
Baca juga: Opini Robert Bala: Ganjar dan atau Prabowo
Tentunya proses penetapan ini akan dievaluasi secara berkala untuk mengukur progressivitas pencapaian dari masing-masing daerah dan mengupayakan langkah-langkah solutif dan inovatif agar dapat mengeluarkan wilayah-wilayah tersebut dari status ketertinggalannya.
Berhadapan dengan ketertinggalan ini, ada beberapa hal yang perlu dicermati, pertama adalah tentang efektivitas desentralisasi yang telah dimulai sejak tahun 1999.
Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah memberikan diskresi yang sebesar-besarnya kepada pemerintah local untuk membuat keputusannya sendiri yang sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal dan sesuai dengan tujuan-tujuan bersama yang telah ditetapkan.
Desentralisasi memungkinan pemerintah local mengelola anggaran dan menentukan kebijakan-kebijakan mengenai berbagai persoalan wilayahnya sendiri seperti masalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ketenagakerjaan dan lain-lain.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.