Opini
Opini Albertus Muda, S.Ag: Pendidikan Kritis dan Pemetaan Kecerdasan
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menemukan dan memaksimalkan potensi setiap orang, menciptakan ruang edukasi.
POS-KUPANG.COM - Potensi setiap orang pada prinsipnya merupakan investasi bagi diri sendiri dan kelompoknya. Namun, potensi akan sungguh menjadi investasi jika disadari, mengalami sentuhan melalui pendampingan, dikembangkan untuk menjadi andalan hidup.
Di sini, pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menemukan dan memaksimalkan potensi setiap orang, menciptakan ruang edukasi, agar potensinya dikeluarkan dan fokus mengembangkannya.
Guru sebagai pendidik dan pengajar, memiliki peran penting dalam menemukan kekayaan di dalam diri setiap anak. Kekayaan tersebut dapat berupa bakat, minat, hobi yang dimiliki.
Kekayaan-kekayaan ini mesti ditemukan agar anak-anak dapat diarahkan untuk mengembangkan diri sesuai bakat, minat dan hobinya.
Apabila ini dilakukan melalui pendampingan tim yang solid dan konsisten, maka anak-anak akan mengekspresikan seluruh potensinya dalam suasana merdeka dan penuh tanggung jawab.
Baca juga: Opini Albertus Muda S.Ag: Pendidikan, Pengajaran dan Kekerasan
Maka, tugas guru adalah menemukan potensi atau kecerdasan setiap anak. Tugas ini bukan perkara yang mudah. Ia mesti jeli, telaten dan membangun kerja sama secara intens dan terus-menerus dengan rekan sejawat untuk menemukan potensi atau kecerdasan anak didiknya.
Ia juga mesti memastikan bahwa setiap anak telah menemukan performa terbaiknya. Sebab, kekuatan sebuah tim, ada dalam performa perorangan. Oleh karenanya, optimalisasi performa perorangan menjadi landasan untuk mendukung eksistensi sebuah tim.
Kegiatan pengembangan diri di sekolah, dimaksudkan untuk menemukan potensi dan kecerdasan setiap anak. Demikian juga kegiatan praktikum, misalnya, pertama-tama bukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Akhir Sekolah setiap tahunnya.
Akan tetapi, kesempatan bagi lembaga pendidikan untuk memetakan potensi dan kecerdasan setiap peserta didik. Pemetaan dilakukan untuk menemukan potensi terbaik setiap anak. Selain itu, anak secara pribadi dan klasikal diarahkan untuk menemukan kekuatan dan kelemahan di dalam dirinya.
Pendidikan Kritis
Setiap peserta didik, mesti dididik untuk berpikir kritis. Maka, para siswa mesti diberi ruang untuk secara kritis mengutarakan argumentasinya sebagai tanggapan atas seluruh proses pendidikan yang dilaluinya.
Misalnya, sebelum atau pada saat memilih kegiatan pengembangan diri atau mengikuti praktikum, para siswa sebaiknya diberi ruang untuk memilih sesuai potensi yang dimilikinya. Anak mesti diberi ruang mengeksplorasi dirinya agar pilihannya selaras dengan potensi dan kecerdasan dirinya.
Baca juga: Opini Albertus Muda, S.Ag: Revolusi Diri Wakil Rakyat
Menurut Paulo Freire, pendidikan kritis dibutuhkan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat umumnya dan peserta didik khususnya untuk peduli dan kritis terhadap segala hal di lingkungan tempatnya berada (Moh. Yamin, 2009).
Dalam rangka mewujudkan pengembangan diri dan praktikum, pilihan merupakan salah satu bentuk kepedulian anak terhadap kecerdasannya.
Dengan bersikap kritis, anak mendapatkan dirinya tidak digeneralisir atau diseragamkan. Dengannya, anak dapat menemukan seluruh dinamika hidupnya dengan keunggulan dan keterbatasan yang menyertainya.
Dalam kegiatan praktikum, sering dijumpai sebagian anak, cenderung kurang merespon dengan serius, apa yang hendak dipraktikkannya bersama kelompok. Mereka berperan seadanya, bahkan ada yang tidak sejalan dengan kelompok. Setiap penilaian pun, diterima apa adanya.
Prinsipnya, praktikum bisa dilaksanakan, meski secara pribadi kurang sepakat pada penyeragaman, sehingga kurang adanya persiapan diri. Kondisi ini meski dicermati sambil ditelusuri oleh lembaga, agar kegiatan praktikum, sungguh menjadi momen penemuan kecerdasan anak.
Kita semua pasti berharap agar anak-anak merespon dengan antusias setiap program praktikum di sekolah. Namun, sikap kurang peduli bahkan kurang proaktif kerap kita jumpai terjadi.
Pada titik ini, lembaga mesti memotivasi anak-anak dan mengarahkan mereka untuk saling memotivasi.
Baca juga: Opini Don Kabelen: Hosana, Salibkanlah Dia!
Anak-anak tidak boleh sekedar paham atau mengerti konteks praktikum seadanya, melainkan perlu diarahkan untuk mengerahkan seluruh potensi diri secara maksimal sambil berkomitmen untuk bangkit membuat persiapan, berlatih terus menerus agar menampilkannya dengan maksimal pula.
Seluruh warga sekolah layaknya membangun nalar kritis, agar mampu memecahkan persoalan, baik secara pribadi maupun kelompok, untuk mengatasi stagnasi atau kemandegan yang dihadapi.
Heather Zwicker, Dekan Fakultas Humaniora dan Ilmu Sosial University of Queensland, Australia, mengatakan bahwa amatlah penting menyediakan kesempatan bagi peserta didik untuk bereksplorasi.
Menurutnya, bentuk pendidikan yang sebenarnya adalah membiarkan peserta didik mengetes dan mencoba potensi mereka (Kompas, 14/3/2023).
Oleh karenanya, pendidikan kritis sangat urgen untuk membuka ruang terhadap berbagai upaya merancang, mengonstruksi cara berpikir yang teratur, runtut dan logis, agar mampu melahirkan bangunan berpikir yang mandeg dan stagnan yang dipengaruhi oleh polarisasi kegelisahan anak terhadap kondisi riil yang dihadapinya maupun kelompok, agar menemukan jalan keluar terbaik. Solusi yang dicapai hendaknya merupakah pergumulan dari proses berpikir kritis itu sendiri.
Pemetaan Kecerdasan
Sebuah pengembangan diri dan praktikum yang baik, hendaknya membangkitkan harapan bagi penemuan berbagai kecerdasan yang dikemukakan Howard Gardner dalam bukunya Frame of Mind (1983) dan ditulis kembali Paul Suparno dalam bukunya Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah (2004) meliputi kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis, kecerdasan ruang, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan lingkungan, kecerdasan spiritual dan kecerdasan eksistensial.
Beberapa kecerdasan dapat penulis paparkan di sini terutama yang berkaitan langsung dengan mata pelajaran praktikum di sekolah setiap tahunnya. Misalnya, kecerdasan musikal biasanya mewujud dalam kepekaan pada musik, lagu, ritme, nada, dan lain-lain.
Baca juga: Opini Robert Bala: Tameng Konstitusi
Olehnya, guru dapat melatih anak-anak melalui beberapa latihan seperti mengenal tone suara, ritme lagu, menyanyi, memainkan alat musik seperti gitar, piano, band, trompet dan angklung. Siswa juga dapat diajari menyusun lagu sederhana dan mementaskan musik.
Beberapa aspek seni tampak nyata terintegrasi dalam kecerdasan ruang. Kecerdasan ruang lebih spesifik mewujud dalam pengenalan warna, bentuk, desain, tekstur, pola, gambar atau simbol visual yang dapat dilihat.
Olehnya, di sekolah, guru layaknya membantu siswa untuk mendeskripsikan sesuatu di otaknya, berangan-angan akan sesuatu, berlatih dengan warna, menggambar, melukis, membuat peta, mematung, latihan bermain catur, mencari jejak, mengamati gambar tiga dimensi dan sebagainya. Semua ini dapat dipilih siswa sesuai dengan situasi di sekolahnya.
Selain kecerdasan musikal dan ruang, kecerdasan kinestetik juga menyentuh area seni dan budaya, juga prakarya dan terutama pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan.
Kecerdasan ini bersentuhan langsung dengan bahasa tubuh dan gerak tubuh. Kecerdasan ini dapat mewujud dalam aktivitas olahraga, kerja tangan, bahasa tubuh, drama, mimik, dansa, isyarat, ekspresi wajah, bermain peran, latihan fisik, dan sebagainya.
Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan kecerdasan kinestetik anak yakni melalui latihan drama, teater, latihan pantomim, bermain peran, dansa, latihan tari, juga latihan fisik lainnya.
Oleh karenanya, lembaga pendidikan melalui tim praktikum hendaknya membuat pemetaan secara tegas untuk menemukan aneka kecerdasan yang dimiliki anak-anak.
Baca juga: Opini Habde Adrianus Dami: Quo Vadis Pendidikan di NTT?
Pemetaan ini dimaksudkan agar anak-anak tidak serta merta dipaksakan masuk dalam kelompok praktik secara kelompok atau klasikal. Kemampuan mereka dipetakan agar mereka dapat memilih sesuai dengan kecerdasan yang mereka miliki.
Misalnya, tidak semua harus memerankan tarian, tetapi ada yang mungkin memilih teater, nyanyi solo, drama singkat dan sebagainya.
Apabila masing-masing anak telah memahami salah satu atau lebih kecerdasan yang dimilikinya seperti yang diteliti Howard Gardner di atas, maka diharapkan bahkan dituntut untuk mengembangkan diri sesuai potensi atau kecerdasannya.
Dalam kesempatan praktikum atau momen apa pun, kecerdasan-kecerdasan tersebut mesti dimatangkan melalui latihan secara terus menerus sebelum diaktualisasikan.
Sikap masa bodoh akan menghalangi usaha dan kerja keras untuk mengembangkan berbagai kecerdasan yang kita miliki. Selamat mengaktualkan potensi diri melalui kecerdasan yang kita miliki. (Penulis adalah Guru Honorer SMA Negeri 2 Nubatukan Kabupaten Lembata - NTT)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.