Opini
Opini Don Kabelen: Hosana, Salibkanlah Dia!
Tampilnya seorang pemimpin siapapun dia tetap menghadirkan dikotomi. Dikotomi antara kelompok pendukung dan penentang.
Sorak-sorai membahana ketika tampil sebagai pemimpin. Betapa anggunnya mereka ketika turun dari kendaraan mewah menggantikan keledai, pakaian yang jadi alas tapak kaki berubah rupa menjadi karpet mahal membentang di jalan, tapi toh caci maki dan umpatan-umpatan tidak manusiawi jadi kredo di akhir kepemerintahan.
Kita lihat, Presiden pertama Soekarno. Siapa yang tidak bangga dengannya? Tetapi akhirnya ia harus hidup dalam keterasingan dan dikubur ala rakyat biasa.
Soeharto, diobok-obok di sisa hidupnya. Kalau sebelumnya para pemimpin ini dipilih oleh para wakil rakyat yang terhormat dikelilingi sahabat kenalan serta mitra kerja atau kroni-kroni diakhir waktu satu persatu hilang tanpa jejak.
Seperti Petrus menyangkali Gurunya di taman duka, demikian pula orang-orang kepercayaan, mereka menyanggah tuduhan dengan satu kata kunci: semuanya menurut petunjuk yang di atas.
Orang-orang dekat ini tidak mengakui keterlibatan mereka bahkan ramai-ramai mencuci tangan. Tak satu pun secara kesatria mengakui dirinya ikut memprosesi kesalahan itu.
Langgam kepemimpinan seperti ini terus berlanjut pada kepemimpinan Gus Dur. Krisis kepemimpinan serta esensi dan eksistensi kekuasaannya diutak-atik untuk menggapai sebuah keputusan: bersalah dan karena itu harus disalibkan.
Baca juga: Opini Verry Guru: Belajar dari Petrus dan Yudas Iskariot
Ibu Megawati juga tak kalah garang ‘diganggu’. Kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dibungkam dengan hegemoni bahwa perempuan adalah kaum kelas dua dan tidak dibenarkan menjadi seorang pemimpin apalagi memerintah kaum laki-laki. Itu aneh, dan karenanya ruang geraknya harus dibatasi.
Gus Dur maupun Ibu Megawati tidak pernah merasa nyaman ketika berada di singgasana. Berbagai cercaan yang dialamatkan kepada mereka tak lain sebuah litani dosa untuk membenarkan serta meyakinkan publik bahwa baik Gus Dur maupun Megawati adalah insan yang tidak pantas menjadi seorang pemimpin. Mereka bukanlah tokoh yang mampu merubah negeri ini.
Harapan kembali tertuju kepada Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang diyakini mampu mengantar bangsa ini keluar dari jurang kehancuran menuju pada kehidupan yang makmur, adil dan beradab. Keterpilihan SBY ditangani langsung oleh rakyat.
Rakyat tidak mau lagi dikibuli para wakilnya di Senayan, karena menurut rakyat, kerterpilihan seorang pemimpin dari Senayan selalu mengutamakan kepentingan primordial, dengan mengesampingkan suara rakyat pun menanggalkan kepentingan rakyat banyak.
Namun apa yang terjadi? SBY yang digadang-gadang mampu membawa pencerahan dan pada galibnya tetap disanjung ketika turun dari jabatan nyatanya setali tiga uang. SBY dinilai bukan orang yang pas untuk melakukan reformasi di negeri ini.
Baca juga: Opini Yohanes Mau: Memonitoring Politisi Menjaring Pemimpin Berkualitas
Pemimpin yang satu ini dicap gagal karena bersama beliau korupsi merajalela dan justeru dilakukan orang-orang dekatnya. Orang-orang dekatnya menggunakan waktu dan ruang untuk menghancurkan citra SBY.
Orang-orang kepercayaan justeru bertabiat Yudas Iskariot melambungkan slogan bahwa pemimpin yang selalu disanjung ini adalah figur yang Cuma mampu menumbuh-suburkan korupsi bukan sebaliknya. Kata lain, Presiden ke-6 RI ini tidaklah lebih baik dari para pendahulunya. Kehadiran beliau dianggap sebagai sebuah kesalahan dan karenanya harus disalibkan.
Siapakah tokoh yang paling tepat? Para pemimpin di atas diambil dari tengah-tengah kita, anak bangsa negeri sendiri. Keterpilihan mereka karena maunya kita.
Dapat dikatakan tampilnya mereka adalah representasi diri kita. Oleh karena itu, kalau awalnya kita sendiri memandang mereka mampu, berkualitas, memenuhi syarat jadi seorang pemimpin tetapi akhirnya kita sendiri mengatakan bahwa mereka bukanlah seorang pemimpin yang pas bahkan berani menggagalkan atau bersikap apatis terhadap kebijakan mereka maka sangat tidak proporsional kalau cuma mereka yang dikambinghitamkan, melainkan diri sendiripun layak dipersalahkan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.