Opini

Opini Albertus Muda, S.Ag: Revolusi Diri Wakil Rakyat

muncul banyak sorotan dan keluhan terhadap kinerja wakil rakyat kita, baik kabupaten/kota maupun provinsi bahkan pusat kian menajam.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-ALBERTUS MUDA
Albertus Muda. Mantan Sosialisator Program Literasi Nasional Wilayah Lembata ini menulis opini: Revolusi Diri Wakil Rakyat. 

POS-KUPANG.COM - Jim Morrison (1943-1971), vokalis dan pengarang lagu, group band The Doors pernah mengatakan, tidak akan terjadi revolusi berskala luas apabila tidak terjadi revolusi diri, pada tataran individual.

Revolusi layaknya terjadi dari dalam diri terlebih dahulu secara personal sebelum mencapai revolusi secara komunal.

Pendapat Jim Morrison di atas, masih sangat relevan bila ditautkan dengan konteks kita saat ini. Mengapa? Sebab muncul banyak sorotan dan keluhan terhadap kinerja wakil rakyat kita di berbagai daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi bahkan pusat kian menajam.

Sorotan tajam umumnya datang dari warga masyarakat yang kecewa dengan kualitas rata-rata dan moralitas wakil rakyat hasil pemilu 2019 sebagai akibat dari kinerja yang tidak proporsional.

Keluhan biasanya datang dari mitra kerja legislatif sendiri yakni pihak eksekutif yang dalam pelaksanaan tugas pemerintahan sehari-hari sering berhadapan dengan sikap-sikap konyol anggota legislatif yang kurang memahami fungsi dan tugasnya secara proporsional.

Rendahnya kualitas anggota dewan terindikasi melalui dangkalnya pengalaman dan pemahaman politik. Hal ini karena sistem rekrutmen yang sifatnya dadakan. Ditambah, carut marutnya sistem kaderisasi di tubuh partai politik.

Baca juga: Opini Albertus Muda S.Ag: Pendidikan, Pengajaran dan Kekerasan

Lemah Daya Kritis

Banyak politisi setelah menjadi wakil rakyat, melemah bahkan mati daya kritisnya. Keberanian memperjuangkan aspirasi rakyat seolah sunyi dan lengang di tengah himpitan krisis yang melilit masyarakat.

Sangat disayangkan karena banyak wakil rakyat tidak melakukan fungsi legislasi, fungsi kontrol dan fungsi anggaran secara proporsional.

Lemahnya pemahaman ini memicu anggota legislatif melontarkan pernyataan yang cenderung pesimistis bahkan kurang mendidik.

Menurut hemat penulis, seorang politisi dan calon politisi mestinya tak boleh jedah mengasah nuraninnya agar tetap bening dan kritis. Di satu sisi, agar mudah melihat penderitaan rakyat sambil memperjuangkannya.

Di sisi lain, berani mengkritisi berbagai penyimpangan maupun kebijakan eksekutif yang belum mensejahterakan rakyat secara menyeluruh.

Selain itu, para wakil rakyat mesti memiliki spirit kepemimpinan empatik agar cepat tanggap dan peduli terhadap masyarakat yang diwakili.

Sorotan masyarakat pemilih dan keluhan dari mitra legislatif dapat kita temui di mana-mana. Beberapa indikator untuk menilai kinerja wakil rakyat terus dikeluhkan masyarakat.

Di tingkat pusat, misalnya kontribusi legislasi yang terkesan terburu-buru sehingga ada sekian rancangan undang-undang yang terindikasi bermasalah.

Baca juga: Opini Yahya Ado: Seandainya Saya Gubernur NTT

Pada titik ini, dibutuhkan keterbukaan para legislatif untuk menerima masukan dari segenap elemen masyarakat dan mengakomodirnya.

Salah satu indikator adalah polemik tentang RKUHP yang mendapat masukan dari sejumlah pakar. Misalnya, Guru Besar Universitas Padjajaran Bandung, Jawa Barat, Susi Dwi Harijanti (Kompas, 15/8/2022). Menurutnya, esensinya adalah KUHP harus dibuat secara demokratis.

MK tidak boleh dijadikan keranjang sampah untuk menyelesaikan permasalahan perundang-undangan. Oleh karenanya, undang-undang yang dihasilkan mestinya berkualitas.

Agustinus Pohan, Pakar Hukum Pidana Unpar Bandung pun mendorong agar pemerintah bersama DPR hendaknya membahas ulang pasal-pasal yang masih dinilai bermasalah.

Sebab mengubah undang-undang tidak sederhana, maka pemerintah dan DPR tidak perlu bertahan pada posisinya masing-masing.

Selain itu, tim perumus tidak boleh dikuasi oleh orang-orang hukum sebab RKUHP bukan semata persoalan hukum, maka perlu melibatkan juga antropolog, sosiolog, budayawan, dan pihak lainnya.

Kemandegan membentuk produk hukum di atas, di mata Gun Gun Heryanto (Andi Faisal Bakti, 2012) disebut sebagai sumbatan di bidang legislasi. Menurutnya, banyak wakil rakyat lebih memilih diam dan tidak sungguh menjadi corong dan juru bicara rakyat.

Baca juga: Opini Prof Feliks Tans: Surat Terbuka Kepada Gubernur NTT, Menciptakan Sekolah Unggul

Pembuatan legislasi cenderung dipraktikkan dengan target utama yakni pemenuhan kepentingan diri dan kelompok, sistem transaksional dan manajemen konflik.

Menurut Heryanto, sebagian besar wakil rakyat belum melaksanakan tugas secara bertanggung jawab. Kerja sama tidak boleh hanya dibangun untuk tujuan konspirasi.

Sebaliknya, fungsi dan peran sebagai legislator semakin melemah. Apalagi bila praktik mafia anggaran didesain rapi untuk memenuhi kepentingan mereka. Kalaupun mereka tampak getol berjuang, itu semua karena ada kepentingan oligarki di dalamnya.

Wakil rakyat layaknya berperan sebagai lokomotif demokrasi, bukan hanya membonceng kereta demokrasi demi mengejar kepentingan diri dan kelompok.

Memang sebagian kecil wakil rakyat bekerja sungguh-sungguh menjadi corong hati nurani rakyat. Mereka kadang dibenci oleh para koleganya. Mereka sering tidak disukai sesama legislator karena lantang menyuarakan kebenaran dan berani membuka borok kelaliman.

Butuh Revolusi Diri

Menurut Bambang Purwoko (2006) kinerja dan citra wakil rakyat, perlu dibangun kembali melalui proses pendidikan yang sistematis.

Pendidikan khusus bagi politisi dan calon politisi tetap diperlukan untuk mendapatkan wakil rakyat dan calon wakil rakyat yang paham agar berpolitik secara etis, pandai bicara juga pintar bekerja, mampu menangkap aspirasi rakyat, mampu merancang dan merumuskan kebijakan serta mengevaluasinya, bersikap jujur, bermoral, dan mengemban tugasnya secara bertanggung jawab.

Oleh karenanya, partai politik mesti mendesain sistem rekrutmen yang andal untuk menjaring kader-kader partai yang benar-benar profesional di bidangnya.

Baca juga: Opini : Pemilu 2024 dan Potensi Asymmetric Warfare

Politisi yang direkrut layaknya memiliki kompetensi politik memadai, moral politik teruji, komitmen dalam menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat sesuai fungsi dan perannya. Seorang politisi adalah seorang reformis sejati, pejuang keadilan dan kebenaran.

Politisi pantas merasa tidak nyaman di istana kekuasaan. Ia mau tak mau menceburkan diri di tengah medan pergumulan bersama orang-orang kecil dan menderita yang diwakilinya.

Di tahun politik ini, dibutuhkan sikap arif dan bijak dari masyarakat pemilih untuk mengenal para caleg secara lebih mendalam, dari daerah hingga pusat. Wakil rakyat yang hendak dipilih mestinya memiliki komitmen dan konsistensi ketika duduk di kursi legislatif.

Masyarakat hendaknya semakin selektif dan kritis sebelum menjatuhkan pilihan kepada calon wakil rakyat yang akan mewakilinya. Berani tolak politisi yang inkonsisten dan yang hanya mengandalkan politik uang.

Para wakil rakyat dipanggil untuk semakin peka melihat kondisi riil masyarakat yang diwakilinya. Mereka mesti berjuang dengan budi yang tulus dan hati nurani yang jujur.

Kemurnian niat mesti dibangun untuk memulihkan marwah lembaga legislatif yang terlanjur distigma negatif. Bangkit dan bergerak bersama untuk merevolusi diri agar sungguh menjadi wakil rakyat bagi yang diwakili.

Wakil rakyat sejatinya ditugaskan partai untuk mewakili rakyat bukan keluarga atau kelompok. Jadilah wakil rakyat yang dihormati dan terus dikenang. (Penulis Mantan Sosialisator Program Literasi Nasional Wilayah Lembata)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved