Opini
Opini Prof Dr Alo Liliweri: Akankah Nama WJ Lalamentik Harus Terhapus dalam Memori Kolektif Kita?
Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang mengubah nama jalan WJ Lalamentik menjadi jalan Brigadir Jendral (Brigjen) Iman Budiman.
POS-KUPANG.COM - Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang mengubah nama jalan WJ Lalamentik menjadi jalan Brigadir Jendral (Brigjen) Iman Budiman.
Jalan yang terletak di Kelurahan Oebufu membentang sepanjang 1,9 Kilometer (KM) itu diubah namanya berdasarkan Surat Keputusan Nomor 178/KEP/HK/2022 tentang penetapan nama jalan Brigjen Iman Budiman di Kelurahan Oebufu dan Oebobo Kota Kupang.
Penetapan nama jalan Brigjen Iman Budiman itu, berdasarkan pertimbangan Pemkot bahwa sebagai bentuk penghargaan dan menghormati nilai-nilai ketokohan dan jasa-jasa kepahlawanan/kefiguran di bidang militer dan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009. (POS-KUPANG.COM, 2023).
Pihak keluarga alm W.J. Lalamentik akhirnya bereaksi. Pihak keluarga, khususnya anak-anak menolak penggantian nama tersebut. Pasalnya, tidak ada komunikasi atau pemberitahuan dari Pemkot terkait penggantian nama tersebut.
Anak keempat alm yang terbang dari Amerika Serikat mengaku, kaget atas pergantian nama tersebut. Ia mengatakan, pihak keluarga mengetahui ada pergantian setelah diberitahu teman pada 1 Januari 2023.
Praktis setelah berita ini dilansir pertengahan Desember 2022 mendapat pelbagai reaksi public, baik di media mainstream maupun medsos. Tetapi reaksi-reaksi itu seolah “dalam diam”.
Baca juga: Opini Samsul Hidayatulah: NIK Jadi NPWP Wujud Reformasi Perpajakan
Tidak heboh. Tidak ada demo. Tidak ada protes terbuka. Rasanya, kebersamaan kita seolah “tergiring” untuk setuju “menghapus nama Lalamentik dalam memori kolektif kita”. Soal diam inilah yang mendorong saya menulis artikel ini, apalagi ketika soal ini diberitakan lagi oleh Pos Kupang, 22 Februari 2023.
Lalamentik sebagai Toponim Bukan Sekadar Hododim
Odonymy adalah studi tentang nama jalan. Nama jalan adalah nama pengenal yang diberikan kepada jalan atau jalan raya. Dalam terminologi Bahasa Yunani, “nama jalan” itu disebut toponim,sedangkan “jalan” disebut hodonim.
Jika dihubungkan dengan peraturan dan per-UU kita maka, soal “topodim Lalamentik” dapat dihampiri Perda Kota Kupang No. 21 Tahun 1997 tentang Penetapan Nama Jalan, Nama Taman dan Bangunan Umum serta Penomoran Bangunan di kota Kupang. Sementara itu soal “hodonim Lalamentik” itu dapat dihampiri oleh UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan; dapat juga dengan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Rupanya penggantian nama Jalan WJ Lalamentik berdasarkan SK Walikota Kupang No. 178/KEP/HK/2022 itu semata-mata berdasarkan pertimbangan UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Catatan : jika ini didiskusikan maka jelas ada perbedaan antara kedua alm Lalamentik dan Iman Budiman).
Dan tentu saja telah “mengabaikan” pertimbangan dari peraturan dan perundang-undangan yang lain. Saya, sekali lagi, saya tidak berwewenang mengulas pendekatan hukum terhadap penamaan jalan dan jalan (toponim dan hodonim) karena ini bukan kepakaran saya.
Namun kerancuan soal penamaan jalan ini pernah diungkapkan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, bahwa “peraturan penamaan jalan, masih menggunakan peraturan daerah masing-masing. Pola penamaan jalan di seluruh Indonesia saat ini belum jelas sehingga kerap dilakukan dengan cara berbeda-beda.
Baca juga: Opini Deddy Febrianto Holo: Mendorong Keadilan Iklim di Indonesia
Tak ada pola aturan dalam penamaan jalan. Di beberapa daerah hal tersebut bergantung pada wali kota. Di tempat lain ditentukan oleh gubernur. Dan ada juga yang harus memperoleh izin dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terlebih dahulu. (https://www.hukumonline.com)
Apa yang dibilang Prof Jimly ini senada dengan kebiasaan (habits) pelbagai kota di dunia di mana jalan biasanya diberi nama, dan properti di atasnya diberi nomor, berdasarkan keputusan otoritas lokal, yang mungkin mengadopsi kebijakan terperinci.
Contoh toponim di Amerika Serikat.
Sebagian besar jalan diberi nama menurut angka, lanskap, pohon (kombinasi pohon dan lanskap seperti "Oakhill" yang sering digunakan di daerah pemukiman). Atau nama keluarga dari individu penting (dalam beberapa kasus, hanya nama keluarga yang umum dipegang seperti Smith).
Beberapa jalan, seperti Elm Street di East Machias, Maine, telah diganti namanya karena perubahan fitur. Nama baru Elm Street, Jacksonville Road, dipilih karena mengarah ke desa Jacksonville.
Sementara itu dalam kasus tertentu ada gabungan antara todonim dan hodonim,di mana nama jalan diberikan dalam dua cara; nama individu yang dikenal sebagai spesifik, dan indikator jenis jalan, yang dikenal sebagai generik. Contohnya adalah "Main Road", "Fleet Street", dan "Park Avenue".
Soal penggantian nama jalan, menurut saya, bukan sekadar dapat dilakukan berdasarkan formalitas suatu SK pejabat berwewenang, atau sekadar berdasarkan peraturan dan per-UU.
Tapi sejak awal seharusnya mempertimbangkan dan sudah sepantasnya memperhatikan latar belakang sosial-politik dan sosial budaya dari todomi dan hodomi itu.
Baca juga: Opini Bernadus Badj: Konsep Pembangun dalam Perspektif Peter L Berger
Penetapan jalan WJ Lalamentik itu dapat dipastikan jauh sebelum semua peraturan dan per-UU kita ini dibuat. Artinya apa yang dilakukan para pendahulu kita (paling tidak sebelum Perda Kota Kupang, 1997) adalah “perbuatan sejarah”.
Sejarah untuk mengingatkan kita, dengan mencatat nama Lalamentik itu dalam memori kolektif kita orang NTT, kita orang Flobamora yang selalu dikenal toleran, beradab dan berdudi luhur itu. Catatan sejarah itu secara fisik atas nama Jalan WJ Lalamentik. Artinya dengan memberikan status hodomi sepanjang 1.9 km itu menjadi todomi.
Cynthia Resor (2020) dalam “Collective Memory: How Do Memories of the Past Inform Our Future?”mengatakan, soal memori kolektif tentang bagaimana sekelompok orang mengingat (bahkan untuk melupakan masa lalu), melalui simbolis nama jalan, gedung dan bangunan, lagu dan tarian, arsip dan museum, seragam atau tanda-tanda tertentu.
Orang Cina, misalnya, mengingat abad penghinaan, sementara orang Amerika mengingat peristiwa 9/11 demi peristiwa selanjutnya, dan orang-orang dari banyak negara mengingat era Perang Dunia II.
Yang pasti, memori kolektif juga dapat muncul di tingkat yang lebih lokal. Mengapa ingatan kolektif itu penting? Karena dengan simbol-simbol kenangan ini membantu kita membentuk narasi local, regional dan nasional tentang mengapa sesuatu terjadi dan bagaimana masalah di masa sekarang dan masa depan harus diselesaikan.
Seolah Perpustakan Terbakar?
Ketika menulis artikel ini, saya teringat wawancara kami bertiga, alm Egie Didoek, Ignas Kulas. Kami ditugaskan DPD I KNPI NTT menulis buku : 25 Tahun NTT, apa Kata mereka?
Kami bertemu alm WJ Lalamentik tahun 1984 di Hotel Astiti Kupang. Artikel tentang WJ Lalamentik ini kami beri judul, “Sebuah Nostalgia Nusa Tenggara Timur Di Masaku”.
Sebagai tulisan, maka tulisan itu menjadi arsip. Arsip itu tempatnya di perpustakaan, juga bisa ada dalam symbol lain, termasuk nama jalan yang membetuk memori kolektif kita.
Perkenankan saya membuka sepotong arsip ini untuk kita baca bersama-sama. Inilah pidato pertama WJ Lalamentik ketika dilantik mejadi Gubernur pertama NTT tahun 1958 (dengan ejaan lama).
Baca juga: Opini Arnoldus Wea: Reba, Po Gege dan Milenial
Saudara2 sekalian jang terhormat. Ijinkanlah saja atas nama seluruh rakjat Nusa Tenggara Timur beserta semua Instansi Militer dan Sipil untuk mengutjapkan sjukur terima kasih diperbanjak kepada Pemerintah Pusat dan Bapak Gubernur Nusa Tenggara beserta staf dan para pegawainja jang dengan penuh kesabaran dan kegiatan telah mewudjudkan pembagian Wilajah Propinsi Nusa Tenggara menjadi 3 Daerah tingkat I dari mulanja hingga sekarang.
Dalam tugas jang baru sebagai Gubernur/Koordinator Pemerintahan Nusa Tenggara kami memohon bantuan sepenuhnja untuk melantjarkan segala tugas jang dihadapi mulai saat ini.
Kepada semua instansi Militer, Polisi dan Sipil diharapkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dalam kita mendjalankan tugas jang berat tetapi jang mulia ini. Sebagai Petugas saja menjerukan kepada semua golongan dari masjarakat Daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur ini : Marilah kita bekerdja untuk kepentingan dan kebaikan Nusa Tenggara Timur dan Bangsa pada umumnja dan penduduk dari Pulau2 Timor, Flores dan Sumba pada chususnja.
Semoga Tuhan Jang Ditinggi akan mentjurahkan berkatNya kepada kita sekalian. Dengan ini saja menjatakan tanggung djawab atas Daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur diterima. Kupang, 20 Desember 1958, Pendjabat Sementara Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur, ttd WJ Lalamentik.
Terhadap arsip pidato WJ Lalamentik, saya ingin menggugah bahkan “menggugat” nalar kita dengan mengingat ungkapan adab orang Afrika, “setiap kali seorang lelaki tua meninggal di Afrika, maka perpustakaan seolah-olah terbakar habis (En Afrique, quand un vieillard meurt, c'est une bibliothèque qui brûle).
Benar, WJ Lalamentik sudah meninggal. Artinya Lalamentik sebagai perpustakaan, dia sudah terbakar habis. Apakah itu belum cukup sehingga kita harus “menghilangkan” nama jalan atas nama alm sebagai seorang pendiri provinsi NTT? Apakah kita masih tega membakar lagi abu-abu bekas perpustakaan yang terbakar itu? (Warga Oepoi Kupang)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.