Berita NTT
Kawin Tangkap di Sumba dalam Perspektif Perlindungan Perempuan dan Anak
empat kabupaten se-daratan Sumba untuk melaksanakan rekomendasi dan memantau kemajuan perlindungan perempuan dan anak.

Dalam rangka penguatan sistem perlindungan anak, Save the Children membentuk tim Perlindungan Anak Sekolah, pelatihan Manajemen Kasus, pembentukan PATBM, kampanye anti kekerasan anak (Festival Anti Kekerasan Terhadap Anak/FAKTA 2022) serta melakukan program parenting yang memromosikan keterlibatan ayah dalam pengasuhan melalui REAL Father Parenting Session dan Parenting without Violence atau Pengasuhan Tanpa Kekerasan.
REAL Father Parenting Session (Program Relawan Ayah Sejati) adalah program yang telah dilakukan oleh Save the Children di banyak negara, yang dikembangkan untuk Program Ayah Sejati di Uganda (2013).
Program ini bertujuan agar laki-laki sebagai ayah bisa memelajari komunikasi yang efektif dan memiliki keterampilan memecahkan masalah melalui lensa "maskulinitas positif." Ini adalah lensa yang mengakui sifat kepedulian laki-laki dan peran penting yang dapat mereka mainkan sebagai ayah dan mitra yang mendukung dalam pengasuhan anak. REAL Father di Sumba menggunakan 8 video pengantar sesi dan ada kunjungan rumah terhadap pasangan-pasangan keluarga muda di desa.
Keunggulan REAL Father adalah adanya sesi refleksi kehidupan ayah dan perasaannya menjadi ayah, serta dampak kehadiran ayah dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak.
Secara konsep, REAL Father juga digunakan dalam Parenting without Violence atau Pengasuhan tanpa Kekerasan, sebagai program yang menggabungkan tiga pendekatan, yaitu REAL Father (Ayah Sejati), Positive Discipline in Everyday Parenting (Displin Positif dalam Pengasuhan Keseharian), dan Children’s and Youth Resilience (Ketangguhan Anak dan Remaja).
Baca juga: Pos Kupang Awards 2022, Dirut Bank NTT: Jadi Motivasi Untuk Kerja Lebih Cerdas
Tujuan dari Pengasuhan tanpa Kekerasan adalah membantu membangun hubungan yang kuat antara anak dan orangtua serta pengasuhnya untuk menyelesaikan masalah bersama dan mencegah anak mengalami hukuman fisik atau memalukan di rumah.
Empat keunggulan program Pengasuhan tanpa Kekerasan bertujuan memberi orang tua dan pengasuh pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk mengasuh secara positif tanpa menggunakan kekerasan; memberdayakan anak baik anak perempuan maupun anak laki-laki sehingga mereka merasa dihargai, dihormati, dan aman dalam keluarga dan komunitas mereka; mendukung masyarakat agar mereka mau dan mampu secara adil melindungi anak perempuan dan anak laki-laki dari kekerasan; memerkuat sistem perlindungan anak yang adil dan peka gender.
Secara kesuluruhan, keberadaan program perlindungan perempuan dan anak berdampak pada turunnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumba Barat.
Berdasarkan data tahun 2021 dari Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP5A) terdapat 32 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan 32 kasus Kekerasan Terhadap Anak (KTA) meliputi kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, penelantaran, dan penganiayaan. Tiga dari 32 kekerasan terhadap anak terjadi pada anak laki-laki dalam bentuk kekerasan fisik.
Sebanyak 29b kasus menimpa anak perempuan, termasuk 19 pelecehan seksual, lima pemerkosaan, empat fisik, dan satu psikis. Sedangkan pada tahun 2020 tercatat 52 KTP dan 21 KTA; pada tahun 2019, jumlahnya 47 KTP dan 27 KTA, dengan kasus tertinggi adalah pelecehan seksual.
Data DP5A dan data SIMFONI PPA sejauh ini tidak mengungkap secara khusus jumlah kawin paksa, namun dari pemberitaan media dan juga siaran pers Kemenpppa, kasus kawin tangkap sudah didata oleh Kemenpppa dari empat wilayah yang ada di Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat, dan korban berusia antara 16-26 tahun (2020).
Sedangkan menurut data Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Sumba, ada tujuh kasus kawin tangkap yang terjadi sejak 2016 hingga Juni 2020 (Fanny et al., 2022).
Temuan riset Formative Gender Based Violence (GBV) atau Kekerasan Berbasis Gender yang dilakukan Save the Children 2021 terhadap 602 orang tua, 601 anak, 120 Guru, empat Kelompok FGD di Sumba Barat, dan empat Kelompok FGD di Sumba Tengah menunjukkan responden laki-laki (ayah) memiliki keyakinan identitas gender yang lebih kuat dibandingkan dengan perempuan (ibu), persepsi kesetaraan gender yang lebih baik ditemukan pada responden dengan upah minimum di atas 2.100.000, dan yang bekerja sebagai PNS atau aparat pemerintah desa, dan skor persepsi positif pada kesetaraan gender memiliki rata-rata 68,81 persen.
Penelitian ini juga mengkaji sifat dan bentuk, serta sejauh mana GBV dan praktik berbahaya terjadi di Sumba Barat dan Sumba Tengah, memahami norma-norma sosial dan gender serta determinan perilaku yang mendorong GBV dan praktik berbahaya, memetakan kearifan lokal yang paling relevan, regulasi, mekanisme, kapasitas, dan sumber daya yang menghambat pelaporan kasus GBV, dan mengidentifikasi rekomendasi dan solusi untuk mengatasi masalah GBV.
Temuan riset GBV riset ini juga menyebutkan 8 % anak, 26 % guru, dan 20 % orang tua menyatakan persepsinya tentang pengaruh kepercayaan budaya lokal terhadap terjadinya GBV, dan apakah ada budaya lokal yang mendorong kesetaraan gender.