Berita NTT

Kawin Tangkap di Sumba dalam Perspektif Perlindungan Perempuan dan  Anak

empat kabupaten se-daratan Sumba untuk melaksanakan rekomendasi dan memantau kemajuan perlindungan perempuan dan anak.

Editor: Rosalina Woso
zoom-inlihat foto Kawin Tangkap di Sumba dalam Perspektif Perlindungan Perempuan dan  Anak
POS-KUPANG.COM/HO-PRIBADI
Retno Indrawati, Gender and Child Protection Specialist – Save the Children

Hasilnya menunjukkan 28 % orang tua, 9 % guru dan 17 % anak menyatakan ada praktik budaya lokal yang mendorong kesetaraan gender, yang memberikan harapan bahwa ada potensi praktik budaya yang bisa digali lebih dalam untuk mengurangi GBV dan mendorong kesetaraan gender.

Temuan norma sosial dan gender serta determinan perilaku pendorong GBV, antara lain kemarahan orang tua masih dilihat sebagai bentuk kasih sayang, kegiatan belis dan kawin tangkap, kebiasaan konsumsi alkohol menyebabkan kekerasan fisik khususnya pada laki-laki, kepercayaan bahwa laki-laki lebih kuat dan utama dalam memimpin keluarga, pemahaman istri harus melayani suami, pemisahan ruang adat berbasis gender.

Sedangkan temuan kendala yang dihadapi, yaitu ancaman pemerintah desa yang merasa didahului jika korban langsung melapor polisi, perasaan malu dan aib keluarga, tekanan dari pihak pelaku, tidak mengerti undang-undang yang mengatur kekerasan seksual, tidak ada pendampingan, dan kebanyakan kasus yang sudah dilaporkan pun berakhir dengan jalan damai.

Rekomendasi yang diajukan, antara lain sosialisasi dan edukasi tentang GBV dan dampaknya kepada seluruh keluarga  dengan melibatkan tokoh adat di Sumba, modul penanganan GBV yang bekerja sama dengan pihak gereja oleh DP5A Sumba Barat, mendorong pihak desa dan lintas desa untuk membangun kesepakatan tentang aturan adat, transformasi paman sebagai fungsi otoritatif dalam perkawinan adat sebagai penasehat pencegahan GBV dalam rumah tangga

Ada layanan konseling untuk GBV di desa, penyuluhan kesehatan reproduksi dan narkoba untuk siswa SMP dan SMA, kolaborasi sekolah, Save the Children, dan Dinas Pendidikan kabupaten untuk mengembangkan pelajaran muatan lokal tentang kesadaran kesetaraan gender dan kaitannya dengan kebudayaan Sumba.

Temuan-temuan ini menunjukkan faktor-faktor resiko, faktor ketahanan, dan juga faktor-faktor pelindung yang bisa digali lebih dalam jika nantinya isu kawin tangkap akan ditangani secara strategis dalam langkah aksi yang sudah berbasis bukti semacam Pengasuhan tanpa Kekerasan ataupun praktik baik lainnya baik dari Save the Children maupun dari institusi lain dan juga dari pemerintah.

Riset yang dilakukan oleh para peneliti lain di luar Save the Children juga telah banyak mengkaji persoalan kawin tangkap ini.

Salah satu riset dari perspektif hukum menyebutkan kawin tangkap termasuk sebagai tindak kejahatan jika mengacu pada pasal hak  asasi  manusia  dalam  Konvensi Penghapusan Diskriminasi pada Perempuan (CEDAW) Pasal 16 ayat (1) yang telah diratifikasi melalui UU RI No.7 Tahun 1984, pasal 28G ayat (2) UUD 1945 tentang Hak atas Rasa Aman, Pasal 328 dan 333 KUHP tentang Penculikan dan Kurungan Paksa (lima tahun penjara), UU Perkawinan yang melarang penggunaan kekerasan dalam perkawinan (Dame Panjaitan Perlindungan Perempuan dan Anak et al., n.d.).

Dalam perspektif UU RI No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kawin tangkap secara paksa tidak sesuai dengan asas perkawinan yang bertujuan untuk menciptakan keluarga bahagia dan dan dapat dibatalkan secara hukum sesuai dengan Pasal 22 UU RI No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Dewi, 2022).

Terkait dengan dukungan untuk penegakan hukum yang dilakukan oleh Save the Children, melalui kegiatan pelatihan Manajemen Kasus dan Supervisi yang diikuti oleh pekerja sosial dan pendamping kasus di tingkat desa maupun kabupaten, alur penanganan dan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah dibentuk sampai ke teknis penyusunan Standar Operasional Prosedur.

Sejalan dengan program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Save the Children tengah melakukan sosialisasi SOP penanganan kasus ini di desa-desa, bersamaan dengan dilakukannya pengukuhan Desa Layak Anak oleh DP5A di Desa Kabukarudi dan Tebara, Kabupaten Sumba Barat.

Kegiatan ini digerakkan oleh Kelompok Peduli Anak (KPA) yang merupakan ujung tombak tim perlindungan anak yang ada di desa. KPA inilah yang juga akan menjadi motor utama untuk mewujudkan Gerakan PATBM di 74 desa di Sumba Barat pada tahun 2023.

Dari sisi budaya, salah satu penelitian di 2005 tentang adat Marapu yang ada di Sumba menyebutkan bahwa banyak penduduk asli Sumba yang menganut hukum adat Marapu dan di Kabupaten Sumba Barat berjumlah 78.901 jiwa (20,05 % ) dari total penduduk 393.475 jiwa dan 135.000 jiwa di Sumba Timur (Budianto & Karo Karo, n.d.). 

Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa Marapu memiliki hukum adat yang dinilai positif, namun juga ada praktik penyimpangan yang kemudian bertentangan dengan hukum positif, misalnya melibatkan anak perempuan yang masih di bawah umur.

Untuk melakukan pendekatan dari sisi budaya terhadap tokoh-tokoh adat dan penduduk di kampung adat tempat berdiamnya suku-suku adat Marapu, DP5A bekerja sama dengan komunitas lintas agama dan Save the Children, melakukan pelatihan gender khusus untuk para tokoh adat dan tokoh agama.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Komentar

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved