Opini

Opini : Pemilu 2024 dan Potensi Asymmetric Warfare

Pada 2024 mendatang, digelar Pemilu Serentak. Pasca-reformasi, Pemilu di Indonesia selalu diwarnai aneka dinamika.

Editor: Alfons Nedabang
DOK.TRIBUN
Ilustrasi Pemilu. Pada tahun 2024, digelar Pemilu Serentak. 

Oleh: Reinard L Meo

(Alumnus STFK Ledalero, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pertahanan RI )

POS-KUPANG.COM - Pada 2024 mendatang, kita akan menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak. Pasca-reformasi, Pemilu di Indonesia selalu diwarnai aneka dinamika.

Reformasi tidak berjalan sebagaimana idealnya. Dinamika yang lahir, kebanyakan mengarah ke hal-hal negatif. Konflik menjadi tak terhindarkan.

Pada contoh kasus dua Pemilihan Presiden (Pilpres) terakhir, kita dapat melihat bagaimana secara nasional hingga ke tingkat rumah tangga, rakyat Indonesia terbelah menjadi tiga kubu atau kelompok, dengan kubu atau kelompok ketiga adalah Golongan Putih (Golput).

Pemilu-pemilu di Indonesia selalu bergejolak akibat muncul dan beroperasinya hoax, ujaran kebencian, money politic, dan konflik sosial lainnya. Dalam istilah-istilah yang lebih global, beberapa potensi bahaya berikut baik untuk dicermati.

Sebagai negara berkembang, potensi Low Intensity Conflict (Creveld, 1991) sangat mungkin muncul dalam Pemilu di Indonesia.

Pshycological Warfare amat efektif dimainkan di Indonesia dengan karakter pemilih yang masih tradisional melalui penggunaan narasi, kesan, dan gagasan, yang secara umum dikenal sebagai propaganda dan perang psikologis.

Baca juga: Opini : Membaca Arah Transformasi Pendidikan Nadiem Makarim

Menjelang Pemilu Serentak 2024, Low Intensity Conflict yang akan sangat mungkin lahir lagi, mesti diantisipasi secepat dan setepat mungkin.

Kontrol sosial, ekonomi, dan politik (Ware, 2012) yang dilakukan non state actors yang biasanya dijadikan proxy oleh pihak-pihak lain, mesti diwaspadai. Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam politik elektoral mesti bebas intervensi dalam bentuk apa pun, simetris maupu asimetris.

Pada level elite yang akan saling berebut kekuasaan, pemahaman akan Political Warfare dan Politics Asymmetric sangat diharapkan komprehensif. Hal ini penting agar pengerahan dukungan terhadap pihak penguasa atau oposisi untuk mencapai kemenangan (Barnett & Lord, 1989), mesti patuh pada prinsip-prinsip dasar baik kemanusiaan maupun kebebasan. Kita tidak menginginkan konflik menjelang 2024 muncul dan memperparah kerukunan juga keakraban sebagai sebuah bangsa.

Pihak-pihak yang akan maju ke gelanggang Pemilu nanti, diharapkan juga membawa visi dan misi kebangsaan yang kental sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945, bukannya menerima titipan sponsor karena dalam Politics Asymmetric, operasinya dapat berupa bantuan terhadap sebuah partai politik, kelompok pemberontak, atau oposisi yang mengancam keutuhan. Propaganda sangat mungkin membelah masyarakat Indonesia ke dalam kubu-kubu yang saling curiga dan bersitegang.

Baca juga: Opini : Jalan Beriringan Pembelajaran dan Assesmen

Di era yang kian maju pesat ini, Indonesia juga mesti bersiap-siap menghadapi Information Warfare dan Technology Warfare. Peperangan informasi yang dominan terjadi, menurut Angelo Codevilla, adalah pengerahan disinformasi dan propaganda terhadap pihak penguasa atau oposisi untuk mendestabilisasi suatu negara dalam situasi damai atau perang tanpa menimbulkan korban jiwa dan material sebagaimana perang konvensional.

Peperangan informasi melibatkan penggunaan ruang pertempuran informasi dan pengelolaan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) dalam mengejar keunggulan kompetitif atas lawan melalui manipulasi, propaganda, dan disinformasi yang dipercaya oleh target tanpa sepengetahuan target sehingga target akan membuat keputusan yang keliru untuk kepentingan aktor yang melakukan perang informasi.

Post Truth yang kian marak, kemungkinan akan diproduksi secara besar-besaran (high volume), menggunakan algoritma dan automasi (computational propaganda), disampaikan melalui berbagai channel (multichannel) dengan cepat, seolah itu adalah informasi baru, sulit untuk dikonfirmasi karena bias, dan disesuaikan dengan keyakinan personal yang dimiliki sebelumnya (confirmation bias), serta didukung oleh bukti yang manipulatif (evidence).

Baca juga: Opini : Tantangan Profesionalisme Guru (dan PGRI)

Perjalanan menuju 2024 tak bisa dilepaspisahkan dari bahaya-bahaya yang muncul akibat perang teknologi. Kasus Hacker Bjorka yang paling hangat, tak boleh dipandang sebelah mata. Pencurian data, manipulasi, dan manuver-manuver destruktif harus diatasi sehingga tidak berdampak pada terganggunya persiapan juga pelaksanaan Pemilu 2024 nanti.

Saya menawarkan cara pandang baru terhadap persiapan maupun pelaksanaan Pemilu 2024 nanti. Pemilu 2024 tidak hanya diidentikkan dengan Pesta Demokrasi siklis yang berputar normal tiap lima tahun sekali semata, tetapi mesti lebih luas dan strategis, yakni dipahami dalam konteks Asymmetric Warfare.

Potensi Perang Asimetris sebagai model perang yang tidak konvensional, dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, spektrumnya sangat luas, dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya memiliki kekuatan yang tidak seimbang, mesti diantisipasi sedini mungkin.

Ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mana Pemilu diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL) setiap lima tahun juga menarik untuk diselisik. Asymmetric Warfare potensial masuk dan mengganggu persis pada asas “bebas” dan “adil”.

Baca juga: Opini : Beragama yang Baik dan Benar

Kedaulatan tak cukup dimengerti dalam kaitannya dengan wilayah, tetapi mesti lebih luas misalkan dalam penyelenggaraan Undang-Undang Dasar 1945, dalam hal ini terkait Pemilu.

Kebebasan dan keadilan mesti menjadi suasana, di dalamnya bangsa Indonesia menghadapi Pemilu 2024 sebagai perayaan bersama, momentum yang lewatnya, nasib bangsa dan negara selanjutnya kembali ditentukan.

Langkah apa yang dapat dibuat agar potensi Asymmetric Warfare dapat dicegah dalam persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2024? Mengingat Asymmetric Warfare bukanlah kenyataan baru tetapi tentu saja belum cukup familiar dalam perbincangan publik kita, peran institusi akademis sangat diharapkan.

Universitas Pertahanan Republik Indonesia sebagai institusi akademis dimaksud, misalnya, mesti ambil bagian dalam mengantisipasi dan mencegahnya.

Kajian-kajian strategis lewat analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats (SWOT) mendesak untuk dilakukan. Rekomendasi-rekomendasi kepada pihak-pihak yang berwenang menyelenggarakan dan terlibat dalam Pemilu 2024 perlu dihasilkan dalam rangka Pertahanan dan Keamanan secara lebih luas dan substansial.

Edukasi dan sosialisasi terkait potensi Asymmetric Warfare dalam Pemilu 2024, mesti mulai dan terus dijalankan. Beberapa agenda konkret dapat dilaksanakan misalnya melalui seminar, focus group discussion, pemberitaan media massa, maupun melakukan kampanye positif-antisipatif lainnya melalui platform media sosial yang ada.

Potensi bahaya Low Intensity Conflict, Political Warfare and Politics Asymmetric, Information Warfare, dan Technology Warfare dalam konteks Pemilu 2024, ada di depan mata. Diam, tentu bukanlah sikap moral dan ekspresi Bela Negara yang bijak. (*)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved