Berita Timor Tengah Selatan

Peneliti Muda Gelar 'Beta Pung Kampong' di TTS Suarakan Lahan Berkelanjutan

peneliti muda tersebut menyajikan temuan dan aspirasi mereka kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam acara Beta Pung Kampong

Editor: Edi Hayong
POS KUPANG.COM/ADRIANUS DINI
PEMAPARAN- Suasana pemaparan materi dari para nara sumber dalam acara “Beta Pung Kampong” yang digelar di Aula Mutis, Kantor Bupati TTS pada Kamis 1 Desember 2022.  Dalam kegiatan ini peneliti muda menyajikan temuan dan aspirasi mereka kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Adrianus Dini

POS-KUPANG.COM, SOE - Peneliti muda yang tergabung dalam Inkubator Peneliti Muda Lanskap (IPML) telah merampungkan sejumlah kegiatan menghimpun data tata kelola lahan, ketahanan pangan, dan kesetaraan gender pada 12 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Untuk alasan itu, peneliti muda tersebut menyajikan temuan dan aspirasi mereka kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam acara “Beta Pung Kampong” yang digelar di Aula Mutis, Kantor Bupati TTS, pada Kamis, 1 Desember 2022. 

Diprakarsai oleh World Agrofestry (ICRAF) Indonesia melalui Land4Lives, IPML adalah wadah lulusan muda perguruan tinggi dari berbagai disiplin ilmu untuk mengembangkan kapasitas dan berperan aktif dalam upaya mencari solusi berbasis alam untuk petani dan masyarakat desa di 3 provinsi; Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan. 

Di Nusa Tenggara Timur, fokus kegiatan Land4Lives berada di Kabupaten TTS. 

Ketua panitia Beta Pung Kampong, Bonefasius Derosari Nailiu menyampaikan, Beta Pung Kampong yang mengusung tema “Lahan Berkelanjutan untuk Kesetaraan Gender, Ketahanan Pangan, dan Perubahan Iklim” ini adalah medium untuk menyampaikan data dasar dan informasi, temuan dan pengalaman.

Baca juga: Warga Desa Noebesi Timor Tengah Selatan Ditemukan Tewas Diduga Terseret Banjir 

Kegiatan yang tercakup dalam Beta Pung Kampong berupa diskusi bersama masyarakat petani, tokoh adat, tokoh agama, badan pengelola air, dan pemerintah desa. 

Dia menyampaikan, hasil kajian lapangan berupa tulisan populer, poster, video terkait pengelolaan lahan Berkelanjutan, kesetaraan gender, ketahanan pangan dan perubahan iklim. 

"Kegiatan ini juga diharapkan menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam penentuan suatu kebijakan yang tepat," ungkapnya.

Sementara, Koordinator Provinsi Land4Lives Nusa Tenggara Timur, Yeni Fredik Nomeni menjelaskan Land4Lives atau Sustainable Landscape for Climate Resilient Livelihoods adalah proyek kerja sama Pemerintah Indonesia melalui Bappenas dan Pemerintah Kanada melalui Global Affairs Canada.  

“Secara global, perubahan iklim yang drastis sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Akibatnya, secara umum kualitas hutan menjadi terancam dengan hilangnya berbagai keragamaan hayati, oksigen berkurang sehingga berdampak pada penurunan kualitas air, penurunan kualitas pangan karena lahan tidak dapat difungsikan dengan baik," ungkapnya.

Baca juga: Pimpinan Harian Pagi Pos Kupang Silahturahmi di Pemda dan DPRD Timor Tengah Selatan

"Penurunan kualitas pangan berakibat khususnya pada perempuan, karena di tangan merekalah kebutuhan pangan dan gizi keluarga dipertaruhkan.” tambah Yeni Fredik Nomeni.

Dikatakan, proses adaptasi menjadi pilihan untuk mengetahui sejauh mana perbaikan tata kelola lahan untuk adaptasi perubahan iklim.

Dia menuturkan, berbagai praktik pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan perlu dilakukan di tingkat bentang lahan, sementara di tingkat desa dilakukan peningkatan sistem pengelolaan berbasis agroforestri untuk menanggani pemenuhan kualitas pangan masyarakat.

Selanjutnya, dalam sambutan sekaligus membuka acara, Bupati TTS, Egusem Pieter Tahun yang diwakili oleh Drs. Seperius E. Sipa, M.Si, Sekda Kabupaten TTS, menyampaikan bahwa 90 persen penduduk yang tinggal di pedesaan adalah petani dengan komoditas utama jagung dan memelihara sapi, babi dan ayam. 

Masalah utama yang dihadapi daerah ini yakni tingkat kemiskinan dan stunting yang tinggi yaitu 28,3 persen. Selain itu, masalah topografi dan geografis menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan. 

Baca juga: Sasar Penyandang Disabilitas, Bawaslu Timor Tengah Selatan Gelar Sosialisasi

"Pertemuan hari ini diharapkan menjadi waktu yang tepat untuk bisa menemukan solusi untuk masalah ketahanan pangan yang dihadapi," katanya.

Pantauan Pos Kupang, sesi diskusi menghadirkan empat PML untuk berbagi informasi dan pengalaman. 

Disampaikan bahwa sektor pertanian, perkebunan dan peternakan adalah sektor andalan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang sebagian besar pengelolaannya dilakukan oleh perempuan. 

Dampak dari perubahan iklim cukup dirasakan oleh masyarakat TTS, di antaranya berkurangnya sumber air juga pola tanam berubah, dan kaum perempuan menjadi kaum paling rentan terkena dampak karena tugas mereka dalam rumah tangga menjadi bertambah.

Mereka harus memastikan kebutuhan pangan dan air keluarganya tercukupi, diantaranya dengan menanam berbagai sayur-sayuran, memelihara ayam, juga mencari kayu untuk kayu bakar.

Baca juga: DPRD Timor Tengah Selatan Alokasikan Dana Rp 3,4 Miliar Buat 328 Guru P3K 

Hal ini dilakukan guna pemenuhan protein dan gizi keluarga dan banyak perempuan di TTS juga menenun untuk dapat dijual. 

Peran ganda yang dilakukan perempuan juga terjadi, selain mengurus kebutuhan Rumah tangga, mengelola keuangan keluarga, banyak juga kaum perempuan yang melakukan pembersihan lahan kebun, pemeliharaan tanaman dan pepohonan, bahkan turut dalam proses penjualan hasil kebun, seperti asam dan kemiri.

“Stigma ‘perempuan tahan lapar’ adalah stigma yang bisa membunuh perempuan,” Kata Marlinda Nau dari Lakoat Kujawas yang hadir sebagai salah satu narasumber. 

Disampaikan, pengetahuan tentang pangan alternatif dengan sendirinya telah hilang. Protein tidak harus berasal dari hewan, tetapi bisa diganti dengan protein nabati dengan kacang-kacangan. 

Dia menyebut, Karbohidrat pengganti beras pun bisa didapatkan. 

Baca juga: Persoalan Besipae Timor Tengah Selatan Belum Selesai, ITA PKK Minta Pemprov NTT Duduk Bersama 

"Perempuan paling banyak bisa mengakses hutan, karena makanan berasal dari perempuan," imbuhnya.

Dia berpesan, tindakan seperti pemberian pestisida pada tanaman pun perlu diperhatikan dan dibatasi. (Din)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Komentar

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved