Opini
Opini: Ambiguitas Indikator Ekonomi NTT
Secara kumulatif kinerja perekonomian provinsi NTT pada tahun 2021 tercatat sebesar 2,51% (ctc), lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2020.
Oleh: Habde Adrianus Dami
( Mantan Sekda Kota Kupang, Pengamat Kebijakan Publik )
POS-KUPANG.COM - Menurut, Dr. Lerry Rupidara, M.Si., Kepala Biro Perekonomian dan Administrasi Pembangunan, Setda Provinsi NTT (Selatan Indonesia, 20/11/2022), perkembangan ekonomi dan inflasi provinsi NTT bulan oktober tahun 2022 ini secara umum menunjukkan perbaikan, perubahan, pertumbuhan, penyempurnaan atau sebut saja, perkembangan-perkembangan kearah yang lebih baik.
Selanjutnya, dikatakan bahwa, kinerja perekonomian NTT pada Tw II-2022 tercatat tumbuh sebesar 3,01 persen (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 1,86 % (yoy).
Secara kumulatif kinerja perekonomian provinsi NTT pada tahun 2021 tercatat sebesar 2,51 % (ctc), lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2020 yang terkontraksi -0,83 % (ctc).
Perbaikan pertumbuhan ekonomi provinsi NTT diperkirakan terus berlanjut mencapai 2,79-3,59 % (ctc) ini sejalan dengan semakin terkendalinya penyebaran Covid-19 dan pelonggaran kebijakan pembatasan oleh pemerintah, sehingga mengakselerasi aktivitas ekonomi dan mobilitas masyarakat.
Di samping itu, program pemerintah seperti food estate, ekosistem TJPS/T dan pembangunan infrastruktur dari pinjaman PT. SMI, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, begitu tulisan Dr. Lerry Rupidara, M.Si.
Menarik menilisik pemaparan indikator ekonomi dan bangunan argumentasinya. Gambaran tersebut baru dari official data, bukan tidak mungkin apabila memasukan unobserved economy, akan menunjukkan kondisi yang berbeda.
Baca juga: Opini : Tantangan Profesionalisme Guru (dan PGRI)
Pertanyaannya, apakah potret indikator ini menandakan bahwa pemerintahan ini berhasil? Sebab, deretan angka itu memang kontraktif, sehingga ada indikasi tak menggembirakan dalam jangka panjang.
Ada potensi kontradiktif. Meski secara perhitungan makro pertumbuhan ekonomi dengan semua jejeran argumentasinya, jika dilihat dalam potret mikro kenyataannya akan berbeda.
Misalnya, prosentase kemiskinan NTT mencapai 20,43 persen atau 1.146,28 ribu jiwa, (VictoryNews, 23/6/2022), angkatan kerja sebanyak 2,83 juta orang (BPS, 9/5/2022). Fenomena paradoksal pertumbuhan ekonomi, menimbulkan pertanyaan : Mengapa terjadi pertumbuhan, tetapi kemiskinan dan pengangguran masih tinggi?
Pada titik ini, persoalan menjadi tidak sederhana ketika terjadi kompleksitas dalam sumber dan implikasi kebijakan. Artinya, seluruh asumsi dan perhitungan ekonomi harus bermigrasi dari kertas kerja menuju realitas.
Indikator Artifisial
Indikator makro merupakan gabungan (komposit) dari berbagai kegiatan pembangunan ekonomi maupun sosial. Indikator makro pembangunan tersebut terdiri dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, pendapatan per kapita, dan jumlah pengangguran.
Ekonomi belum tumbuh sesuai harapan, karena belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang “cukup” bagi pengangguran. Padahal, angka kemiskinan dan pengangguran merupakan indikator paling mendasar untuk mengukur efektifitas kerja pemerintah.
Sekaligus untuk menilai apakah kebijakan ekonomi sudah berada pada jalur yang tepat karena pengangguran berdampak pada daya beli masyarakat dan kontribusinya terhadap kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
Di samping itu berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Indikator ini juga menjadi modal sosial untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah NTT.
Baca juga: Opini : Beragama yang Baik dan Benar
Dalam konteks itu, kemajuan ekonomi daerah antara lain ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi, besarnya pendapatan per kapita dan tingkat pemerataan pendapatan.
Pertumbuhan yang tinggi dan pendapatan per kapita yang tinggi serta ketimpangan pendapatan yang rendah, maka daerah tersebut dikatakan maju dan sejahtera.
Sebaliknya, pertumbuhan rendah dan pendapatan per kapita yang rendah pula serta ketimpangan yang tinggi, maka daerah dikatakan kurang maju dan kurang sejahtera.
Namun demikian, tantangannua, ada berbagai persoalan ekonomi yang kini sedang kita hadapi. Mulai dari pertumbuhan ekonomi dan investasi yang rendah, kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran yang belum membaik, rendahnya kinerja birokrasi dan ekonomi biaya tinggi, kelemahan dalam koordinasi dan ketiadaan terobosan baru, belum optimalnya tatakelola anggaran dan utang yang belum tuntas.
Sehingga, penjelasan paling rasional terhadap fenomena pertumbuhan ekonomi adalah pada dasarnya bersifat artifisial alias semu. Pertumbuhan ekonomi tinggi belum tentu didukung fundamental ekonomi yang seiring. Saya yakin bahwa pemerintah juga menyadari hal ini.
Mengapa hal itu terjadi? Sangat mungkin ada yang tidak sinkron antara, institusi pemerintah, kebijakan publik dan masyarakat. Faktor lainnya, kekeliruan dalam pengambilan data dan perhitungan.
Sebagaimana misalnya, yang dialami Steven D Levitt, professor ekonomi dari universitas Chicago yang terkenal dengan bukunya Freakonomics, telah melakukan kesalahan dalam perhitungan dampak legalisasi aborsi terhadap menurunnya angka kriminalitas di AS.
Baca juga: Opini : Arisan Jamban, Pendekatan Sosial Budaya Berbasis Kearifan Lokal Ende-Lio
Adalah, Chris Foote dan Chris Goetz, peneliti Bank Sentral AS, mengungkapkan kesalahan fatal penelitian Levitt dan rekannya John Donohue, yang kemudian secara terbuka mengakui kekeliruan metodenya dan mengoreksi kesalahan tersebut, (Yudo, 2006).
Pengalaman kesalahan penelitian ini memberi pelajaran bahwa siapa pun bisa berbuat kekeliruan. Akan tetapi jauh lebih baik berbuat kesalahan daripada berkata yang tidak benar. Oleh karena itu, ilmu statistik menjadi ilmu yang teramat hati-hati dalam menarik kesimpulan menyangkut hal-hal yang empiris.
Lantas bagaimana menempatkan posisi kesimpulan Pemerintah Provinsi NTT bahwa perkembangan ekonomi dan inflasi provinsi NTT bulan oktober tahun 2022 ini secara umum menunjukkan kearah yang lebih baik?
Sulit sekali menjawab pertanyaan ini karena belum diungkapkan metode perhitungannya. Disamping itu, data antarmasa tidak cukup ajek mendukung diktum ini.
Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip information is power, sudah saatnya Pemerintah terbuka metode perhitungannya, yang sudah menjadi norma wajib bagi institusi yang melemparkan data kepada publik (penyedia data publik). Sebab, publik penasaran sejauh mana kebenarannya, sehingga tanpa klarifikasi dan metode perhitungannya, kepercayaan publik atas data dan kesimpulannya bisa runtuh.
Sehingga, diskusi tentang ini bisa saja subyektif lantaran sukar dibangun patokan obyektif untuk menetapkan indikator ekonomi yang sahih dan relevan dengan realitas bagi setiap orang, keluarga, kelompok, wilayah, atau waktu.
Baca juga: Opini : Kota Kupang dalam Ancaman HIV/AIDS
Parahnya lagi, ada persepsi yang wajar di benak masyarakat, bahwa pengambilan kebijakan bisa dilakukan tanpa data empiris. Bila demikian, kita telah berangkat dari kekeliruan dan berujung pada kefatalan. Karena, hanya mengejar orientasi pencapaian jangka pendek, tanpa melihat kepentingan jangka panjang.
Teknis Substantif
Jika melihat polanya, klaim pemerintah provinsi NTT, bahwa perkembangan perekonomian NTT, kearah yang lebih baik, menurut hemat penulis tampaknya terlalu tergesa-gesa simpulannya jika dieja dalam konteks korelasi pertumbuhan-kemiskinan-pengangguran, dengan basis data seketika.
Adapun alas pertimbangannya : Pertama, pertumbuhan-kemiskinan-pengngguran lebih tepat ditilik sebagai peristiwa ekonomi jangka panjang. Selain itu, dibutuhkan jeda masa untuk melihat dampak yang lebih nyata.
Kedua, pemerintah “terlalu bersemangat” untuk memastikan model ekonominya punya daya ramal berpresisi tinggi guna membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi harus menyempitkan fraksi populasi kemiskinan dan pengangguran.
Ketiga, lazimnya data ekonomi-sosial, data kemiskinan dan pengangguran pasti mengandung galat. Ada galat yang tersembunyi dalam pelaporan data pendapatan dan konsumsi.
Kelompok kaya enggan melaporkan informasi yang persis karena survei pendapatan dan konsumsi selalu “mencurigakan” buat mereka. Orang miskin keberatan memberi informasi tepat karena malu dianggap miskin. Jadi, kedua kelompok memiliki potensi bias informasi.
Baca juga: Opini : Tangis dan Air Mata Besipae
Keempat, seyogianya tidak hanya didasarkan pada indikator statis saja, namun harus dilengkapi dengan indiktor dinamis yang harus dikaji antar wilayah seperti mobilitas penduduk
Kelima, konsistensi data konsumsi makro-mikro juga menarik untuk diperiksa. Di tingkat makro akuntansi nasional mencatat konsumsi agregat.
Di tingkat mikro, Susenas mencatat data konsumsi rumah tangga atau per orangan. Apakah keduanya ajek? Apakah nisbah konsumsi per kepala hasil survey dengan konsumsi agregat per orang mendekati satu? Kalau keduanya tak ajek, acuan mana yang kita pakai untuk menyebut pertumbuhan konsumsi (atau malah pendapatan) per kepala?
Di luar soal teknis, hal yang tak kalah penting adalah absennya koherensi antara lini ekonomi dan keuangan di satu pihak dengan tujuan-tujuan reformasi sosial, di pihak lain.
Diskoneksi terjadi pada rancangan ekonomi keuangan yang konservatif dan kontradiktif, dengan target-target pembaruan sosial. Artinya, perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi jauh lebih urgen, bahkan dibandingkan pencapaian target angka pertumbuhan yang tinggi sekalipun.
Oleh karena itu, kita masih beruntung hanya mengalami fase moderasi, bukan stagnasi. Meskipun begitu, jika dicermati lebih dalam profil dan kinerja ekonomi NTT, tidak akan meningkat signifikan sesuai target jika tidak diikuti reformasi pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan, agar terhindar dari miskonsepsi ambiguitas indikator ekonomi NTT. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS